Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menonton Televisi Pagi Ini (Karya Asep S. Sambodja)

Puisi “Menonton Televisi Pagi Ini” karya Asep S. Sambodja adalah potret satir tentang kebisingan debat publik di layar televisi, khususnya ...
Menonton Televisi Pagi Ini

Gayus Lumbuun dan OC Kaligis
tampil di televisi pagi ini
sama-sama pakar hukum
sama-sama tahu hukum
sama-sama melek hukum
sama-sama bicara soal cicak dan buaya
sama-sama tegang
sama-sama yakin benar
sama-sama emosi
sama-sama paling benar
sama-sama ingin pengaruhi opini publik
sama-sama bersuara keras
sama-sama tua
sama-sama membela kebenaran menurut siapa
sama-sama lantang
sama-sama mau pukul-pukulan
sama-sama mau bertinju
sama-sama merasa kata-kata tak ada gunanya
sama-sama berdarah panas
sama-sama ahli hukum
sama-sama mengerti hukum
sama-sama panas
sama-sama mengepalkan tinju
sama-sama bersilat lidah
sama-sama mau pukul
sampai-sampai Denny Indrayana
memisahkan mereka

penonton ketawa!

jangan kemana-mana
setelah yang satu ini
kita panggil ambulance

Citayam, 2 November 2009

Analisis Puisi:

Puisi “Menonton Televisi Pagi Ini” karya Asep S. Sambodja adalah potret satir tentang kebisingan debat publik di layar televisi, khususnya perdebatan tokoh hukum terkait isu “cicak vs buaya” yang pernah menjadi polemik besar di Indonesia. Dengan gaya repetitif yang sengaja dilebih-lebihkan, penyair membingkai apa yang tampak seperti drama hukum tetapi terasa lebih mirip tontonan hiburan. Puisi ini menghadirkan kritik tajam terhadap media, para ahli hukum, dan cara opini publik dibentuk oleh pertunjukan debat yang panas namun tidak selalu produktif.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial terhadap pertunjukan debat para tokoh hukum di televisi, yang lebih menonjolkan kemarahan, ego, dan drama ketimbang substansi. Tema lain yang menyertainya adalah satire terhadap media dan budaya politik yang teatrikal.

Puisi ini bercerita tentang siaran televisi pagi hari yang menampilkan perdebatan antara Gayus Lumbuun dan OC Kaligis, dua tokoh hukum Indonesia. Mereka tampil membahas kasus “cicak vs buaya”, tetapi diskusi itu berubah menjadi adu argumen yang keras, emosional, bahkan hampir fisik—hingga Denny Indrayana harus melerai.

Alih-alih menjadi dialog ilmiah, perdebatan tersebut berubah menjadi tontonan yang memancing tawa penonton, seolah-olah itu bukan lagi program serius, tetapi hiburan.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat yang tampak kuat:
  1. Media Mengubah Konflik Menjadi Hiburan. Frasa “penonton ketawa!” menandakan betapa seriusnya persoalan hukum telah direduksi menjadi tontonan komedi. Media lebih menonjolkan sensasi ketimbang substansi.
  2. Para Ahli Hukum Tidak Selalu Bijak. Meski sama-sama “ahli hukum”, perilaku mereka tidak mencerminkan kedewasaan. Repetisi “sama-sama” menyoroti bahwa gelar dan keahlian tidak otomatis menjamin kebijaksanaan.
  3. Opini Publik Mudah Dipengaruhi. Frasa “sama-sama ingin pengaruhi opini publik” menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar berdiskusi, tetapi sedang memperebutkan simpati penonton.
  4. Pertarungan Ego Mengalahkan Rasionalitas. Ketika keduanya hampir “pukul-pukulan” dan “mau bertinju”, yang muncul adalah benturan ego, bukan argumentasi.
  5. Kritik terhadap Kultur Perdebatan yang Panas namun Hampa. “Sama-sama merasa kata-kata tak ada gunanya” menunjukkan ironi: tokoh hukum yang seharusnya mengandalkan nalar justru nyaris mengambil jalan kekerasan.

Suasana dalam puisi

Suasana puisi ini adalah ramai, panas, gaduh, sekaligus satir dan lucu. Ada ketegangan dari perdebatan, tetapi juga nada mengejek yang membuat suasananya terasa seperti sandiwara.

Imaji

Beberapa imaji yang muncul:
  1. Imaji visual: “mengepalkan tinju”, “mau pukul-pukulan”, “mau bertinju”, “sampai-sampai Denny Indrayana memisahkan mereka”. Imaji ini menciptakan adegan yang sangat mirip pertunjukan ring tinju.
  2. Imaji auditif: “sama-sama bicara”, “sama-sama bersuara keras”, “sama-sama lantang”. Imaji ini memperkuat suasana gaduh debat televisi.
  3. Imaji situasional: “penonton ketawa!” dan “kita panggil ambulance” membentuk imaji program TV yang berubah menjadi komedi sekaligus tragedi kecil.

Majas

Beberapa majas yang dapat diidentifikasi:

Repetisi (Anaphora)

Kata “sama-sama” diulang hampir di setiap baris. Fungsi majas ini:
  • menegaskan kesamaan karakter kedua tokoh,
  • menciptakan ritme yang cepat,
  • menghadirkan efek humor dan sindiran.

Ironi

Contoh paling jelas adalah ketika perdebatan hukum berubah menjadi tontonan komedi: “penonton ketawa!”

Hiperbola

Frasa seperti “mau pukul-pukulan”, “mau bertinju”, dan “kita panggil ambulance” mengandung kesan dilebih-lebihkan untuk memperkuat satire.

Sarkasme

Puisi ini secara halus menyindir tokoh-tokoh yang disebut, seolah berkata: Anda ahli hukum, tetapi perilaku Anda tidak mencerminkan keluhuran hukum.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang dapat ditarik antara lain:
  1. Jangan menjadikan konflik serius sebagai hiburan publik.
  2. Perdebatan di ruang publik mestinya intelektual, bukan emosional.
  3. Media perlu menjaga etika, bukan mengejar sensasi.
  4. Keahlian tidak menjamin kedewasaan—perilaku tetap yang menentukan.
  5. Dalam diskusi hukum, ego harus dikendalikan demi kebenaran.
Puisi “Menonton Televisi Pagi Ini” adalah puisi kritik sosial yang kuat, dibalut humor dan ironi. Asep S. Sambodja dengan jeli menangkap bagaimana tayangan televisi bisa berubah menjadi arena pertarungan ego, di mana para ahli hukum tampil bukan sebagai teladan intelektual, melainkan sebagai bagian dari hiburan. Melalui repetisi yang intens dan suasana gaduh, puisi ini menghadirkan cermin terhadap budaya media dan cara publik dikondisikan untuk menonton konflik seolah ia hanya sandiwara.

Asep S. Sambodja
Puisi: Menonton Televisi Pagi Ini
Karya: Asep S. Sambodja

Biodata Asep S. Sambodja:
  • Asep S. Sambodja lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 15 September 1967.
  • Karya-karyanya banyak dimuat di media massa, seperti Horison, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jurnal Puisi dan lain sebagainya.
  • Asep S. Sambodja meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 9 Desember 2010 (pada usia 43 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.