Analisis Puisi:
Puisi “Menonton Televisi Pagi Ini” karya Asep S. Sambodja adalah potret satir tentang kebisingan debat publik di layar televisi, khususnya perdebatan tokoh hukum terkait isu “cicak vs buaya” yang pernah menjadi polemik besar di Indonesia. Dengan gaya repetitif yang sengaja dilebih-lebihkan, penyair membingkai apa yang tampak seperti drama hukum tetapi terasa lebih mirip tontonan hiburan. Puisi ini menghadirkan kritik tajam terhadap media, para ahli hukum, dan cara opini publik dibentuk oleh pertunjukan debat yang panas namun tidak selalu produktif.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kritik sosial terhadap pertunjukan debat para tokoh hukum di televisi, yang lebih menonjolkan kemarahan, ego, dan drama ketimbang substansi. Tema lain yang menyertainya adalah satire terhadap media dan budaya politik yang teatrikal.
Puisi ini bercerita tentang siaran televisi pagi hari yang menampilkan perdebatan antara Gayus Lumbuun dan OC Kaligis, dua tokoh hukum Indonesia. Mereka tampil membahas kasus “cicak vs buaya”, tetapi diskusi itu berubah menjadi adu argumen yang keras, emosional, bahkan hampir fisik—hingga Denny Indrayana harus melerai.
Alih-alih menjadi dialog ilmiah, perdebatan tersebut berubah menjadi tontonan yang memancing tawa penonton, seolah-olah itu bukan lagi program serius, tetapi hiburan.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat yang tampak kuat:
- Media Mengubah Konflik Menjadi Hiburan. Frasa “penonton ketawa!” menandakan betapa seriusnya persoalan hukum telah direduksi menjadi tontonan komedi. Media lebih menonjolkan sensasi ketimbang substansi.
- Para Ahli Hukum Tidak Selalu Bijak. Meski sama-sama “ahli hukum”, perilaku mereka tidak mencerminkan kedewasaan. Repetisi “sama-sama” menyoroti bahwa gelar dan keahlian tidak otomatis menjamin kebijaksanaan.
- Opini Publik Mudah Dipengaruhi. Frasa “sama-sama ingin pengaruhi opini publik” menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar berdiskusi, tetapi sedang memperebutkan simpati penonton.
- Pertarungan Ego Mengalahkan Rasionalitas. Ketika keduanya hampir “pukul-pukulan” dan “mau bertinju”, yang muncul adalah benturan ego, bukan argumentasi.
- Kritik terhadap Kultur Perdebatan yang Panas namun Hampa. “Sama-sama merasa kata-kata tak ada gunanya” menunjukkan ironi: tokoh hukum yang seharusnya mengandalkan nalar justru nyaris mengambil jalan kekerasan.
Suasana dalam puisi
Suasana puisi ini adalah ramai, panas, gaduh, sekaligus satir dan lucu. Ada ketegangan dari perdebatan, tetapi juga nada mengejek yang membuat suasananya terasa seperti sandiwara.
Imaji
Beberapa imaji yang muncul:
- Imaji visual: “mengepalkan tinju”, “mau pukul-pukulan”, “mau bertinju”, “sampai-sampai Denny Indrayana memisahkan mereka”. Imaji ini menciptakan adegan yang sangat mirip pertunjukan ring tinju.
- Imaji auditif: “sama-sama bicara”, “sama-sama bersuara keras”, “sama-sama lantang”. Imaji ini memperkuat suasana gaduh debat televisi.
- Imaji situasional: “penonton ketawa!” dan “kita panggil ambulance” membentuk imaji program TV yang berubah menjadi komedi sekaligus tragedi kecil.
Majas
Beberapa majas yang dapat diidentifikasi:
Repetisi (Anaphora)
Kata “sama-sama” diulang hampir di setiap baris. Fungsi majas ini:
- menegaskan kesamaan karakter kedua tokoh,
- menciptakan ritme yang cepat,
- menghadirkan efek humor dan sindiran.
Ironi
Contoh paling jelas adalah ketika perdebatan hukum berubah menjadi tontonan komedi: “penonton ketawa!”
Hiperbola
Frasa seperti “mau pukul-pukulan”, “mau bertinju”, dan “kita panggil ambulance” mengandung kesan dilebih-lebihkan untuk memperkuat satire.
Sarkasme
Puisi ini secara halus menyindir tokoh-tokoh yang disebut, seolah berkata: Anda ahli hukum, tetapi perilaku Anda tidak mencerminkan keluhuran hukum.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan yang dapat ditarik antara lain:
- Jangan menjadikan konflik serius sebagai hiburan publik.
- Perdebatan di ruang publik mestinya intelektual, bukan emosional.
- Media perlu menjaga etika, bukan mengejar sensasi.
- Keahlian tidak menjamin kedewasaan—perilaku tetap yang menentukan.
- Dalam diskusi hukum, ego harus dikendalikan demi kebenaran.
Puisi “Menonton Televisi Pagi Ini” adalah puisi kritik sosial yang kuat, dibalut humor dan ironi. Asep S. Sambodja dengan jeli menangkap bagaimana tayangan televisi bisa berubah menjadi arena pertarungan ego, di mana para ahli hukum tampil bukan sebagai teladan intelektual, melainkan sebagai bagian dari hiburan. Melalui repetisi yang intens dan suasana gaduh, puisi ini menghadirkan cermin terhadap budaya media dan cara publik dikondisikan untuk menonton konflik seolah ia hanya sandiwara.
Biodata Asep S. Sambodja:
- Asep S. Sambodja lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 15 September 1967.
- Karya-karyanya banyak dimuat di media massa, seperti Horison, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jurnal Puisi dan lain sebagainya.
- Asep S. Sambodja meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 9 Desember 2010 (pada usia 43 tahun).
