Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Nyaru Menteng (Karya Bambang Widiatmoko)

Puisi “Nyaru Menteng” karya Bambang Widiatmoko bercerita tentang seseorang yang berjalan perlahan di titian hutan, merasakan kesunyian, dan ...
Nyaru Menteng

Berjalan perlahan lewat titian papan
Menembus kesenyapan hutan belantara
Hanya orangutan yang bisa bercanda
Menertawakan diriku yang terasa bodohnya

Mungkin hanya kesadaran yang sederhana
Kehidupan di tengah hutan
Hanya pepohonan sejauh mata memandang
Tapi di sini: masa depan semesta dipertaruhkan

Sumber: Kota Tanpa Bunga (Bukupop, 2008)

Analisis Puisi:

Puisi “Nyaru Menteng” karya Bambang Widiatmoko adalah puisi pendek namun penuh makna yang merangkum pengalaman manusia di tengah alam, terutama hutan tropis yang menjadi habitat orangutan. Dengan gaya puitis yang sederhana, puisi ini menyampaikan kesadaran ekologis yang mendalam. Meski ringkas, setiap lariknya mengandung renungan tentang hubungan manusia dengan alam, serta betapa rapuhnya masa depan lingkungan yang dititipkan kepada generasi kini.

Tema

Puisi ini mengangkat tema mengenai hubungan manusia dan alam, khususnya kesadaran ekologis terhadap kelestarian hutan dan orangutan. Tema pendukung lainnya yaitu:
  • Pertaruhan masa depan lingkungan hidup;
  • Keheningan alam sebagai ruang perenungan;
  • Kesadaran manusia akan kebodohan dan keterbatasannya di hadapan alam.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang berjalan perlahan di titian hutan, merasakan kesunyian, dan menyadari kehadiran orangutan yang seolah “bercanda” kepadanya. Interaksi hening dan simbolis ini kemudian menuntun pada kesadaran tentang pentingnya hutan sebagai rumah bagi makhluk hidup lain.

Menjelang akhir, puisi menunjukkan bahwa meski kehidupan di tengah hutan tampak sederhana, di tempat itulah masa depan semesta dipertaruhkan, karena hutan merupakan penyangga kehidupan bagi seluruh planet.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat dari puisi ini adalah:
  • Hutan bukan sekadar bentang alam, melainkan pusat kehidupan global. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan, namun pepohonan itulah yang menjaga keseimbangan bumi.
  • Manusia harus rendah hati di hadapan alam. Larik tentang orangutan yang “menertawakan kebodohan manusia” adalah sindiran halus bahwa manusia sering merasa superior, padahal alam jauh lebih bijak.
  • Kerusakan hutan berarti kerusakan semesta. Pesan ini tersirat tegas pada larik penutup: masa depan semesta dipertaruhkan di hutan seperti Nyaru Menteng.
  • Kesadaran ekologis dimulai dari pengalaman langsung. Tokoh lirik baru menyadari betapa berharganya hutan ketika benar-benar merasakannya sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini bisa dibaca sebagai:
  • hening dan kontemplatif, ketika tokoh lirik berjalan perlahan di titian papan,
  • natural dan liar, menggambarkan hutan belantara yang penuh pepohonan,
  • tersindir namun hangat, melalui interaksi imajiner dengan orangutan yang “bercanda”,
  • serius dan penuh urgensi, pada bagian akhir ketika masa depan semesta dipertaruhkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat puisi ini meliputi:
  1. Jagalah hutan dan alam, karena keberlangsungan hidup manusia bergantung pada kelestariannya.
  2. Belajarlah dari alam, sebab manusia tidak selalu lebih bijak dari makhluk lain.
  3. Penghancuran habitat orangutan bukan sekadar tragedi lokal, tetapi ancaman global.
  4. Kesadaran ekologis harus dibangun sekarang, sebelum masa depan benar-benar berubah menjadi gelap.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini menggunakan imaji yang kuat meskipun ringkas:
  • “Berjalan perlahan lewat titian papan”. Imaji visual yang menggambarkan perjalanan hati-hati di antara pepohonan.
  • “Menembus kesenyapan hutan belantara”. Imaji auditif dan visual yang memperlihatkan keheningan mendalam.
  • “Hanya orangutan yang bisa bercanda”. Imaji personifikasi yang menghadirkan kehangatan makhluk liar.
  • “Pepohonan sejauh mata memandang”. Imaji luas, memberikan kesan kelimpahan sekaligus keterasingan.
  • “Masa depan semesta dipertaruhkan”. Imaji abstrak yang menyampaikan bobot moral dan ekologis.

Majas dalam Puisi

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Personifikasi: Orangutan digambarkan “bercanda” dan “menertawakan manusia”—memberi kesan bahwa hewan bisa menyampaikan kritik moral.
  • Metafora: “Masa depan semesta dipertaruhkan” menggambarkan hutan sebagai pusat keberlangsungan bumi.
  • Hiperbola: Menyebut hutan sebagai tempat “masa depan semesta dipertaruhkan” memberikan kesan berlebih, tetapi tepat untuk menggugah kesadaran pembaca.
Puisi “Nyaru Menteng” adalah refleksi ekologis yang padat, puitis, dan kritis terhadap hubungan manusia dan alam. Dengan tema tentang kelestarian hutan, puisi ini bercerita tentang perjalanan batin di tengah alam liar yang menghadirkan makna tersirat mengenai pentingnya menjaga bumi. Melalui suasana hening, imaji visual hutan tropis, serta majas yang sederhana namun kuat, penyair mengingatkan bahwa di tempat seperti Nyaru Menteng—tempat rehabilitasi orangutan di Kalimantan—masa depan bumi ikut dipertaruhkan.

Bambang Widiatmoko
Puisi: Nyaru Menteng
Karya: Bambang Widiatmoko
© Sepenuhnya. All rights reserved.