Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Orang-Orang Angkuh (Karya Diah Hadaning)

Puisi “Orang-Orang Angkuh” karya Diah Hadaning bercerita tentang seseorang—diwakili oleh tokoh “dia”—yang digambarkan angkuh, arogan, dan haus ...
Orang-Orang Angkuh

Dia, dia, dia
tak pernah ucap salam
mulutnya belati siap tikam
tak pernah mengangguk
nafasnya aroma pasar induk
sketsa orang-orang angkuh.

Jika dia berjalan
kau harus copot kepala
simpan di kantung celana
jika dia berhenti
kau harus copot kaki
sandarkan di kolong sunyi
dia harus satu-satunya
sketsa orang-orang angkuh.

Dia, dia, dia
ingin seperti maharani 
ingin seperti pendekar sejati
membela bumi pertiwi
sementara kaki injak melati
sketsa orang-orang angkuh.

November, 1998

Analisis Puisi:

Puisi “Orang-Orang Angkuh” karya Diah Hadaning merupakan potret satir mengenai manusia-manusia yang dikuasai keangkuhan, kekuasaan semu, dan kesombongan perilaku. Dengan gaya lugas namun penuh simbol, puisi ini menghadirkan kritik sosial yang tajam. Melalui pencitraan tokoh “dia” yang berulang disebut, penyair menggambarkan wajah keangkuhan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keangkuhan manusia dan penyimpangan moral dalam perilaku sosial. Diah Hadaning menyoroti figur yang merasa paling tinggi, paling benar, dan menuntut penghormatan tanpa memberikan penghargaan yang sama kepada orang lain. Ini merupakan kritik atas sifat sombong yang dapat melemahkan empati dan merusak hubungan antarmanusia.

Puisi ini bercerita tentang seseorang—diwakili oleh tokoh “dia”—yang digambarkan angkuh, arogan, dan haus penghormatan. Ia tidak pernah menyapa, tidak menghargai orang lain, dan menganggap dirinya pusat segalanya. Bahkan orang lain digambarkan “harus copot kepala” atau “copot kaki” sebagai simbol tunduk pada otoritasnya.

Tokoh “dia” bukan hanya satu individu, melainkan representasi orang-orang yang merasa diri penting, yang bentuknya bisa ditemukan dalam kehidupan sosial, lingkungan kerja, bahkan sistem kekuasaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah peringatan bahwa keangkuhan tidak pernah melahirkan kebaikan. Seseorang yang mengedepankan kekuasaan, ego, dan penghormatan palsu pada akhirnya akan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Selain itu, puisi ini mengandung sindiran bahwa banyak orang ingin tampak “maharani” atau “pendekar sejati”—ingin dihormati, dianggap pahlawan, atau pembela kebenaran—namun perilakunya justru bertentangan dengan moralitas, seperti diibaratkan dengan “kaki injak melati,” yakni menginjak kesucian atau kebaikan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi terasa sinis, tajam, satir, dan penuh kritik. Ada nada kegetiran sekaligus kejengkelan ketika penyair menggambarkan tingkah orang-orang yang tenggelam dalam keangkuhan. Tekanan repetisi “dia, dia, dia” menambah kesan jenuh dan penolakan pada karakter angkuh tersebut.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah:
  1. Keangkuhan adalah sumber kerusakan hubungan antarmanusia.
  2. Hargailah orang lain sebelum menuntut penghargaan.
  3. Jangan memuja diri sendiri atau menginginkan kehormatan palsu.
  4. Kebesaran seseorang tidak diukur dari sikap angkuh, tetapi dari kerendahan hati.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji, terutama imaji visual yang kuat dan simbolis:
  • “mulutnya belati siap tikam” → imaji visual yang menggambarkan kata-kata yang menyakitkan.
  • “nafasnya aroma pasar induk” → imaji penciuman yang memberi kesan jorok dan tak menyenangkan.
  • “kau harus copot kepala / simpan di kantung celana” → imaji visual hiperbolis sebagai simbol kepatuhan total.
  • “kaki injak melati” → imaji yang menegaskan tindakan merusak kesucian atau kebaikan.
Citra-citra ini memperkuat kritik sosial dan membangun suasana keras dan sinis.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi:

Metafora
  • “mulutnya belati siap tikam”
→ Perilaku dan kata-kata kasar diibaratkan belati.
  • “patung sepi” (jika ditafsirkan secara simbolis dari bagian awal puisi sebelum repetisi)
→ Sosok yang tidak peka atau tidak berperasaan.

Hiperbola
  • “kau harus copot kepala / simpan di kantung celana”
  • “kau harus copot kaki / sandarkan di kolong sunyi”
→ Gambaran berlebihan untuk menunjukkan betapa besar tuntutan kepatuhan dari orang angkuh.

Repetisi
  • Repetisi “dia, dia, dia” untuk mempertegas fokus pada sosok angkuh yang menjadi kritik utama puisi.
Ironi
  • “ingin seperti maharani / ingin seperti pendekar sejati / membela bumi pertiwi”
→ Ironi karena citra tersebut bertentangan dengan perilaku angkuh yang digambarkan sebelumnya.

Puisi “Orang-Orang Angkuh” karya Diah Hadaning merupakan cermin kritis yang menohok perilaku manusia yang kehilangan empati dan dibutakan oleh ego. Melalui bahasa yang keras, imaji yang kuat, dan majas yang intens, penyair mengingatkan pembacanya akan bahaya sifat angkuh yang dapat menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan. Pesannya jelas: dunia memerlukan lebih banyak kerendahan hati, bukan kesombongan.

"Puisi: Orang-Orang Angkuh (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Orang-Orang Angkuh
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.