Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pada Tiap Tikungan (Karya Gunoto Saparie)

Puisi “Pada Tiap Tikungan” karya Gunoto Saparie bercerita tentang seseorang yang mencoba menemukan kembali jejak menuju kekasih atau seseorang yang ..
Pada Tiap Tikungan

pada tiap tikungan jalan menuju ke rumahmu
aku menandai dengan sketsa dan grafiti
namun di manakah tanda-tanda itu kini?
aku abai dan alpa, tak dapat menemukanmu

pada tiap tikungan jalan menuju rumahmu
aku menandai dengan cinta dan berahi
namun di manakah hasrat syahwat itu kini?
aku ingkar dan lupa, tak dapat menggapaimu

jejak-jejak kita pun samar mengabur
jejak-jejak kita pun terhapus oleh waktu
tak ada lagi rasa kingkin ombak berdebur
rasa kangen reuni pun raib tak menentu

2021

Analisis Puisi:

Puisi “Pada Tiap Tikungan” karya Gunoto Saparie adalah karya liris yang menggambarkan pencarian, kehilangan, dan memudarnya hubungan antara dua manusia. Dengan gaya bahasa yang sederhana tetapi sarat metafora, penyair menghadirkan suasana emosional yang melankolis, seolah pembaca diajak menyusuri tikungan-tikungan jalan yang menyimpan kenangan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehilangan dan memudarnya hubungan cinta. Di balik metafora “tikungan jalan menuju rumahmu”, penyair sedang berbicara tentang perjalanan batin menuju seseorang yang dahulu pernah begitu dekat namun kini terasa jauh. Tema tambahan yang muncul adalah penyesalan, lupa, dan lenyapnya jejak kenangan oleh waktu.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mencoba menemukan kembali jejak menuju kekasih atau seseorang yang dulu sangat berarti. Dahulu, sang tokoh lirik pernah menandai “tikungan-tikungan” menuju orang tersebut — baik dengan “sketsa dan grafiti”, maupun dengan “cinta dan berahi”.

Namun kini, ia bertanya-tanya di mana semua tanda itu. Ia merasa telah abai, lupa, ingkar, sehingga tak lagi mampu menemukan atau menggapai sosok yang dulu menjadi tujuan hidupnya.

Di bagian akhir, penyair menyadari bahwa jejak-jejak hubungan mereka telah mengabur, terhapus oleh waktu. Rasa rindu dan perasaan yang dulu begitu kuat pun ikut hilang, seolah dihanyutkan oleh ombak dan waktu yang terus berjalan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini cukup dalam:
  1. Memori yang memudar. Tikungan-tikungan jalan adalah metafora dari kenangan. Meskipun dulu diberi “tanda”, ingatan tidak dapat terus dipertahankan. Puisi ini mengisyaratkan betapa rapuhnya kenangan manusia.
  2. Hubungan yang hilang karena kelalaian. “Aku abai dan alpa”, “aku ingkar dan lupa” menunjukkan bahwa hubungan tidak hilang begitu saja — ada unsur kesalahan atau kelalaian. Penyair menyinggung bagaimana cinta bisa memudar bukan hanya oleh jarak, tetapi oleh sikap manusia sendiri.
  3. Waktu sebagai kekuatan yang menghapus. Waktu digambarkan sebagai sesuatu yang menghapus jejak, rasa, bahkan memori. Seberapapun kuatnya cinta, jika tidak dirawat, ia larut dalam waktu.
  4. Perjalanan hidup yang tidak lagi memiliki tujuan lama. Pencarian “rumahmu” adalah pencarian makna. Ketika tanda-tanda itu hilang, tokoh lirik kehilangan arah, kehilangan makna yang dulu ia yakini.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini didominasi oleh:
  • melankolis,
  • sunyi,
  • nostalgis,
  • penuh penyesalan,
  • dan di akhir, pasrah atau kehilangan harapan.
Perasaan kehilangan dan kebingungan tercermin jelas pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyair mengenai hilangnya tanda-tanda yang dulu ia buat sendiri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat yang dapat ditangkap adalah:
  • Kenangan, cinta, atau hubungan apa pun perlu dirawat, atau ia akan hilang ditelan waktu.
  • Kelalaian dan ketidakpedulian dapat membuat kita kehilangan sesuatu yang berharga.
  • Waktu memiliki kekuatan besar untuk menghapus jejak hidup, sehingga manusia harus menghargai apa yang ada selagi masih dekat.
Puisi ini secara halus mengingatkan pembaca bahwa hubungan manusiawi bukanlah sesuatu yang abadi — ia harus dipelihara melalui kesadaran dan kesetiaan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji metaforis, terutama:
  • Imaji perjalanan: “tikungan jalan menuju rumahmu” → imaji visual perjalanan, rute, arah, dan pencarian.
  • Imaji visual seni: “sketsa”, “grafiti” → gambaran aktivitas memberi tanda, menandai sesuatu secara terang.
  • Imaji emosional: “cinta dan berahi” → menggambarkan intensitas hubungan yang pernah penuh warna.
  • Imaji alam: “rasa kingkin ombak berdebur” → menghadirkan suara dan atmosfer laut sebagai simbol memori yang dulu hidup namun kini memudar.
Imaji-imaji ini memperkaya nuansa kehilangan dan perjalanan emosional yang rumit.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini:
  • Metafora: Seluruh puisi pada dasarnya adalah metafora perjalanan sebagai gambaran hubungan cinta atau hubungan emosional yang memudar.
  • Repetisi: Pengulangan frasa “pada tiap tikungan jalan menuju rumahmu” mempertegas obsesi mencari arah menuju seseorang yang pernah berarti.
  • Personifikasi: “jejak-jejak kita pun terhapus oleh waktu” → waktu dipersonifikasikan sebagai sesuatu yang bisa menghapus.
  • Simbol: “tikungan”, “jejak”, “ombak”, “sketsa”, dan “grafiti” tidak hanya benda konkret, tetapi simbol proses mengingat dan melupakan.
Puisi “Pada Tiap Tikungan” karya Gunoto Saparie menghadirkan potret emosional yang kuat tentang kehilangan, kenangan yang memudar, dan perjalanan batin seseorang yang merasa tidak lagi mampu menemukan “rumah” yang dahulu pernah dekat. Dengan bahasa yang liris dan sarat metafora, penyair memperlihatkan bagaimana waktu, kelalaian, dan perubahan batin dapat menghapus arah hidup seseorang.

Melalui tema kehilangan, imaji perjalanan, dan metafora tentang jejak yang terhapus, puisi ini mengajak pembaca merenungkan hal-hal yang telah pergi—baik cinta, harapan, maupun kenangan—yang tak lagi dapat ditemukan di tikungan mana pun dalam hidup.

Puisi: Pada Tiap Tikungan
Puisi: Pada Tiap Tikungan
Karya: Gunoto Saparie

BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.