Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pantai Bama (Karya Djoko Saryono)

Puisi “Pantai Bama” karya Djoko Saryono bercerita tentang seseorang yang merenungi malam di tepi pantai, di mana keheningan dan suara alam menjadi ...

Pantai Bama

malam-malam begini
pantai menawari asin rindu
kecipak ombak mencatati puncak-puncak sunyi
dan di daun-daun ketapang tua, angin berzikir khusyu
di sini aku menunggu ayatmu jadi lagu
melantunkan suluk keabadian tak semu
ditingkah rebana iman duhai betapa merdu
pengantar tidur abadi, tak lekang ruang dan waktu

Baluran, 1997

Sumber: Arung Diri (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Pantai Bama” karya Djoko Saryono menghadirkan suasana batin yang hening, religius, dan kontemplatif. Dalam bait-baitnya yang singkat dan padat, penyair menyatukan keindahan alam dengan perenungan spiritual yang dalam. Pantai — tempat di mana laut bertemu daratan — menjadi ruang simbolik bagi manusia yang mencari makna ketenangan, rindu, dan keabadian.

Tema

Puisi ini mengusung tema kerinduan spiritual dan pencarian ketenangan batin melalui keheningan alam.
Pantai tidak hanya menjadi latar fisik, tetapi juga lambang ruang perenungan dan pertemuan antara manusia dengan Sang Pencipta. Rasa rindu dalam puisi ini bukan rindu duniawi, melainkan rindu yang bersifat ilahiah — kerinduan akan kedamaian yang abadi.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang merenungi malam di tepi pantai, di mana keheningan dan suara alam menjadi sahabat dalam pencarian spiritualnya.

Penyair menggambarkan suasana pantai di malam hari:

“malam-malam begini / pantai menawari asin rindu / kecipak ombak mencatati puncak-puncak sunyi.”

Melalui kalimat itu, pembaca dibawa ke dalam suasana hening yang menyelimuti pantai, di mana bunyi ombak bukan sekadar bunyi alam, melainkan bahasa kesunyian yang memantulkan isi hati manusia.

Di bagian selanjutnya, muncul nuansa religius yang kuat:

“di daun-daun ketapang tua, angin berzikir khusyu.”

Penyair menghadirkan pemandangan alam yang seolah ikut bersujud dan bertasbih. Di sinilah Djoko Saryono menyatukan alam dengan kesadaran spiritual — alam sebagai cerminan ibadah, dan manusia sebagai bagian dari kesucian ciptaan Tuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran akan kefanaan manusia dan kerinduan menuju keabadian.
Pantai menjadi metafora kehidupan: tempat manusia berdiri di batas antara yang fana (daratan) dan yang abadi (lautan). Aku lirik yang “menunggu ayatmu jadi lagu” menggambarkan kerinduan pada wahyu dan kebenaran Ilahi — bahwa kehidupan sejati tidak berada di hiruk-pikuk dunia, melainkan dalam ketenangan jiwa yang berserah.

Ungkapan “pengantar tidur abadi, tak lekang ruang dan waktu” memberi isyarat akan kematian sebagai bentuk kedamaian, bukan ketakutan. Tidur abadi dimaknai sebagai kembalinya manusia pada Tuhan, sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh waktu atau ruang. Dengan demikian, puisi ini menampilkan perenungan eksistensial yang lembut dan mendalam.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang diciptakan oleh Djoko Saryono dalam puisi ini adalah tenang, mistik, dan khidmat. Pembaca dapat merasakan keheningan malam di tepi pantai yang diwarnai rasa damai dan spiritualitas. Ada unsur kesunyian yang bukan kosong, melainkan sarat makna.

Suasana itu dibangun oleh diksi seperti “zikir khusyu,” “ayatmu jadi lagu,” dan “rebana iman.” Semua itu menimbulkan atmosfer religius, seolah pantai menjadi tempat ibadah, dan malam menjadi waktu bagi jiwa untuk berdialog dengan Tuhan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat yang dapat diambil dari puisi ini antara lain:
  • Carilah kedamaian batin melalui keheningan dan perenungan. Kesunyian bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi ruang untuk menemukan kembali makna diri dan Sang Pencipta.
  • Alam adalah media untuk mengenal Tuhan. Segala ciptaan, dari ombak hingga angin, sejatinya sedang “berzikir” — menjadi tanda kebesaran Ilahi yang dapat dirasakan oleh hati yang peka.
  • Kematian bukan akhir, melainkan perjalanan menuju keabadian. Ungkapan “pengantar tidur abadi” memberi pesan bahwa manusia seharusnya tidak takut pada kematian, karena itu hanyalah langkah menuju keheningan sejati.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji alam dan spiritualitas.
  • Imaji auditif (pendengaran): “kecipak ombak mencatati puncak-puncak sunyi” — pembaca seakan mendengar suara ombak lembut di malam hari.
  • Imaji visual: “di daun-daun ketapang tua, angin berzikir khusyu” — gambaran daun yang bergerak lembut diterpa angin menghadirkan kesan damai.
  • Imaji spiritual: “ayatmu jadi lagu” dan “rebana iman” menimbulkan suasana ibadah yang syahdu, seolah semesta sedang bernyanyi dalam pujian kepada Tuhan.
Imaji-imaji ini membentuk perpaduan antara keindahan alam dan getaran batin yang religius.

Majas

Djoko Saryono menggunakan sejumlah majas yang memperkuat makna puisi, antara lain:
  • Personifikasi – “pantai menawari asin rindu” dan “angin berzikir khusyu.” Alam dipersonifikasikan sebagai makhluk yang mampu merasakan dan beribadah.
  • Metafora – “ayatmu jadi lagu” menggambarkan wahyu Ilahi yang berubah menjadi harmoni kehidupan.
  • Hiperbola – “tak lekang ruang dan waktu” mengandung makna keabadian, menegaskan betapa besarnya kuasa cinta dan iman.
Majas-majas tersebut menjadikan puisi ini tidak hanya indah secara bunyi, tetapi juga kaya secara makna.

Puisi “Pantai Bama” karya Djoko Saryono merupakan bentuk meditasi spiritual melalui bahasa puisi. Pantai menjadi tempat pertemuan antara manusia dan Tuhan, antara rindu dan ketenangan, antara fana dan abadi. Melalui diksi yang lembut dan simbol alam yang kuat, penyair menyampaikan pesan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketenangan jiwa yang berserah, bukan pada hiruk-pikuk dunia.

Dengan gaya bahasanya yang puitis, religius, dan reflektif, Djoko Saryono berhasil menciptakan puisi yang menyatukan unsur alam dan spiritualitas — mengajak pembaca menepi sejenak dari dunia yang bising untuk menemukan makna terdalam dari kehidupan: bahwa di balik kesunyian malam di tepi pantai, ada Tuhan yang menunggu untuk didengar.

Djoko Saryono
Puisi: Pantai Bama
Karya: Djoko Saryono

Biodata Djoko Saryono:
  • Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.
© Sepenuhnya. All rights reserved.