Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Parangkusumo (Karya Bambang Widiatmoko)

Puisi “Parangkusumo” karya Bambang Widiatmoko mengajak pembaca untuk memahami bahwa hidup bukan sekadar ritual, tetapi juga arena perjuangan yang ...
Parangkusumo

Menguji kesetiaan, kepercayaan atau pelipur lara
Asap membubung terbang bau kemenyan
Adakah bisa membawa doa dan harapan
Menembus cakrawala sampai ke tangan tuhan
Sedangkan ombak laut selatan berdebur menakutkan

Serupa bunga setaman yang harum baunya
Hanya airmata dan kepasrahan belaka
Kehidupan telah kalah dipertaruhkan
Jatuh seperti pelepah daun lontar
Di luar tembok, pelacur terus saja berkelakar

Di petilasan Parangkusumo – bulan purnama
Kehidupan serupa pertunjukan wayang
Boleh saja kita menonton dari kejauhan
Atau ikut berperang dalam pertempuran
Kalah atau menang – garis nasib di telapak tangan

Sumber: Kota Tanpa Bunga (Bukupop, 2008)

Analisis Puisi:

Puisi “Parangkusumo” karya Bambang Widiatmoko merupakan karya yang sarat simbol, menghadirkan suasana mistis, religius, sekaligus filosofis tentang kehidupan manusia. Parangkusumo—yang dikenal sebagai tempat ritual, petilasan, dan ruang perjumpaan antara dunia manusia dan dunia spiritual dalam budaya Jawa—dijadikan landasan untuk merenungkan makna nasib, doa, pertaruhan hidup, dan pergulatan batin manusia.

Penyair meramu kepercayaan lokal, suasana magis, dan refleksi eksistensial menjadi satu rangkaian gambaran yang kuat. Puisi ini tidak hanya memotret ritual, tetapi lebih jauh mengajak pembaca menimbang kembali arti perjuangan dan garis nasib yang tak dapat diprediksi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perenungan tentang nasib dan kehidupan, dengan latar spiritualitas Jawa, khususnya tradisi dan kepercayaan di Parangkusumo. Tema tambahan meliputi perjuangan batin, kepasrahan, dan kerapuhan manusia dalam menghadapi takdir.

Puisi ini bercerita tentang seseorang—atau tokoh puitik—yang mengunjungi Parangkusumo, tempat yang kental dengan ritual dan pencarian jawaban spiritual. Mereka membawa doa, harapan, dan kegundahan hidup, seolah ingin menguji kepercayaan, kesetiaan, atau mencari pelipur lara.

Asap kemenyan membubung, ombak laut selatan berdentum menakutkan, dan segala fenomena spiritual itu dianggap sebagai jalan untuk membawa doa menuju Tuhan. Namun, di balik ritual tersebut, hidup tetap mengandung kepahitan dan pertaruhan yang sering berakhir pada kepasrahan, diibaratkan “jatuh seperti pelepah daun lontar”.

Di luar tembok ritual, dunia profan tetap berjalan—pelacur berkelakar—menunjukkan kontras antara spiritualitas dan realitas kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, kehidupan digambarkan seperti pertunjukan wayang—kita bisa memilih menonton saja atau ikut berperang, tetapi menang-kalah sudah digariskan oleh nasib di telapak tangan.

Makna Tersirat

Puisi ini mengandung makna tersirat yang kaya dan dalam:
  1. Ritual tidak selalu menyelesaikan persoalan hidup. Doa dan harapan yang “menembus cakrawala” belum tentu langsung mengubah kehidupan yang terasa berat.
  2. Manusia sering kalah melawan takdir. “Jatuh seperti pelepah daun lontar” menandakan bagaimana manusia bisa runtuh tanpa daya, terhempas oleh kenyataan.
  3. Keberagaman moral dalam hidup tidak bisa dihapus. Pelacur yang “berkelakar di luar tembok” melambangkan realitas sosial yang tetap berjalan di luar ritual dan kesakralan.
  4. Hidup adalah panggung wayang. Manusia memiliki peran masing-masing, tetapi banyak hal tetap ditentukan oleh nasib dan garis tangan.
  5. Kesetiaan, kepercayaan, dan harapan selalu diuji. Baik kepada Tuhan, diri sendiri, maupun perjalanan hidup.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini mistis, muram, kontemplatif, dan penuh ketegangan. Aroma kemenyan, debur ombak laut selatan, dan ritual malam purnama menghadirkan atmosfer spiritual yang pekat. Di sisi lain, kesedihan dan kepasrahan memberi nada emosional yang mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat dari puisi ini:
  1. Kehidupan adalah pilihan antara pasrah atau berjuang, tetapi apa pun pilihan kita, nasib tetap memainkan peran.
  2. Kekuatan spiritual penting, tetapi manusia tidak boleh melupakan realitas hidup yang keras.
  3. Ritual tidak menggantikan tanggung jawab, keberanian, dan kesadaran akan kerasnya kehidupan.
  4. Kehidupan sering kali tidak adil, tetapi kita tetap harus menentukan peran kita—menonton atau berperang.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual, imaji penciuman, dan imaji suasana:
  • Imaji aroma: “bau kemenyan”
  • Imaji visual spiritual: “asap membubung terbang”
  • Imaji alam: “ombak laut selatan berdebur menakutkan”
  • Imaji kesedihan: “airmata dan kepasrahan belaka”
  • Imaji sosial: “pelacur terus saja berkelakar”
  • Imaji budaya: “pertunjukan wayang”, “garis nasib di telapak tangan”
Imaji-imaji ini membangun lingkungan budaya Jawa yang kental dengan filosofi dan spiritualitasnya.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini:
  • Personifikasi: “ombak laut selatan berdebur menakutkan”. Ombak digambarkan seolah memiliki perasaan.
  • Metafora: “kehidupan serupa pertunjukan wayang”. Menggambarkan hidup sebagai drama besar yang digerakkan oleh takdir dan peran manusia.
  • Simile: “jatuh seperti pelepah daun lontar”. Menggambarkan kejatuhan manusia yang pasrah dan tak berdaya.
  • Ironi: Keberadaan pelacur berkelakar di luar ritual sakral menunjukkan ironi antara spiritualitas dan realitas sosial.
  • Simbolisme: kemenyan, ombak selatan, bulan purnama, dan pertunjukan wayang adalah simbol-simbol kuat dalam budaya Jawa.
Puisi “Parangkusumo” adalah meditasi puitik tentang kehidupan, takdir, dan pergulatan spiritual manusia. Bambang Widiatmoko berhasil menggabungkan suasana mistis Parangkusumo dengan refleksi mendalam tentang nasib dan realitas hidup. Melalui simbol budaya Jawa dan imaji yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa hidup bukan sekadar ritual, tetapi juga arena perjuangan yang kadang harus dijalani dengan pasrah, kadang dengan perlawanan.

Bambang Widiatmoko
Puisi: Parangkusumo
Karya: Bambang Widiatmoko
© Sepenuhnya. All rights reserved.