Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pariksit (Karya Goenawan Mohamad)

Puisi "Pariksit" karya Goenawan Mohamad mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kehidupan, kematian, dan makna keberadaan.
Pariksit

Pariksit menunggu hari segera lewat.
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di puncak menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.

Pariksit (1)

Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.

Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing.

Jauh di bawahku terpacak rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi.

(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)

Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.

Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.

Pariksit (2)

Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku

Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.

Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

Barisan burung-burung yang kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kota yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hidup
bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.

Aku telah lama bernafas dari kandungannya.

Telah lama.

Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?

Pariksit (3)

Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.

Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.

Karena memang kutakutkan selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang
jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.

Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari

Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.

Pariksit (4)

Wahai, adalah dia? (Berderak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)

Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
Dan tak kukenal wajahku kembali.

Di ruang ini, kunobatkan ketakutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.

Pariksit (5)

Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
Yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.

Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.

1963

Sumber: Sajak-Sajak Lengkap, 1961-2001 (2001)

Analisis Puisi:

Goenawan Mohamad, seorang penyair terkemuka Indonesia, dikenal dengan karya-karya yang mendalam dan penuh makna. Salah satu puisinya yang terkenal adalah "Pariksit". Puisi ini menggambarkan kisah Raja Pariksit yang menanti nasibnya di puncak menara, menghadapi kutukan dan merenungkan hidupnya.

Pengantar Puisi "Pariksit"

Puisi "Pariksit" membawa pembaca ke dalam dunia mitologi dan sejarah, di mana Raja Pariksit harus menghadapi kutukan yang akan membinasakannya. Kutukan ini diberikan oleh Crengi dan akan berakhir dengan kedatangan Naga Taksaka. Goenawan Mohamad dengan cermat menggabungkan elemen-elemen mitologi dengan refleksi filosofis tentang kehidupan, kematian, dan nasib.

Bagian Pertama (Pariksit 1)

Pada bagian pertama, Raja Pariksit menyadari bahwa kutukan sedang mendekat. Dia merasakan angin yang purba, dingin, dan asing, serta menantikan saat kutukan tersebut mencapai dirinya. Di sini, Pariksit merenungkan tentang rakyatnya yang menyelamatkan dan menyiksanya, serta tentang ketidakmampuan manusia untuk berbagi beban secara penuh. Pariksit merasakan kesepian yang mendalam dan sunyi yang menyelimuti dirinya.

Bagian Kedua (Pariksit 2)

Bagian kedua mengungkapkan dualitas menara sebagai penjara sekaligus penyelamat bagi Pariksit. Menara ini tinggi dan angkuh, namun juga menjadi tempat perlindungan bagi raja muda tersebut. Pariksit berbicara tentang pilihan-pilihan yang telah dibuatnya demi keselamatan keluarganya dan rakyatnya, meskipun itu berarti ia harus hidup dalam ketakutan dan kehilangan kebebasan hatinya. Ia juga merenungkan tentang maut yang telah dihindarinya.

Bagian Ketiga (Pariksit 3)

Pada bagian ini, Pariksit menunggu kutukan yang akan datang pada senja hari. Dia merindukan kemenangan-kemenangan yang dapat mengalahkan rasa takutnya. Pariksit menyadari bahwa keabadian hanya ada dalam perpisahan dan bahwa kehidupan yang fana dan penuh warna akan hilang bersamanya. Dia juga mengingat kekasihnya dalam kenangan dini hari yang telanjang dan penuh harumnya.

Bagian Keempat (Pariksit 4)

Bagian keempat menggambarkan kebingungan dan ketakutan Pariksit saat dia merasakan dinginnya angin yang menguap padanya. Dia merenungkan bahwa meskipun ia selamat, kiamat tetap akan ada dalam dirinya. Pariksit menyadari bahwa meskipun ia dibebaskan, ia tidak sepenuhnya bebas dan kehilangan identitasnya. Dalam kesunyian menara, dia menobatkan ketakutannya dan mengikat kehidupannya pada takdir yang tidak bisa dihindari.

Bagian Kelima (Pariksit 5)

Bagian terakhir puisi ini mengungkapkan penerimaan Pariksit terhadap mautnya. Dia menunjukkan bahwa segala yang terjadi tidaklah sia-sia. Dengan keberanian, dia mendekap siksa yang diwakilkan padanya dan menyatu dengan maut. Pariksit melihat keabadian dalam pergerakan alam dan nafas yang santai, serta memahami bahwa setiap momen adalah fana namun juga baka.

Puisi "Pariksit" karya Goenawan Mohamad merupakan karya yang mendalam, menggambarkan perjuangan manusia dalam menghadapi nasib dan ketakutan. Melalui kisah Raja Pariksit, Goenawan Mohamad mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kehidupan, kematian, dan makna keberadaan. Dengan bahasa yang indah dan penuh simbolisme, puisi ini menjadi salah satu karya yang memperkaya dunia sastra Indonesia.

Puisi Goenawan Mohamad
Puisi: Pariksit
Karya: Goenawan Mohamad

Biodata Goenawan Mohamad:
  • Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah.
  • Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.