Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pasar Gading (Karya Bambang Widiatmoko)

Puisi “Pasar Gading” karya Bambang Widiatmoko bercerita tentang kondisi Pasar Gading yang semakin sepi dan terbengkalai. Para pedagang, terutama ...
Pasar Gading

Sehari-hari pasar kian terlantar
Menampakkan sisa kejayaan yang pudar
Pedagang ikan mengusir lalat-lalat nakal
Mengeluh pada nasib yang terasa kekal

Menghirup teh kental di pasar Gading
Seharian duduk ditemani dinding
Mbok bakul mengatur sobekan daun pisang
Bersimpuh bertahun dalam samadi yang panjang

Sumber: Kota Tanpa Bunga (Bukupop, 2008)

Analisis Puisi:

Puisi “Pasar Gading” karya Bambang Widiatmoko menampilkan potret kehidupan pasar tradisional yang semakin terpinggirkan. Dengan pilihan diksi yang sederhana namun kuat, penyair menyusun narasi lirih tentang perubahan zaman, nasib pedagang kecil, dan kehidupan yang berjalan dalam kesunyian yang memudar. Puisi ini seperti dokumentasi puitis atas realitas yang sering luput dari perhatian: pasar rakyat yang kian sepi, pedagang tua yang tetap bertahan, dan rutinitas yang penuh kesabaran.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kemunduran dan keterpinggiran pasar tradisional. Penyair menghadirkan gambaran pasar yang dulunya ramai dan berjaya, kini berubah menjadi tempat yang “kian terlantar”. Tema pendampingnya adalah keteguhan dan nasib pedagang kecil, yang digambarkan tetap bertahan meski kondisi tempat mereka semakin merosot.

Puisi ini bercerita tentang kondisi Pasar Gading yang semakin sepi dan terbengkalai. Para pedagang, terutama pedagang ikan dan mbok bakul, digambarkan tetap menjalankan rutinitas harian mereka meski keadaan tak lagi seperti dulu.

Ada pedagang ikan yang mengusir “lalat-lalat nakal”, menggambarkan situasi yang kurang higienis namun tetap dijalani. Ada pula sosok mbok bakul yang duduk bersimpuh bertahun-tahun, sebagai simbol ketabahan hidup. Penyair juga memasukkan pengalaman personal berupa aktivitas menghirup teh kental di pasar, menambah nuansa kedekatan dengan ruang yang menyimpan banyak cerita.

Makna Tersirat

Di balik gambaran sederhana pasar, terdapat beberapa makna tersirat:
  1. Kritik sosial terhadap perubahan zaman. Kehadiran pasar yang “kian terlantar” mengisyaratkan memudarnya pasar tradisional akibat perkembangan kota, persaingan modern, atau kurangnya perhatian pemerintah.
  2. Ketahanan hidup kaum kecil. Pedagang yang tetap berjualan meski kondisi berat menyiratkan bahwa hidup mereka terikat pada pasar tersebut. Mereka menjalani nasib dengan kesabaran panjang, bahkan kadang terasa pasrah.
  3. Kehilangan nilai-nilai lama. Sisa kejayaan yang pudar menunjukkan hilangnya nilai budaya, interaksi sosial, dan kehidupan ekonomi tradisional yang dulu menjadi pusat masyarakat.
  4. Pasar sebagai ruang spiritual dan kontemplatif. Ungkapan “samadi yang panjang” memberi kesan bahwa bagi sebagian pedagang, pasar bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi ruang perenungan hidup yang dijalani bertahun-tahun.

Suasana Dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa:
  • muram, karena menggambarkan tempat yang telah kehilangan kejayaannya,
  • melankolis, penuh kenangan tentang masa lalu yang lebih baik,
  • sepi, meski tetap ada aktivitas rutin,
  • pasrah, tergambar dari pedagang yang “mengeluh” namun tetap bertahan,
  • kontemplatif, terutama ketika membahas mbok bakul yang bersimpuh seperti sedang bermeditasi dalam hidup yang panjang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat yang dapat diambil:
  1. Hargailah perjuangan pedagang kecil, yang tetap bertahan meski kondisi tidak memihak mereka.
  2. Jagalah dan perhatikan pasar tradisional, sebab ia menyimpan sejarah dan identitas sosial sebuah daerah.
  3. Perubahan zaman tidak seharusnya menghapus ruang budaya, dan perlu ada upaya untuk menjaga keberlanjutan ruang-ruang tersebut.
  4. Kesabaran dan keteguhan adalah bagian penting dari kehidupan, sebagaimana digambarkan melalui tokoh-tokoh pedagang dalam puisi.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji suasana, antara lain:
  • Imaji visual pasar yang terlantar: “Menampakkan sisa kejayaan yang pudar” memberi gambaran pasar tua yang lusuh.
  • Imaji visual pedagang ikan: “Mengusir lalat-lalat nakal” menghadirkan suasana nyata dan konkret dari aktivitas pasar.
  • Imaji rasa dan suasana: “Menghirup teh kental di pasar Gading” menciptakan sensasi hangat sekaligus nostalgia.
  • Imaji mbok bakul yang bersimpuh: Sosok yang menata daun pisang dan “bersimpuh bertahun” membangun imaji kuat tentang kesabaran dan keprihatinan.

Majas

Beberapa majas yang dapat ditemukan dalam puisi:

Personifikasi
  • “pasar kian terlantar” memberi sifat layaknya makhluk yang bisa ditinggalkan dan dibiarkan memudar.
  • “lalat-lalat nakal” memberikan karakter manusia pada binatang kecil.
Metafora
  • “samadi yang panjang” memetaforakan rutinitas panjang mbok bakul sebagai tindakan spiritual.
Hiperbola
  • “bersimpuh bertahun” memberi kesan waktu yang sangat lama, meski tidak selalu literal.
Imaji metaforis
  • “sisa kejayaan yang pudar” menggambarkan penurunan pasar melalui visualisasi kejayaan sebagai sesuatu yang bisa luntur.
Puisi “Pasar Gading” karya Bambang Widiatmoko merupakan potret lirih tentang kehidupan pasar tradisional yang semakin kehilangan nyawa. Melalui tema kemunduran pasar dan ketabahan pedagang kecil, penyair berhasil menciptakan imaji yang kuat, suasana yang melankolis, serta makna-makna tersirat tentang perubahan sosial. Puisi ini mengingatkan pembacanya bahwa di balik setiap ruang yang terlupakan, selalu ada manusia yang tetap bertahan, menjalani hidup dengan kesederhanaan dan kesabaran yang panjang.

Bambang Widiatmoko
Puisi: Pasar Gading
Karya: Bambang Widiatmoko
© Sepenuhnya. All rights reserved.