Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perang Takkan Berakhir (Karya Hendro Siswanggono)

Puisi “Perang Takkan Berakhir” karya Hendro Siswanggono bercerita tentang seseorang yang hidup dalam bayang-bayang perang—baik perang nyata maupun ...
Perang Takkan Berakhir

Perang takkan berakhir di bulan suci
kering kecoklatan tanpa peduli
dan satu-satunya duka yang tersisa
merenangi kabut hingga saat tiba

Tertutup dalam genggaman bara airmata
menggigil di bawah malam penuh bintang
mencintai iblis dalam pelukan yang panas
terkungkung kembang bakung dan bibir yang beringas

Tempat tinggal yang tersembul dari kegelapan
jejak ciuman yang gemerlap menggugah
kehilangan serupa penunggang kuda yang melintas tiba-tiba
merindukan peperangan dan penyembelihan yang menggairahkan

Sumber: Burung-Burung Liar Merayah Terbang ke Selatan (2020)

Analisis Puisi:

Puisi “Perang Takkan Berakhir” karya Hendro Siswanggono menghadirkan suasana gelap dan simbolik tentang perang, luka batin, dan keterikatan manusia pada kekerasan. Penyair menyusun dunia yang penuh kabut, bara, dan malam berbintang, yang bukan tampil sebagai keindahan, melainkan sebagai ruang konflik batin dan kehancuran moral. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang perang fisik, tetapi juga perang di dalam diri manusia—sebuah perlawanan yang tidak pernah selesai.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perang batin dan kegelapan manusia, serta ketidakberakhiran kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Perang yang digambarkan bukan hanya pertempuran di medan laga, tetapi juga kondisi mental seseorang yang terus hidup dalam trauma, kehampaan, bahkan ketertarikan pada kehancuran itu sendiri.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang hidup dalam bayang-bayang perang—baik perang nyata maupun perang emosional yang berkepanjangan. Dalam puisi ini, bulan suci yang biasanya identik dengan kedamaian justru dipadati oleh kekeringan dan duka. Aku lirik membawa kenangan yang tak terhapuskan, seolah perang itu meresap hingga ke pengalaman paling pribadi: air mata, malam, tubuh, dan bahkan cinta yang berubah bentuk menjadi sesuatu yang panas, liar, dan destruktif.

Puisi ini juga menceritakan bagaimana seseorang yang telah lama berada dalam kekerasan bisa menjadi terjerat: merindukan pertempuran, terbiasa dengan luka, dan bahkan menemukan gairah dalam kehancuran.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini mengandung beberapa makna penting:
  1. Perang meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Bahkan dalam momen yang seharusnya damai (“bulan suci”), perang tetap menghantui batin seseorang.
  2. Manusia dapat menjadi terbiasa, bahkan ketagihan, pada kekerasan. Frasa seperti “mencintai iblis dalam pelukan yang panas” dan “merindukan peperangan dan penyembelihan yang menggairahkan” menunjukkan bagaimana kekerasan bisa mengubah moral seseorang.
  3. Duka dan kehilangan mengisi ruang hidup. “Satu-satunya duka yang tersisa” dan “kehilangan serupa penunggang kuda” memperlihatkan perasaan kehilangan yang bukan sekadar menyakitkan, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas.
  4. Kegelapan dapat menelan nilai-nilai kemanusiaan. Tempat tinggal yang “tersembul dari kegelapan” menggambarkan kehidupan yang terbentuk dari keadaan yang sudah rusak secara moral.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat kelam, muram, dan penuh tekanan emosional. Ada nuansa dingin (“menggigil di bawah malam penuh bintang”), panas (“pelukan yang panas”), dan kelabu (“kabut”, “genggaman bara”). Semua ini membangun atmosfer yang mencekam dan menyesakkan, seolah dunia puisi ini berada dalam batas antara hidup dan mati, waras dan gila.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Secara tersirat, puisi ini menyampaikan beberapa pesan moral:
  1. Perang meninggalkan dampak yang lebih dalam dari sekadar kerusakan fisik. Ia merusak jiwa, nilai, dan kemanusiaan.
  2. Kekerasan yang berkepanjangan membuat manusia kehilangan sensitifitas. Bahkan hal buruk seperti perang dapat menjadi sesuatu yang “dirindukan” ketika seseorang telah lama terjebak dalam lingkarannya.
  3. Kedamaian tidak dapat hadir hanya karena kondisi luar berubah. Selama batin manusia masih terikat pada trauma dan kekerasan, perang tetap hidup di dalam diri.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat dan mencolok:

Imaji visual:
  • “kering kecoklatan”
  • “kabut”
  • “tempat tinggal yang tersembul dari kegelapan”
  • “jejak ciuman yang gemerlap”
Imaji ini membangun kontras antara kegelapan dan kilatan cahaya, menandakan pertarungan batin.

Imaji emosional:
  • “genggaman bara airmata”
  • “kehilangan serupa penunggang kuda”
Imaji tersebut menggambarkan rasa pedih, duka, dan trauma.

Imaji sensual yang diretas oleh kengerian:
  • “mencintai iblis dalam pelukan yang panas”
  • “bibir yang beringas”
Imaji ini menunjukkan bagaimana cinta atau kedekatan bisa terdistorsi oleh kekerasan dan trauma.

Imaji gerak:
  • “melintas tiba-tiba”
  • “merenangi kabut”
Imaji ini memberi kesan dunia yang tidak stabil, selalu berubah, dan tidak aman.

Majas

Beberapa majas yang tampak jelas dalam puisi ini antara lain:

Metafora
  • “genggaman bara airmata”: kesedihan yang sangat menyakitkan.
  • “kembang bakung dan bibir yang beringas”: keindahan yang bercampur bahaya.
Personifikasi
  • “duka yang merenangi kabut”: duka dibuat seolah bergerak seperti manusia.
Simile
  • “kehilangan serupa penunggang kuda”: menggambarkan kehilangan yang datang tiba-tiba, cepat, dan tak bisa dihentikan.
Hiperbola
  • “mencintai iblis dalam pelukan yang panas": memperkuat intensitas kekacauan moral.
Paradoks
  • Penggambaran bulan suci yang justru menjadi tempat keberlanjutan perang.
Metonimia / simbolisme
  • “kembang bakung” sebagai simbol kematian atau kesedihan.
Puisi “Perang Takkan Berakhir” karya Hendro Siswanggono membangun dunia yang gelap dan simbolik tentang trauma perang dan kehancuran karakter manusia. Dengan tema perang batin, imaji yang kuat, dan majas yang pekat, penyair berhasil menunjukkan bagaimana kekerasan tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga menciptakan ketergantungan emosional yang membelenggu. Puisi ini mengajak pembaca merenung bahwa perang, dalam bentuk apa pun, tidak akan benar-benar selesai selama manusia masih menyimpan bara kekerasan di dalam dirinya.

Hendro Siswanggono
Puisi: Perang Takkan Berakhir
Karya: Hendro Siswanggono

Biodata Hendro Siswanggono:
  • Hendro Siswanggono lahir pada tanggal 19 Oktober 1951 di Sidoarjo.
© Sepenuhnya. All rights reserved.