Sumber: Pelajaran Kincir Angin (2017)
Analisis Puisi:
Puisi “Periuk Cimanuk” karya Kinanthi Anggraini merupakan karya yang mengandung kekayaan sejarah, geografi, sekaligus spiritualitas lokal. Ia bukan hanya menuturkan tentang sungai Cimanuk sebagai entitas alam, tetapi juga menghadirkannya sebagai simbol kehidupan, perjalanan sejarah, dan sumber identitas masyarakat di wilayah Jawa Barat. Puisi ini memadukan bahasa geografis dan mitologis dalam satu aliran kata yang lembut, namun dalam makna.
Tema
Puisi ini bertema keagungan alam dan sejarah Sungai Cimanuk sebagai sumber kehidupan dan identitas budaya masyarakat Jawa Barat. Melalui deskripsi geografis dan kisah turun-temurun dari Aki Pengebon hingga utusan Mataram, penyair menegaskan bahwa sungai bukan sekadar aliran air, melainkan nadi sejarah yang menghubungkan manusia dengan tanah, leluhur, dan spiritualitasnya.
Tema besar ini menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam, serta penghormatan terhadap warisan leluhur yang terpatri dalam lanskap sungai yang subur dan sarat makna simbolik.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan Sungai Cimanuk — dari hulu hingga muara — sebagai saksi bisu sejarah dan kehidupan masyarakat Jawa Barat. Penyair menuturkan kisah ini dengan gaya naratif yang berpadu antara fakta geografis dan legenda lokal. Aliran sungai yang mengalir dari daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, hingga Sumedang dan Garut menjadi semacam metafora perjalanan waktu dan peradaban.
Di tengah kisahnya, muncul pula tokoh-tokoh seperti Aki Pengebon dan abdi Mataram, yang membawa pesan dari Pangeran Tjakraningrat kepada Bupati Sumedang Suradiwangsa — menandakan bahwa Sungai Cimanuk bukan hanya latar alam, tetapi juga ruang sejarah yang menyimpan kisah diplomasi, perjuangan, dan pengorbanan manusia masa lalu.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini ialah bahwa alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang saling menghidupi dan meneguhkan. Cimanuk digambarkan bukan hanya sebagai sungai, melainkan “periuk kehidupan”, tempat segala sesuatu bermuara — doa, sejarah, air mata, dan harapan.
Penyair juga ingin menyampaikan pesan bahwa setiap aliran air adalah ingatan masa lalu, membawa hikmah dan pelajaran bagi manusia masa kini. Ketika badai dan banjir datang (“ujian menerpa atas tabiat musim yang enggan bijaksana”), hal itu bukan sekadar bencana, melainkan isyarat agar manusia belajar kembali pada kebijaksanaan alam yang telah lama dijaga oleh para leluhur.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah penuh kekaguman, nostalgia, dan kesyahduan spiritual. Diksi seperti “doa basah yang mengusur”, “riuh kecipak riak di atas batu purba”, dan “bulu embun rupawan bersanding pohon tua” menciptakan suasana yang lembut sekaligus khidmat, seolah pembaca sedang diajak menyusuri sungai purba yang sarat cerita dan kesakralan.
Nuansa yang hadir tidak hanya alamiah, tapi juga kontemplatif — menghadirkan rasa syukur sekaligus renungan tentang siklus hidup manusia.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa manusia harus menjaga dan menghargai alam sebagai bagian dari sejarah dan identitasnya. Sungai Cimanuk menjadi lambang keterhubungan antara masa lalu dan masa kini; antara manusia dengan tanah kelahirannya.
Penyair mengajak pembaca untuk menyadari bahwa warisan alam bukan sekadar sumber daya, melainkan juga sumber makna, doa, dan keberlangsungan hidup.
Amanat lain yang tersirat ialah pentingnya melestarikan tradisi dan cerita rakyat, sebab di dalamnya tersimpan nilai-nilai kearifan yang tak lekang oleh waktu — sebagaimana Cimanuk tetap mengalir, walau zaman terus berganti.
Imaji
Kinanthi Anggraini menggunakan imaji visual dan auditif yang sangat kuat untuk membangun lanskap puisi ini. Contoh imaji visual dapat dilihat pada kutipan:
“Hamparan kiri dan kanan rapi tertata, sepanjang seratus delapan puluh kilometer bentangnya…”
Kalimat ini menghadirkan gambaran panorama sawah dan lembah di sepanjang aliran sungai yang luas dan subur.
Sementara imaji auditif muncul pada larik:
“riuh kecipak riak di atas batu purba.”
Imaji ini membuat pembaca seolah mendengar suara air yang menari di antara bebatuan, menandakan kehidupan yang dinamis.
Selain itu, ada juga imaji taktil dalam frasa “badan telah basah oleh bulu embun rupawan”, yang menghadirkan sensasi fisik dan kelembutan alam yang menyentuh.
Majas
Dalam puisi ini, Kinanthi Anggraini banyak menggunakan majas personifikasi, metafora, dan epitet.
Personifikasi tampak dalam larik:
“dari timur segerombol waktu merangkak ke arahmu”
Waktu diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa merangkak dan bergerak.
Metafora muncul pada bagian:
“persegi hijau persegi” dan “periukmu lekas kutemukan.”
“Periuk” di sini bukan benda dapur semata, melainkan simbol tempat menampung kehidupan, yakni sungai itu sendiri.
Epitet (julukan puitis) digunakan untuk memperkaya kesan bunyi dan makna, seperti:
“doa basah”, “lampu air semesta”, dan “bulu embun rupawan.”
Setiap epitet memperkuat kesan bahwa air, embun, dan alam adalah bagian dari entitas spiritual yang hidup dan sakral.
Puisi “Periuk Cimanuk” karya Kinanthi Anggraini adalah puisi epik-liris yang menautkan antara sejarah, alam, dan spiritualitas lokal Sunda. Melalui bahasa yang indah dan penuh simbol, penyair menggambarkan Sungai Cimanuk sebagai nadi kehidupan sekaligus cermin kebijaksanaan leluhur. Ia mengingatkan pembaca bahwa di balik setiap aliran air terdapat kisah yang perlu didengar, dijaga, dan diwariskan. Dalam setiap baitnya, tersimpan ajakan untuk kembali pada kesadaran ekologis dan kultural — bahwa manusia bukan penguasa atas alam, melainkan bagian dari harmoni besar ciptaan semesta.
Karya: Kinanthi Anggraini
Biodata Kinanthi Anggraini:
Kinanthi Anggraini lahir pada tanggal 17 Januari 1989 di Magetan, Jawa Timur.
Karya-karya Kinanthi Anggraini pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Horison, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Basis, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Riau Pos, Lampung Post, Solopos, Bali Post, Suara Karya, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Minggu Pagi, Bangka Pos, Majalah Sagang, Malang Post, Joglosemar, Potret, Kanal, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Radar Bekasi, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin, Rakyat Sumbar, Persada Sastra, Swara Nasional, Ogan Ilir Ekspres, Bangka Belitung Pos, Harian Haluan, Medan Bisnis, Koran Madura, Mata Banua, Metro Riau, Ekspresi, Pos Bali, Bong-Ang, Hayati, MPA, Puailiggoubat, Suara NTB, Cakrawala, Fajar Sumatera, Jurnal Masterpoem Indonesia, dan Duta Selaparang.
Puisi-puisi Kinanthi Anggraini terhimpun di dalam buku Mata Elang Biru (2014) dan Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018). Karya-karyanya juga diterbitkan dalam cukup banyak buku antologi bersama.
Nama Kinanthi Anggraini tertulis dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017).
