Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sebuah Kota (Karya Alex R. Nainggolan)

Puisi “Sebuah Kota” karya Alex R. Nainggolan bercerita tentang pengalaman hidup seseorang (atau sepasang manusia) yang berjuang bertahan di dalam ...
Sebuah Kota (1)

sebuah kota, kauberikan aku sepotong riwayat
fragmen yang lama kaukerat
juga bungkusan masalah yang merebut mimpi malam
sebelum larut jadi pagi
dan menjegal dengan tersengal
akan jadwal kita
tergesa meraba-raba cuaca
memasuki lagi lorong-lorong jalan
yang hingar dan terang
tapi gelap dari makna

Sebuah Kota (2)

di sini, kita bagai terusir
tapi selalu gagal sembunyi
sementara waktu terus memburu
bagai langkah babi
yang sungsang
berita kelahiran dan kematian
cuma sebatas kabar
yang sekejap hilang
serupa senja
yang abai dan larut ke tenung malam

di sini, kita berbagi teka-teki
beternak luka
yang makin hari semakin dalam
hingga ke dalam kepompong rumah
hingga ke jantung hati kita

Sebuah Kota (3)

dan selalu kautawarkan cercah mimpi yang baru
barangkali sedikit harap
yang juga membawa cemas

sebuah kota, selalu kita sesak di dalamnya
terhimpit dalam cengkramnya
hingga tubuh memar dan penuh pilu

Jakarta, 2008

Analisis Puisi:

Puisi “Sebuah Kota” karya Alex R. Nainggolan menghadirkan lanskap urban yang tidak sekadar menjadi latar tempat, melainkan ruang batin yang dihuni riwayat, luka, dan kegelisahan eksistensial. Melalui tiga bagian puisinya—Sebuah Kota (1), (2), dan (3)—penyair seolah mengajak pembaca menelusuri bagaimana sebuah kota dapat menjadi tempat tinggal sekaligus tempat tersingkir; sumber harapan sekaligus ancaman sunyi.

Tema

Puisi ini memiliki tema besar tentang keterasingan manusia di tengah hiruk-pikuk kota modern. Kota, yang seharusnya menjadi ruang hidup, tampil sebagai tempat penuh tekanan, kehilangan makna, dan luka-luka batin yang terus dipupuk oleh ritme hidup yang keras.

Tema lain yang ikut membayang adalah:

  • fragmentasi hidup,
  • dilema antara harapan dan kecemasan,
  • kota sebagai mesin waktu yang memburu,
  • pergeseran nilai dalam kehidupan urban.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman hidup seseorang (atau sepasang manusia) yang berjuang bertahan di dalam sebuah kota yang memenjarakan mereka secara psikologis. Kota itu memberi “sepotong riwayat”, tetapi juga menghadirkan “bungkusan masalah” yang merebut mimpi dan menciptakan tekanan setiap hari.

Dalam bagian kedua, kota digambarkan sebagai ruang di mana manusia merasa “terusir tapi selalu gagal sembunyi”, menandakan betapa kota bisa menjadi tempat penuh paradoks: tak nyaman, tetapi tak bisa benar-benar ditinggalkan.

Bagian ketiga menggambarkan bagaimana kota tetap menawarkan “cercah mimpi yang baru”, tetapi harapan itu membawa kecemasan tersendiri. Kota tetap menyesakkan, memar, dan penuh pilu, tetapi manusia terus terjebak di dalamnya.

Makna Tersirat

Makna tersirat yang dapat dibaca dari puisi ini antara lain:

  1. Kota sebagai metafora kehidupan modern. Kota tidak hanya ruang fisik, tetapi simbol dari: rutinitas yang menguras tenaga, tekanan sosial, keterasingan, dan kehilangan makna.
  2. Hidup manusia seperti riwayat yang “terpotong”. Kata “sepotong riwayat” dan “fragmen yang lama kaukerat” menyiratkan bahwa manusia modern sering kehilangan kendali atas alur hidupnya. Segalanya menjadi serpihan.
  3. Kota membentuk luka batin yang berulang. Istilah “beternak luka” menunjukkan bahwa luka dalam kehidupan urban bukan hanya hadir, tetapi berkembang, bertambah dalam, dan mempengaruhi kehidupan domestik (“hingga ke dalam kepompong rumah”).
  4. Kota memberikan harapan yang rapuh. Meski menawarkan mimpi dan “sedikit harap”, kota juga membawa kecemasan. Harapan di sini tidak pernah utuh; selalu retak.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini umumnya:

  • sumpek,
  • kelam,
  • tertekan,
  • penuh kelelahan batin,
  • tetapi sesekali menyisakan semburat harapan yang cemas.

Hingar bingar kota yang “terang tapi gelap dari makna” menggambarkan suasana paradoks: ramai namun kosong.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat atau pesan yang tersirat dalam puisi dapat dibaca sebagai:

  1. Kota modern dapat mengikis makna hidup jika manusia tidak menemukan cara berdamai dengan ritme dan tuntutan di dalamnya.
  2. Kehidupan urban memerlukan ketabahan: luka-luka yang tumbuh harus dihadapi, bukan disembunyikan.
  3. Harapan tetap ada, meski rapuh. Namun kita perlu waspada agar tidak larut dalam “cengkraman” kota yang memenjarakan kehidupan batin.
  4. Pentingnya menyadari bahwa kesesakan hidup bukan semata persoalan tempat, tetapi bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam arus kehidupan urban.

Imaji

Beberapa imaji kuat muncul dalam puisi ini, misalnya:

Imaji visual:

  • “lorong-lorong jalan yang hingar dan terang tapi gelap dari makna”,
  • “serupa senja yang abai dan larut ke tenung malam”,

menghadirkan gambaran kota yang paradoksal.

Imaji pergerakan:

  • “tergesa meraba-raba cuaca”,
  • “waktu terus memburu bagai langkah babi yang sungsang”,

memperlihatkan manusia yang dikejar-kejar oleh ritme hidup.

Imaji rasa:

  • “tubuh memar dan penuh pilu”,
  • “beternak luka”,

menciptakan rasa sakit dan tekanan batin yang sangat konkret.

Majas

Beberapa majas yang tampak dominan dalam puisi ini:

  • Metafora: kota sebagai “cengkram”, “kepompong rumah”, “bungkusan masalah”, dll.
  • Personifikasi: kota digambarkan memberi riwayat, menawarkan mimpi, mencengkeram tubuh.
  • Simile (perbandingan): “bagai langkah babi yang sungsang”, “serupa senja yang abai”.
  • Hiperbola: “hingga tubuh memar dan penuh pilu”—penguatan kesan penderitaan.
  • Paradoks: “terang tapi gelap dari makna”.

Melalui puisi “Sebuah Kota”, Alex R. Nainggolan berhasil menghadirkan kritik puitik terhadap kehidupan urban yang serba cepat, menyesakkan, dan sering kali mengikis kemanusiaan. Kota tampil sebagai ruang yang memadukan riwayat, luka, harapan, dan kecemasan, sehingga puisi ini menjadi potret jujur tentang kehidupan manusia modern yang terus mencari makna di tengah padatnya bangunan dan waktu yang memburu.

Alex R. Nainggolan
Puisi: Sebuah Kota
Karya: Alex R. Nainggolan
© Sepenuhnya. All rights reserved.