Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Seh Siti Jenar (Karya Adri Darmadji Woko)

Puisi "Seh Siti Jenar" karya Adri Darmadji Woko bercerita tentang seseorang yang merasakan dirinya harus “menjadi cacing kembali”—sebuah metafora ...
Seh Siti Jenar

rupanya aku harus menjadi cacing kembali
menggeliat-geliat di kota Jakarta
lalu kudengar seorang wali berkata:
"jangan ada orang lain mendengar,
sebab akan samalah ia denganku!"

maka akupun mendengar wejangannya itu
lalu berkatalah aku, "guru, aku mendengar ujarmu
biarkan aku menjadi wali seperti dirimu."

tetapi mereka tak mau
mereka mengutukku
menjadi cacing tanah yang menggerogoti Jakarta

Sumber: Horison (September, 1983)

Analisis Puisi:

Puisi "Seh Siti Jenar" karya Adri Darmadji Woko merupakan puisi yang penuh lapisan makna. Memadukan tokoh historis–mistis dari tradisi Jawa, yaitu Syekh Siti Jenar, dengan suasana kota modern Jakarta, puisi ini berbicara tentang pencarian spiritual, keterasingan manusia, dan konflik antara keinginan pribadi dengan penolakan sosial.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian jati diri spiritual dalam dunia modern yang keras, khususnya kota Jakarta. Tema lainnya yang menguat adalah keterasingan, penolakan sosial, dan konflik antara manusia yang ingin mencapai pencerahan spiritual dengan masyarakat yang tidak siap menerima perubahan.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang merasakan dirinya harus “menjadi cacing kembali”—sebuah metafora tentang kerendahan diri atau jatuh ke titik paling bawah. Ia berada di Jakarta, kota yang digambarkan sebagai tempat yang keras, bising, dan penuh hiruk-pikuk.

Dalam kondisi terpuruk itu, ia mendengar petuah dari seorang wali. Wali tersebut memberi peringatan agar ucapannya tidak didengar orang lain, sebab siapa yang mendengar akan “sama dengannya”—yakni sama-sama mencapai derajat spiritual tertentu.

Tokoh liris kemudian berkata bahwa ia ingin menjadi wali seperti gurunya. Namun masyarakat menolak. Mereka mengutuknya, menjadikannya “cacing tanah yang menggerogoti Jakarta”.

Cerita singkat namun tajam ini menggambarkan konflik antara guru rohani dan murid, antara keinginan untuk mencapai pencerahan dengan prasangka dan penolakan masyarakat.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kaya, di antaranya:
  1. Manusia yang mencari makna spiritual sering tidak diterima oleh masyarakat. Seperti sosok Syekh Siti Jenar dalam sejarah yang dianggap menyimpang oleh para ulama ortodoks, tokoh dalam puisi ini pun mengalami nasib serupa—niatnya untuk naik derajat justru dihantam penolakan.
  2. Modernitas (Jakarta) adalah ruang yang membuat manusia kehilangan makna batin. Frasa “menggeliat-geliat di kota Jakarta” menunjukkan betapa sulitnya hidup dalam sistem kota yang keras. Di tengah beton dan hiruk pikuk, manusia merasa seperti cacing—rendah, kecil, terinjak.
  3. Pencerahan spiritual dianggap berbahaya bagi tatanan sosial. Wali itu berkata: “jangan ada orang lain mendengar”. Mengapa? Karena jika semua orang mencapai pencerahan, struktur kekuasaan, dogma, dan aturan sosial bisa terguncang.
  4. Masyarakat takut pada orang yang berbeda atau dianggap tidak sesuai norma. Tokoh liris tidak diberi kesempatan untuk tumbuh; ia malah dikutuk dan direndahkan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa gelap, terasing, dan penuh tekanan. Ada kesan:
  • dunia batin yang pengap,
  • kota yang menekan,
  • pencarian makna yang sulit,
  • dan masyarakat yang sinis.
Kontras antara ajaran wali yang halus dan sikap masyarakat yang mengutuk menambah nuansa getir dan tragis.

Imaji

Puisi ini menghadirkan beberapa imaji yang kuat:

Imaji tubuh dan tanah
  • “menjadi cacing kembali” → imaji fisik yang merendahkan, menggambarkan ketidakberdayaan.
  • “cacing tanah yang menggerogoti Jakarta” → imaji kuat tentang sesuatu yang hidup di bawah, tak terlihat, namun bekerja diam-diam.
Imaji kota
  • “menggeliat-geliat di kota Jakarta” → visual tentang manusia yang berjuang keras di tengah metropolis.
Imaji spiritual
  • percakapan antara tokoh liris dengan “wali” → imaji tentang pencarian pencerahan, tradisi sufistik, dan ajaran batin.
Imaji-imaji tersebut menyatukan dua dunia: dunia bawah (cacing, tanah) dan dunia atas (wali, ajaran), yang kemudian bertabrakan dengan dunia modern (Jakarta).

Majas

Puisi ini juga diperkaya dengan berbagai majas:

Metafora
  • “menjadi cacing kembali” → metafora kerendahan martabat atau terpuruknya kehidupan batin.
  • “cacing tanah yang menggerogoti Jakarta” → metafora tentang peran kecil yang tetap berarti, atau tentang anggapan masyarakat terhadap orang yang dianggap menyimpang.
Simbolisme
  • Cacing → simbol kehinaan, kesederhanaan, atau kerendahan diri dalam tradisi mistik.
  • Wali → simbol pencerahan, kebijaksanaan, dan kebenaran spiritual.
  • Jakarta → simbol kehidupan modern yang kaku dan tidak ramah pada spiritualitas.
Personifikasi
  • “Jakarta” seolah menjadi objek yang bisa “digerogoti”, menggambarkan kota sebagai organisme hidup.
Repetisi makna
  • Pengulangan konsep “cacing” menekankan posisi hina yang dialami tokoh liris.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan moral atau amanat dalam puisi ini dapat dibaca sebagai berikut:
  1. Pencarian spiritual tidak selalu diterima dunia luar; manusia perlu siap menghadapi penolakan.
  2. Manusia harus rendah hati, bahkan ketika mengejar derajat spiritual yang tinggi. Metafora “cacing” mengajarkan kerendahan diri sebagai langkah awal pencerahan.
  3. Masyarakat sering menyalahpahami orang yang berbeda atau memiliki jalan hidup lain. Ini adalah kritik sosial tentang kecenderungan menghakimi.
  4. Dalam dunia modern, ajaran kebijaksanaan tradisional sering kali terpinggirkan.

Puisi: Seh Siti Jenar
Puisi: Seh Siti Jenar
Karya: Adri Darmadji Woko

Biodata Adri Darmadji Woko:
  • Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.