Analisis Puisi:
Puisi “Semestinya Kau tak Tertawa” karya Mahdi Idris adalah karya reflektif dan religius yang mengajak pembaca untuk merenungkan arti kehidupan dan batas moral manusia di dunia yang fana. Dengan gaya bahasa yang tegas namun puitis, penyair menghadirkan semacam peringatan spiritual—tentang bagaimana manusia sering kali terlena oleh gemerlap dunia dan melupakan hakikat keberadaan di hadapan Tuhan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perenungan moral dan kesadaran spiritual manusia. Mahdi Idris menyoroti sisi batin manusia yang kerap terperangkap dalam tawa semu dunia, lupa bahwa kehidupan di dunia hanyalah perjalanan sementara menuju akhir. Tema ini mengandung dimensi religius dan eksistensial, di mana manusia diingatkan akan tanggung jawabnya terhadap Pencipta dan kesia-siaan mengejar kesenangan sesaat.
Puisi ini bercerita tentang manusia yang seharusnya tidak menertawakan kehidupan dunia dengan penuh kelalaian, karena di balik setiap kebahagiaan duniawi, tersimpan ujian, dosa, dan kemungkinan murka Tuhan.
Baris pertama—“Semestinya kau tak tertawa tatkala Tuhan memperlihatkanmu pada semesta”—menggambarkan bahwa sejak manusia dilahirkan, ia telah memikul beban spiritual: tanggung jawab terhadap Tuhan.
Namun, di bagian tengah, penyair menunjukkan ironi dunia: “anak sungai meretas janin ikan… di liang malam, para penari menghentakkan kaki” — simbol kehidupan yang hedonistik, penuh nafsu dan kelalaian.
Pada akhirnya, penyair menutup dengan kesadaran akhir: “kita akan berakhir di ujung jalan, sang penulis skenario sedang menyimpulkan” — gambaran bahwa hidup ini akan ditutup dengan penilaian dari Sang Pencipta.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah peringatan agar manusia tidak terlena oleh kesenangan dunia dan selalu mengingat akhir perjalanan hidup. Tawa di sini bukan sekadar ekspresi bahagia, tetapi simbol dari kelalaian dan kesombongan—ketika manusia lupa bahwa setiap langkahnya sedang diawasi dan akan dipertanggungjawabkan.
Penyair juga menyiratkan bahwa kehidupan dunia hanyalah “skenario” yang ditulis oleh Tuhan, dan manusia hanyalah aktor yang akan segera mengakhiri perannya. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati adalah dengan menjaga kesadaran, bukan bersenang-senang tanpa batas.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa serius, muram, dan penuh peringatan moral. Diksi seperti “ridha dan murka”, “peluh berahi”, dan “ujung jalan” menciptakan atmosfer kontemplatif dan bahkan sedikit gelap—sebuah renungan tentang kefanaan hidup.
Meski demikian, suasana ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menggugah kesadaran batin agar manusia tidak kehilangan arah di tengah dunia yang penuh gemerlap dan tipu daya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang disampaikan penyair adalah agar manusia hidup dengan kesadaran moral dan spiritual yang tinggi. Mahdi Idris menasihati pembaca untuk tidak “tertawa” terhadap kehidupan dunia dalam arti terlena atau sombong, melainkan merenung dan berhati-hati dalam setiap langkah.
Pesan ini mengandung nilai religius universal: bahwa hidup di dunia adalah ujian, dan setiap tindakan akan kembali kepada penilaian Tuhan. Tawa yang tidak pada tempatnya bisa menjadi simbol kelalaian, sementara kesadaran diri adalah bentuk kesalehan.
Imaji
Puisi ini menggunakan imaji yang kuat dan simbolik, menciptakan gambaran yang menyentuh pancaindra dan batin:
- “Anak sungai meretas janin ikan” menghadirkan imaji alam yang hidup, menggambarkan proses kelahiran dan kehidupan baru yang kontras dengan moralitas manusia.
- “Di liang malam, para penari menghentakkan kaki” memunculkan imaji visual dan auditori yang menggambarkan dunia malam penuh syahwat dan kegembiraan semu.
- “Kita akan berakhir di ujung jalan” menciptakan imaji perjalanan spiritual manusia menuju kematian dan pertanggungjawaban akhir.
Imaji-imaji ini menghubungkan realitas duniawi dengan pesan moral yang mendalam.
Majas
Mahdi Idris memanfaatkan sejumlah majas (gaya bahasa) untuk memperkuat pesan spiritualnya:
- Anafora (pengulangan) – Frasa “Semestinya kau tak tertawa” diulang untuk menegaskan peringatan moral dan menanamkan kesadaran pada pembaca.
- Personifikasi – “Tuhan memperlihatkanmu pada semesta” memberikan sifat manusiawi pada tindakan Tuhan, seolah semesta menjadi saksi atas kelahiran manusia.
- Metafora – “Sang penulis skenario sedang menyimpulkan” adalah metafora untuk Tuhan sebagai penentu akhir kehidupan manusia.
- Simbolisme – “Tertawa” menjadi simbol dari kelalaian, sementara “ujung jalan” melambangkan akhir kehidupan atau hari pertanggungjawaban.
Majas-majas tersebut menciptakan efek retoris yang kuat—membuat puisi terasa seperti khutbah puitik yang lembut namun menggugah hati.
Puisi “Semestinya Kau tak Tertawa” karya Mahdi Idris adalah refleksi mendalam tentang moralitas, kesadaran spiritual, dan kefanaan hidup manusia.
Melalui simbol “tawa” dan “ujung jalan”, penyair mengajak pembaca menundukkan diri, merenungkan makna hidup, dan menyadari bahwa dunia ini hanyalah persinggahan sementara.
Dengan tema religius yang kuat, makna tersirat yang menyentuh, serta imaji dan majas yang tajam, puisi ini menjadi semacam renungan batin—bahwa sebelum tawa terakhir terlepas, sebaiknya manusia belajar menangis untuk dirinya sendiri: menangis karena sadar, sebelum segalanya disimpulkan oleh Sang Penulis Skenario.