Sesenja di Musim Hujan,
Rawa-Rawa dan Potretku
bayangkan bila angin mengalir dan kabut menjadi selimut waktu itu
kan kaudengar katak mengoceh di air-air dan bekas cangkulan pekerja kasar
tak tan kau dengar motor menderit, bunyi keras radio atau gambar tivi
di kamarmu
selain geram hujan yang begitu cintanya
pada dingin pada diam pada jerit
padi gigil
sekeras beringas batinmu sesak menggeram
hanya akan kaudapatkan tanggalan daun-daun menelungkup di esok pagi
di seluas tanah yang basah, rawa-rawa dan bekas luapan genangan air
sementara potret tergenggam di buku
selamanya diam membiarkan
Jakarta, 29 Desember 1975
Sumber: Horison (Oktober, 1977)
Analisis Puisi:
Puisi “Sesenja di Musim Hujan, Rawa-Rawa dan Potretku” menghadirkan kesan yang muram, lembap, dan penuh ketegangan emosional. Melalui gambaran angin yang mengalir, kabut sebagai selimut, hujan yang “begitu cintanya”, dan potret yang diam dalam buku, penyair menawarkan suasana batin yang gelisah dan penuh beban.
Tema
Tema utama puisi ini berkisar pada kesunyian batin dan pergulatan emosi seseorang di tengah suasana alam yang muram. Ada pertemuan antara hujan, rawa, kabut, dan kondisi batin yang penuh sesak—seolah alam mencerminkan keadaan jiwa penyair. Tema lain yang ikut mengalir adalah kenangan dan waktu, terutama melalui simbol potret yang “selamanya diam”.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang membayangkan kembali suasana senja di musim hujan: ketika angin mengalir pelan, kabut menutup waktu, suara katak terdengar, dan jejak kehidupan sederhana mencuat ke permukaan. Dalam suasana yang sunyi dan basah itu, tokoh “aku” merasakan batinnya bergemuruh, seolah kondisi sekitar menegaskan kekalutan atau kegelisahan yang ia pendam.
Keberadaan “potret” yang tergenggam di buku menambahkan unsur reflektif: ada kenangan atau figur yang diam selamanya—diingat tetapi tidak lagi hidup, tidak bergerak, hanya menjadi saksi bisu.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat yang dapat dibaca dari puisi ini:
- Alam sering menjadi cermin batin manusia. Hujan yang “cintanya pada dingin pada diam pada jerit” menandakan hubungan paralel antara cuaca dan batin tokoh.
- Kesedihan dan kenangan tidak selalu diungkap dengan kata-kata. Potret yang “selamanya diam membiarkan” adalah simbol kenangan yang tidak berubah, tetapi tetap mengikat perasaan si aku.
- Waktu berjalan diam-diam, meninggalkan jejak gelap pada tanah dan pada diri manusia. Daun-daun yang menelungkup esok pagi melambangkan transisi yang tak terhindarkan.
- Ada pergulatan batin yang tak terselesaikan. “Beringas batinmu sesak menggeram” menunjukkan pertarungan internal yang berat namun terpendam.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah suram, dingin, basah, sunyi, namun penuh ketegangan emosional. Hujan, kabut, rawa-rawa, dan suara katak menghadirkan atmosfer alam yang gelap, sedangkan gambaran batin yang menggeram mengisi ruang emosional dengan kegelisahan dan tekanan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan yang bisa ditarik secara interpretatif:
- Kesunyian kadang menjadi ruang bagi manusia untuk meresapi batinnya yang paling dalam, meskipun penuh sesak dan kegelisahan.
- Kenangan, seperti potret, bisa diam dan tak berubah, tetapi tetap mampu memengaruhi hati, entah sebagai luka atau pengingat.
- Alam memberi tanda-tanda yang dapat membantu manusia memahami dirinya, jika kita mau memperhatikan.
Imaji
Puisi ini kuat sekali dalam menghadirkan imaji visual, auditif, dan perasa:
Imaji visual:
- “kabut menjadi selimut waktu itu”
- “tanggalan daun-daun menelungkup di esok pagi”
- “seluas tanah yang basah, rawa-rawa dan bekas luapan genangan air”
Imaji auditif:
- “katak mengoceh di air-air”
- “motor menderit, bunyi keras radio”
Hening dan kebisingan saling bertabrakan.
Imaji perasa dan suasana:
- “padi gigil”
- “beringas batinmu sesak menggeram”
Imaji-imaji ini memperkuat kesan bahwa puisi bergerak di wilayah realitas alam sekaligus realitas emosi.
Majas
Beberapa majas yang tampak digunakan:
Personifikasi:
- “hujan yang begitu cintanya pada dingin pada diam pada jerit” Hujan digambarkan seperti makhluk yang memiliki cinta dan preferensi.
Metafora:
- “kabut menjadi selimut waktu itu”—kabut disetarakan dengan selimut yang menutup waktu.
- “potret… selamanya diam membiarkan”—potret digunakan sebagai metafora kenangan yang beku.
Melalui puisi “Sesenja di Musim Hujan, Rawa-Rawa dan Potretku”, Bambang Sarwono merangkai dunia yang lembap, muram, dan penuh ketegangan batin. Imaji hujan, rawa, kabut, dan potret bergabung menjadi medium refleksi atas kesunyian, kenangan, dan kegelisahan manusia. Puisi ini bukan hanya menghadirkan suasana alam yang kuat, tetapi juga mengajak pembaca menyelami lapisan-lapisan emosi yang diam namun menggeram di balik kehidupan sehari-hari.
