Analisis Puisi:
Puisi “Setitik Air” memiliki tema tentang kesucian, penebusan dosa, dan amarah alam terhadap manusia. Melalui simbol air yang tampak sederhana, Diah Hadaning menyampaikan pesan ekologis dan spiritual yang kuat: ketika manusia melukai bumi—yang disebut sebagai “rahim bunda”—maka alam akan bereaksi untuk membersihkan dirinya.
Tema ini tidak hanya mengandung dimensi lingkungan, tetapi juga moral dan religius: air yang suci berubah menjadi banjir karena manusia telah mengotori kesucian asalnya.
Puisi ini bercerita tentang perubahan kecil yang membawa akibat besar, di mana “setitik air”—yang berasal dari ujung lidah penyair—menjelma menjadi banjir yang meluas ke pelataran, jalanan, dan tegalan. Awalnya air itu tampak tidak berbahaya, namun lambat laun menjadi kekuatan dahsyat yang “mengusung ruh bah jiwa penuh jelaga mencari para pendosa telah lukai rahim bunda.”
Kisah ini bukan sekadar tentang fenomena alam, tetapi metafora tentang amarah bumi dan air yang menuntut keadilan. Air yang semula simbol kesucian kini menjadi medium penghukuman terhadap manusia yang berdosa karena merusak alam.
Dengan begitu, puisi ini bercerita tentang karma ekologis dan kesadaran spiritual, di mana alam menjadi saksi dan pelaku penebusan dosa manusia.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam. “Setitik air” tidak hanya menggambarkan cairan fisik, tetapi melambangkan kata, doa, atau tindakan kecil manusia yang bisa membawa dampak besar. Ketika penyair mengatakan “dari ujung lidahku”, itu dapat diartikan sebagai simbol ucapan manusia — bahwa setiap kata memiliki konsekuensi, sebagaimana air dapat menjadi sumber kehidupan atau bencana.
Makna tersirat lainnya adalah kecaman terhadap perilaku manusia yang merusak alam, digambarkan dalam baris “mencari para pendosa telah lukai rahim bunda.” Frasa “rahim bunda” merujuk pada bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan, dan ketika rahim itu “dilukai,” maka air—sebagai unsur kehidupan bumi—akan bangkit untuk membersihkan noda manusia.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara manusia dan alam: bahwa kerusakan lingkungan adalah cerminan dosa kolektif manusia terhadap ibu pertiwi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini mencekam, penuh peringatan, dan bernuansa spiritual. Dari awal, penyair membangun kesan tenang melalui “setitik air,” namun perlahan meningkat menjadi kekacauan besar dengan kata-kata seperti “melebar menerjang pintu, banjir pelataran, jalanan, dan tegalan.”
Perubahan suasana ini menggambarkan transformasi dari kedamaian menuju kehancuran, dari kelembutan menuju amarah.
Di akhir puisi, suasananya menjadi penuh perenungan dan rasa bersalah, terutama ketika disebut “jiwa penuh jelaga mencari para pendosa.”
Pembaca diajak untuk merasakan ketegangan batin antara dosa dan penebusan, antara manusia dan alam, antara kelembutan air dan kekuatannya yang tak terbendung.
Imaji
Diah Hadaning dikenal sebagai penyair yang kuat dalam menghadirkan imaji alam dan simbol keibuan bumi. Dalam puisi ini, imaji yang muncul sangat hidup dan bergerak:
- Imaji visual: tampak jelas dalam “setitik air di lantai berdebu” dan “banjir pelataran, jalanan, dan tegalan.” Gambarannya nyata, menghadirkan peristiwa alam yang bisa dibayangkan pembaca.
- Imaji gerak: terlihat pada “melebar menerjang pintu,” yang memberikan kesan air yang berubah menjadi kekuatan destruktif.
- Imaji batin: hadir dalam “jiwa penuh jelaga mencari para pendosa,” yang menimbulkan rasa bersalah dan ketakutan spiritual.
Kombinasi imaji fisik dan batin ini menciptakan kesan kuat bahwa air dalam puisi ini bukan hanya elemen alam, tetapi juga roh yang hidup, penuh kesadaran, dan memiliki tujuan moral.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas utama yang memperkaya makna dan keindahannya:
- Majas personifikasi: Air diberi sifat manusiawi—“mencari para pendosa.” Air seolah memiliki kesadaran moral dan kemampuan menghukum.
- Majas metafora: “Rahim bunda” merupakan metafora untuk bumi atau alam yang memberi kehidupan.
- Majas hiperbola: “Setitik air... banjir pelataran” memperkuat kesan bahwa sesuatu yang kecil bisa berubah menjadi bencana besar.
- Majas simbolik: Air melambangkan kesucian, kehidupan, dan pembersihan dosa; sementara “jelaga” melambangkan dosa, kekotoran batin, dan kerusakan moral manusia.
Penggunaan majas ini menciptakan efek puitik yang kuat, di mana makna literal dan simbolik saling berkelindan membentuk pesan ekologis yang mendalam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah peringatan kepada manusia agar menjaga kesucian bumi dan tidak melukai alam sebagai sumber kehidupan. Penyair ingin menyampaikan bahwa tindakan kecil manusia bisa membawa akibat besar, seperti halnya setitik air yang bisa menjelma menjadi banjir besar.
Selain itu, terdapat pesan spiritual yang halus: bahwa air adalah simbol penebusan dosa, dan manusia perlu membersihkan diri dari “jelaga” batinnya agar kembali selaras dengan bumi.
Puisi ini seolah berpesan, “Hati-hatilah dengan kata, tindakan, dan sikapmu terhadap bumi — sebab setiap luka pada bumi adalah dosa pada ibu kehidupan.”

Puisi: Setitik Air
Karya: Diah Hadaning