Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sinyal Terbakar (Karya Pulo Lasman Simanjuntak)

Puisi “Sinyal Terbakar” karya Pulo Lasman Simanjuntak bercerita tentang seseorang yang sedang mengalami kegelisahan mendalam. Ia “mengembara” dalam ..
Sinyal Terbakar

Gelisah terus mengembara
Meraba-raba dalam ibadah maya
Bersama putera tunggal
Dari tanah batu kering meronta-ronta

Kami lalu berbicara penghiburan
bersukacita mendaki kendaraan kemenangan

Kali ini,
Butuh nyalakan jaringan internet di udara
Hari ketujuh dipaksa menarik jiwa
Siapa bersungut-sungut minta pulsa?

Padahal batinku tua sedang berdoa
Pergumulan rumah banjir airmata
Sampai ancaman mengungsi keluarga
Memohon malaikat berkemah
Di hunian selama pandemi beria-ria

Pamulang, Sabtu, 29 Mei 2021

Analisis Puisi:

Puisi “Sinyal Terbakar” adalah sebuah teks liris yang merangkum pergolakan batin manusia modern yang hidup di persimpangan antara iman, teknologi, dan situasi sosial yang menekan. Penyair menggunakan diksi yang tidak biasa—menggabungkan ranah religius dengan fenomena digital, serta penderitaan hidup yang realistis. Hasilnya adalah puisi penuh ketegangan emosional tentang kegelisahan, doa, dan usaha bertahan.

Tema

Puisi ini membawa tema utama kegelisahan batin dalam kehidupan modern, terutama ketika manusia berada dalam keadaan sulit. Tema-tema pendukung yang dapat dibaca antara lain:
  • pergumulan spiritual di tengah dunia digital,
  • tekanan sosial dan ekonomi,
  • perjuangan keluarga menghadapi bencana maupun pandemi,
  • pencarian pertolongan ilahi di tengah keterbatasan manusia.
Tema-tema tersebut bersatu membentuk potret manusia yang tersesat di antara iman dan realitas keras.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang mengalami kegelisahan mendalam. Ia “mengembara” dalam ruang digital—“ibadah maya”—bersama anak tunggalnya. Kehidupan mereka tampak berasal dari situasi sulit, digambarkan sebagai “tanah batu kering meronta-ronta”.

Dalam kondisi terdesak:
  • mereka mencoba menghibur diri,
  • berharap pada “kendaraan kemenangan”,
  • namun tetap terikat pada kebutuhan dunia modern seperti “jaringan internet” dan “pulsa”.
Kontras itu menimbulkan ironi: di satu sisi mereka berdoa, di sisi lain, realitas memaksa mereka terus terkoneksi dengan dunia digital, bahkan di situasi krisis.

Di bagian akhir, puisi menghadirkan tragedi domestik: rumah banjir air mata, ancaman harus mengungsi, dan permohonan agar malaikat menjaga hunian mereka selama pandemi. Puisi ini menampilkan kisah keluarga yang berjuang di tengah tekanan spiritual, teknologi, dan bencana.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat yang kuat dalam puisi ini antara lain:
  1. Manusia modern terperangkap antara iman dan teknologi. “Ibadah maya”, “pulsa”, “jaringan internet di udara”—semua ini menandakan perpindahan spiritualitas ke medium digital.
  2. Tekanan hidup sering kali membuat doa terasa rapuh. “Batinku tua sedang berdoa” menunjukkan kelelahan spiritual yang mendalam.
  3. Digitalisasi tidak selalu membawa solusi. Justru hadir sebagai beban baru (butuh jaringan, pulsa, sinyal), terutama bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan.
  4. Keluarga sebagai pusat pergumulan paling personal. Banjir air mata, ancaman mengungsi, dan pandemi memperlihatkan bagaimana penderitaan fisik dan emosional terjadi di rumah-rumah biasa.
  5. Doa muncul sebagai harapan terakhir. Memohon malaikat berkemah di hunian adalah bentuk harapan yang tersisa ketika dunia nyata dan dunia digital sama-sama menekan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah:
  • gelisah,
  • cemas,
  • tertekan,
  • namun sekaligus ada harapan spiritual yang rapuh.
Kontras antara doa dan tuntutan teknologi memberi suasana campuran antara spiritual, ironis, dan tragis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat yang dapat disimpulkan:
  1. Dalam hidup yang penuh tekanan, manusia perlu memadukan ikhtiar dan doa.
  2. Teknologi adalah bagian dari hidup, tetapi tidak boleh menelan dimensi kemanusiaan dan spiritualitas.
  3. Keluarga harus menjadi ruang bertahan menghadapi bencana dan pandemi.
  4. Keteguhan iman dibutuhkan, terutama ketika situasi hidup terasa sempit dan tak pasti.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji:

Imaji gerak
  • “gelisah terus mengembara”
  • “bergegas dalam ibadah maya”
  • “mendaki kendaraan kemenangan”
Imaji visual
  • “tanah batu kering”
  • “rumah banjir airmata”
  • “malaikat berkemah di hunian”
Imaji-imaji ini membantu pembaca merasakan beratnya pergumulan yang digambarkan.

Majas

Berbagai majas digunakan untuk memperkuat ekspresi:

Personifikasi
  • “gelisah terus mengembara”
  • “tanah batu kering meronta-ronta”
Menjadikan konsep abstrak dan benda mati seolah hidup.

Metafora
  • “ibadah maya” sebagai metafora praktik religius yang berpindah ke dunia digital.
  • “kendaraan kemenangan” sebagai simbol harapan.
Hiperbola
  • “rumah banjir airmata” menggambarkan kesedihan mendalam.
Ironi
  • Situasi darurat tetapi masih memikirkan “jaringan internet” dan “pulsa”.
Pertanyaan retoris
  • “Siapa bersungut-sungut minta pulsa?”
Puisi “Sinyal Terbakar” merupakan puisi yang menggabungkan kegelisahan spiritual, tekanan teknologi, dan penderitaan sosial. Dengan tema pergulatan hidup modern, puisi ini bercerita tentang individu dan keluarga yang bertahan di tengah kesulitan, sambil terus berdoa dan mencoba tetap terhubung—secara digital maupun spiritual. Lewat makna tersirat, suasana yang cemas, imaji kuat, dan majas puitis, Pulo Lasman Simanjuntak berhasil menggambarkan ketegangan zaman kita secara jujur dan menyentuh.

Lasman Simanjuntak
Puisi: Sinyal Terbakar
Karya: Pulo Lasman Simanjuntak

Biodata Pulo Lasman Simanjuntak:
    Pulo Lasman Simanjuntak lahir pada tanggal 20 Juni 1961 di Surabaya. Ia pernah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Publisistik (STP/IISIP-Jakarta). Ia belajar sastra secara otodidak. Hasil karya sajaknya pertama kali dipublikasikan sewaktu masih duduk di bangku SMP, yakni dimuat di ruang sanjak anak-anak Harian Umum Kompas tahun 1977.
      Pada tahun 1980 sampai tahun 2022 sajak-sajaknya mulai disiarkan di Majalah Keluarga, Dewi, Nova, Monalisa, Majalah Mahkota, Harian Umum Merdeka, Suara Karya, Jayakarta, Berita Yudha, Media Indonesia, Harian Sore Terbit, Harian Umum Seputar Indonesia (Sindo), SKM. Simponi, SKM. Inti Jaya, SKM. Dialog, HU. Bhirawa (Surabaya), Koran Media Cakra Bangsa (Jakarta), Majalah Habatak Online, dan masih banyak lainnya.
        Buku kumpulan sajak tunggalnya yang sudah terbit Traumatik (1997), Kalah atau Menang (1997), Taman Getsemani(2016), Bercumbu Dengan Hujan (2021), Tidur di Ranjang Petir (2021), Mata Elang Menabrak Karang (2021), dan Rumah Terbelah Dua (2021).
          Sajaknya juga termuat dalam 15 Buku Antologi Puisi Bersama Penyair di seluruh Indonesia.
            Namanya juga telah masuk dalam Buku Pintar Sastra Indonesia Halaman 185-186 diterbitkan oleh Kompas (PT. Kompas Media Nusantara) cetakan ketiga tahun 2001 dengan Editor Pamusuk Eneste, serta Buku Apa & Siapa Penyair Indonesia halaman 451 diterbitkan oleh Yayasan Puisi Indonesia dengan Editor Maman S Mahayana dan Kurator Sutardji Calzoum Bahchri, Abdul Hadi W.M, Rida K. Liamsi, Ahmadun Y Herfanda, dan Hasan Aspahani.
              Lasman Simanjuntak saat ini menjabat sebagai Ketua Komunitas Sastra Pamulang (KSP), dan bekerja sebagai wartawan media online.
              © Sepenuhnya. All rights reserved.