Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sungai Airmata Semesta (Karya Bambang Widiatmoko)

Puisi “Sungai Airmata Semesta” bercerita tentang perjalanan seseorang menyusuri sungai di Kota Banjarmasin, tepatnya Sungai Martapura.
Sungai Airmata Semesta

Di atas pelayaran perahu
Kota seribu sungai
Hanya ada gelombang mempersingkat siang
Perahu lalulalang meninggalkan alur panjang
Kehidupan terasa ditebang dengan parang

Tak ada senyuman di air dalam
Mewaspadai tonggak kayu tenggelam
Barangkali juga buaya yang menyelam
Kita telah semakin jauh berlayar
Di sungai Martapura – sungai airmata semesta

Sumber: Kota Tanpa Bunga (Bukupop, 2008)

Analisis Puisi:

Puisi “Sungai Airmata Semesta” menyajikan gambaran perjalanan melintasi sungai Martapura—ikon Kota Banjarmasin yang dikenal sebagai “kota seribu sungai”. Namun, alih-alih menghadirkan suasana indah atau romantis, puisi ini menampilkan wajah lain dari sungai: tempat yang dipenuhi kecemasan, bahaya tersembunyi, dan simbol kehidupan masyarakat yang terus tergerus oleh perubahan. Sungai tidak lagi sekadar lanskap alam, melainkan metafora penderitaan semesta: luka sosial, lingkungan yang rusak, dan perjalanan hidup yang semakin berat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehidupan yang penuh ancaman dan ketidakpastian, digambarkan melalui perjalanan menyusuri sungai yang menyimpan bahaya dan kesedihan.

Tema lain yang mengiringi:
  • Kerapuhan hidup manusia dalam arus perubahan;
  • Kerusakan sosial dan lingkungan;
  • Rasa takut dan kewaspadaan dalam menjalani hidup.
Puisi ini memperlihatkan bagaimana alam dan manusia sama-sama menyimpan luka.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan seseorang menyusuri sungai di Kota Banjarmasin, tepatnya Sungai Martapura. Dalam perjalanan itu, ia melihat perahu-perahu melintas, gelombang mempersingkat waktu, dan kehidupan seolah ditebang seperti pohon oleh parang—tanda ketergesa-gesaan dan ancaman.

Air sungai digambarkan tanpa senyuman, penuh bahaya: tonggak kayu yang tenggelam, mungkin juga buaya yang menyelam. Aliran sungai menjadi simbol jalan hidup yang makin jauh dari ketenangan, hingga akhirnya disebut sebagai “sungai airmata semesta”—sebuah metafora tentang kesedihan universal.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan sejumlah makna tersirat:
  1. Sungai adalah simbol kehidupan manusia yang tidak selalu tenang. Perjalanan perahu melambangkan perjalanan hidup yang terus berjalan, meski penuh ancaman yang tak terlihat.
  2. Kehidupan masyarakat di tepian sungai tidak mudah. Kehidupan “ditebang dengan parang” menandakan kerasnya realitas sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  3. Alam yang dulu bersahabat kini penuh bahaya. Tonggak kayu tenggelam dan buaya menyiratkan perubahan lingkungan yang mengancam masyarakat.
  4. Sungai menjadi metafora penderitaan kolektif. “Sungai airmata semesta” menunjukkan bahwa apa yang tampak di sungai adalah cerminan kesedihan yang dirasakan manusia dan alam.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang muncul dalam puisi antara lain:
  • Cemas dan mencekam — pembaca diajak terus waspada terhadap bahaya.
  • Kelam dan sedih — terutama pada akhir puisi ketika sungai disebut sebagai air mata semesta.
  • Penuh tekanan waktu — “gelombang mempersingkat siang” memberi kesan hidup yang serba cepat dan penuh tekanan.
Suasana ini menciptakan kesan bahwa perjalanan bukan sekadar fisik, tetapi juga emosional dan spiritual.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Beberapa pesan yang dapat ditarik dari puisi ini:
  1. Hidup harus dijalani dengan kewaspadaan. Bahaya sering datang tiba-tiba dan tersembunyi, seperti tonggak kayu atau buaya di sungai.
  2. Alam dan lingkungan memiliki suara kesedihan yang perlu didengar. Sungai yang menjadi “airmata semesta” menunjukkan bahwa kerusakan alam adalah bagian dari luka dunia.
  3. Perubahan zaman tidak selalu membawa kenyamanan. Perahu yang lalu-lalang dan gelombang yang mempersingkat siang menandakan situasi hidup yang semakin tidak stabil.
  4. Manusia perlu kembali menyadari hubungan harmonis dengan alam. Bahaya yang muncul bisa jadi akibat ketidakseimbangan yang diciptakan manusia sendiri.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat:

Imaji visual
  • “Kota seribu sungai” → gambaran geografis yang khas.
  • “Perahu lalulalang meninggalkan alur panjang” → imaji jelas tentang lalu lintas sungai.
Imaji gerak
  • “gelombang mempersingkat siang” → gerak waktu terasa cepat.
  • “buaya yang menyelam” → gerak yang penuh ketegangan.
Imaji perasaan
  • “kehidupan terasa ditebang dengan parang” → rasa kehilangan dan keterancaman.
Imaji alam yang kelam
  • “tak ada senyuman di air dalam” → personifikasi yang menciptakan imaji kesedihan.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi:

Metafora
  • “kehidupan terasa ditebang dengan parang” → kehidupan digambarkan sebagai pohon yang dirusak.
  • “sungai airmata semesta” → sungai sebagai simbol duka dunia.
Personifikasi
  • “tak ada senyuman di air dalam” → air diperlakukan seperti manusia yang bisa tersenyum.
Hiperbola
  • “gelombang mempersingkat siang” → melebih-lebihkan efek gelombang terhadap waktu.
Simbolik
  • Perahu, gelombang, tonggak tenggelam, buaya → simbol perjalanan hidup, bahaya tersembunyi, dan ancaman sosial.
Puisi “Sungai Airmata Semesta” menghadirkan potret sungai Martapura sebagai lanskap yang penuh kisah sedih, ketidakpastian, dan ancaman. Melalui simbol-simbol alam, Bambang Widiatmoko menggambarkan rapuhnya hidup manusia dan luka-luka yang dialami alam. Imaji kuat, suasana mencekam, dan penggunaan majas metaforis membuat puisi ini menjadi refleksi mendalam tentang perjalanan manusia di tengah arus kehidupan yang tidak selalu bersahabat.

Bambang Widiatmoko
Puisi: Sungai Airmata Semesta
Karya: Bambang Widiatmoko
© Sepenuhnya. All rights reserved.