Suramadu
memandang panjang Suramadu
garis membaur – batas pun hancur
jarak melebur – beda pun gugur
: kenapa kita malah bangun ragu?
selat cuma tanda – ada pantai jaga ruang cinta
alun hanya semiotika – ada gemuruh rindu bicara
: kenapa kita terus sembunyikan yang sama?
memandang panjang Suramadu
aku dirajam hasrat bertemu – sebab kita satu
Malang, 2011
Sumber: Arung Diri (2013)
Analisis Puisi:
Puisi “Suramadu” memiliki tema tentang persatuan dan keharmonisan dalam keberagaman. Suramadu, jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura, menjadi simbol puitis yang menandakan penyatuan dua daratan yang dulunya terpisah oleh selat. Djoko Saryono mengangkat jembatan ini sebagai lambang keterhubungan manusia — baik dalam konteks sosial, budaya, maupun spiritual. Tema utama yang mengalir dalam puisi ini adalah kerinduan akan kesatuan dan cinta yang melampaui batas-batas geografis dan perbedaan.
Puisi ini bercerita tentang pandangan seorang penyair terhadap Jembatan Suramadu sebagai simbol penyatuan antara dua wilayah dan dua hati yang sebelumnya terpisah. Melalui penggambaran alam dan simbol-simbol geografis seperti selat, pantai, dan alun (ombak), penyair merenungkan makna di balik pembangunan jembatan: bukan sekadar menghubungkan dua daratan, tetapi juga dua manusia, dua budaya, bahkan dua jiwa.
Namun, ironi muncul ketika penyair mempertanyakan, “kenapa kita malah bangun ragu?” — seolah manusia sering menciptakan jarak batin meski secara fisik telah terhubung. Puisi ini, dengan demikian, bukan hanya refleksi tentang jembatan, tetapi juga tentang hubungan antarmanusia yang kerap dibatasi oleh prasangka dan keraguan.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah pesan filosofis tentang pentingnya menghapus batas dan prasangka antarindividu maupun antarbangsa. Suramadu dalam puisi ini bukan sekadar jembatan beton, melainkan metafora jembatan batin yang menyatukan dua sisi kehidupan.
Ketika penyair menulis, “jarak melebur – beda pun gugur,” ia ingin menunjukkan bahwa di hadapan cinta dan kemanusiaan, segala perbedaan suku, budaya, bahkan keyakinan dapat luluh. Namun, ada nada lirih dalam baris, “kenapa kita malah bangun ragu?”, yang menyiratkan kekecewaan terhadap manusia modern yang justru membangun tembok ketidakpercayaan di tengah upaya penyatuan.
Dengan demikian, makna tersiratnya adalah ajakan untuk membangun jembatan hati, bukan sekadar infrastruktur, agar cinta dan persaudaraan benar-benar hidup di antara manusia.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa kontemplatif, tenang, namun sarat kerinduan dan refleksi batin. Gambaran penyair yang “memandang panjang Suramadu” menciptakan kesan meditatif — seolah ia berdiri di tepi pantai, memandang jembatan sebagai simbol penghubung antara dunia luar dan dunia dalam dirinya.
Ada suasana rindu dan keinginan untuk bertemu, terutama di baris terakhir: “aku dirajam hasrat bertemu – sebab kita satu.” Suasana ini mengandung semangat penyatuan, tapi juga kesedihan karena kesatuan itu belum sepenuhnya terwujud di hati manusia.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat yang disampaikan dalam puisi ini adalah seruan moral dan spiritual untuk menumbuhkan kesatuan di tengah perbedaan. Penyair mengingatkan bahwa jarak, batas, dan selat hanyalah simbol yang diciptakan manusia. Pada dasarnya, semua manusia berasal dari satu sumber, memiliki cinta yang sama, dan rindu akan kebersamaan yang utuh.
Puisi ini juga mengandung pesan agar manusia tidak menumbuhkan keraguan dan prasangka setelah jembatan persaudaraan dibangun. Dengan kata lain, persatuan sejati tidak cukup hanya dengan koneksi fisik, tetapi juga harus dibangun dengan kesadaran hati.
Imaji
Djoko Saryono membangun imaji visual dan imaji simbolik yang kuat dalam puisi ini.
- Imaji visual tampak dalam baris “memandang panjang Suramadu”, yang menghadirkan pemandangan luas jembatan yang membentang di atas laut.
- Imaji simbolik muncul melalui “selat,” “pantai,” “alun,” dan “cahaya,” yang masing-masing membawa makna filosofis: selat sebagai pemisah, pantai sebagai tempat bertemu, alun sebagai dinamika kehidupan, dan jembatan sebagai penyatuan.
- Selain itu, penggunaan kata “gemuruh rindu bicara” juga menciptakan imaji auditif yang menggambarkan getaran batin — suara ombak yang menjadi metafora bagi kerinduan manusia untuk bersatu.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Majas metafora: “Selat cuma tanda – ada pantai jaga ruang cinta” → Selat di sini dimaknai bukan hanya perairan, melainkan simbol batas antar manusia.
- Majas personifikasi: “Gemuruh rindu bicara” memberikan kesan bahwa rindu memiliki suara dan perasaan layaknya manusia.
- Majas repetisi: Pengulangan frasa “memandang panjang Suramadu” menegaskan perenungan penyair terhadap simbol penyatuan ini.
- Majas paradoks: “Beda pun gugur” menggambarkan perbedaan yang hilang dalam cinta, padahal dunia manusia selalu memiliki perbedaan itu. Paradoks ini memperdalam makna bahwa cinta dapat meniadakan jarak.
Penggunaan majas-majas tersebut membuat puisi ini terasa hidup, penuh irama, dan mengandung keindahan simbolik yang khas dalam karya-karya Djoko Saryono.
Puisi “Suramadu” karya Djoko Saryono adalah refleksi puitik tentang makna persatuan dan cinta yang melampaui batas fisik maupun sosial. Dengan simbol jembatan Suramadu, penyair menggambarkan harapan agar manusia mampu meleburkan perbedaan dan membangun koneksi hati yang tulus.
Karya: Djoko Saryono
Biodata Djoko Saryono:
- Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.