Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Surat Angin ke Doha (Karya Rizal De Loesie)

Puisi “Surat Angin ke Doha” karya Rizal De Loesie bercerita tentang seorang anak perempuan yang kini tinggal atau bekerja di Doha.

Surat Angin ke Doha

: buat putriku di Doha

tawamu dulu riak di kening ingatan—
ringan, memantul, tak kenal gagal
kini kau menyeberangi cakrawala pasir
membawa senja di sepasang mata
meski panas gurun menggigit,
langkahmu tak goyah

kau  jejaki antara Souq Waqif dan Doha Tower
berjalan bagai mata panah:
tak  tunduk pada angin yang menolak arah
kau pahat hari dengan keberanian
seperti kupu-kupu yang bersumpah
menjaga warna sayapnya

aku hanya menyusun doa di balik jendela subuh
mengirim sehelai sepi untuk mengusap keningmu
biarlah jarak seluas padang takzim
kau tetap anakku— kebanggaanku satu-satunya
dan doaku adalah pelita yang tak padam 
di dadamu

Bandung, Juli 2025

Analisis Puisi:

Puisi “Surat Angin ke Doha” karya Rizal De Loesie merupakan sebuah ungkapan rindu, doa, dan kebanggaan seorang ayah atau ibu kepada putrinya yang sedang hidup jauh di Doha, Qatar. Dengan bahasa yang lembut namun kuat, puisi ini menghadirkan percakapan batin antara kasih sayang dan jarak, antara ketahanan hidup dan kenangan masa kecil yang terus hidup dalam ingatan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan doa orang tua kepada anaknya yang merantau, dibingkai oleh gambaran perjalanan batin seorang anak yang berjuang di negeri jauh. Ada tema tambahan berupa keteguhan hati, keberanian, dan cinta yang melintasi jarak.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak perempuan yang kini tinggal atau bekerja di Doha. Penyair menggambarkan perubahan waktu—dari tawa masa kecil yang sederhana hingga langkah dewasa yang kuat menembus “cakrawala pasir”.

Perjalanan anak itu menyusuri Souq Waqif hingga Doha Tower menjadi simbol bahwa ia tengah menaklukkan kehidupan baru. Sementara itu, sosok orang tua di tanah air hanya mampu “menyusun doa di balik jendela subuh”, menjadikan doa sebagai ikatan yang tidak pernah putus meskipun jarak memisahkan.

Makna Tersirat

Ada beberapa makna tersirat dalam puisi ini:
  1. Perjalanan merantau adalah bentuk kedewasaan, di mana seorang anak harus melintasi tantangan seperti “panas gurun” atau angin yang melawan arah.
  2. Kasih orang tua bersifat abadi, digambarkan sebagai “pelita yang tak padam”. Meskipun tidak bisa hadir secara fisik, doa menjadi kekuatan spiritual yang menyertai anak.
  3. Kekuatan perempuan—dilambangkan melalui metafora kupu-kupu yang “bersumpah menjaga warna sayapnya”—menyiratkan bahwa dalam kerapuhan ada keteguhan.
  4. Jarak tidak mampu menghapus identitas, karena anak itu “tetap anakku—kebanggaanku satu-satunya”.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, penuh rindu, tetapi juga hangat dengan kebanggaan dan harapan. Ada percampuran suasana: lirih ketika mengingat tawa masa kecil, namun tegar ketika menggambarkan keberanian sang anak di negeri asing. Suasana menjadi kontemplatif pada bagian akhir, ketika doa digambarkan sebagai cahaya abadi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Beberapa amanat yang dapat ditangkap:

  1. Jarak tidak memutuskan cinta orang tua kepada anak.
  2. Keberanian adalah bekal penting dalam merantau dan menghadapi dunia.
  3. Doa dapat menjadi penguat yang melampaui ruang dan waktu.
  4. Orang tua selalu menyimpan rindu dalam diam, namun rindu itu bukan kelemahan—melainkan bentuk cinta terdalam.

Imaji

Puisi ini kaya imaji, terutama imaji visual dan imaji suasana. Beberapa yang paling kuat:
  • “tawamu dulu riak di kening ingatan” → imaji gerak dan suara.
  • “kau menyeberangi cakrawala pasir” → imaji visual tentang gurun.
  • “souq Waqif dan Doha Tower” → imaji tempat yang konkret.
  • “mengirim sehelai sepi untuk mengusap keningmu” → imaji sentuhan emosional.
  • “pelita yang tak padam di dadamu” → imaji cahaya sebagai simbol kasih.
Imaji dalam puisi ini membangun perpaduan antara kenangan masa kecil, kerasnya gurun, dan kehangatan doa.

Majas

Beberapa majas yang menonjol:

Metafora
  • “cakrawala pasir” → kehidupan baru yang penuh tantangan.
  • “pelita yang tak padam di dadamu” → doa orang tua sebagai kekuatan batin.
  • “kupu-kupu yang bersumpah menjaga warna sayapnya” → keteguhan anak perempuan menjaga jati diri.
Personifikasi
  • “angin yang menolak arah” → menggambarkan hambatan hidup.
Simile
  • “berjalan bagai mata panah” → langkah yang lurus, cepat, dan penuh ketegasan.
Hiperbola
  • “jarak seluas padang takzim” → penguatan tentang jauhnya jarak dan beratnya rindu.
Puisi “Surat Angin ke Doha” adalah potret lembut kasih sayang orang tua terhadap anak perempuannya yang merantau. Dengan kekayaan imaji dan majas yang halus, penyair menggambarkan bagaimana rindu, doa, dan kebanggaan dapat bergerak melintasi waktu dan ruang. Ini bukan sekadar surat, tetapi legenda kecil tentang cinta keluarga yang tidak pernah padam.

Rizal De Loesie
Puisi: Surat Angin ke Doha
Karya: Rizal De Loesie

Biodata Rizal De Loesie:
  • Rizal De Loesie (nama pena dari Drs. Yufrizal, M.M) adalah seorang ASN Pemerintah Kota Bandung. Penulis puisi, cerpen dan artikel pendidikan. Telah menerbitkan beberapa buku puisi solo dan puisi antologi bersama, serta cerita pendek.
© Sepenuhnya. All rights reserved.