Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tamu Malam di Warung (Karya Abrar Yusra)

Puisi “Tamu Malam di Warung” karya Abrar Yusra bercerita tentang seorang tamu asing yang datang ke warung pada larut malam hanya untuk beristirahat.

Tamu Malam di Warung


Sesudah ngobrol pendek sekedar minta tempat
di larut malam, di pinggir jalan, di warung, yak kita pun
tak keberatan ia menggolek begitu saja
di lantai. Teronggok lusuh dengan pakaiannya
        Kita tentu berjudi. Jengkel dan terbahak dan
minum kopi sampai pagi. Tiba-tiba, nah:
        "Ia mati" suaramu aneh
        Mati?
Artinya mayatnya teronggok seperti pakaian tak bisa dipakai
lagi atau setumpuk perkakas rongsokan yang harus dibuang
ke tong sampah:
        Kepala, dada dan perut, tangan dan kaki jadi setumpuk
perkakas rongsokan di lantai, tak bisa dipakai lagi
        Siapa apa dia? Yang jelas ia sesuatu yang tanggal
dari tubuhnya tapi apa siapa siapa apa dianya? Dan apa
siapa dan siapa apa kita, aku dan kamu?
        Tak kepala namun berkepala, tak dada tak perut namun
berdada berperut, tak kaki tak tangan e berkaki bertangan!
Apanya berjejak di tanah, di sinar matahari, mengais tanah
merencah sungai dan laut, menerjuni lembah merangkak gunung
menggabai bulan
dan bintang-bintang
dan impian
yang berkeliaran malam
membisik merayu
menangis meringis
membahak dan berteriak?
Siapa? Kita ribut seolah bertengkar ketika pemilik warung
sama sendirinya berbisik:
        "Lagi, pengembara
yang memburu dan mungkin tak mendapatkan
apa-apa!" Siapa? Mestinya aku juga, yang sejenak singgah
di warung di pinggir jalan

29 Januari 1985

Sumber: Horison (Juli, 1985)

Analisis Puisi:

Puisi “Tamu Malam di Warung” karya Abrar Yusra merupakan salah satu karya yang memancing perenungan mendalam tentang hidup manusia, keberadaan, dan misteri identitas. Melalui gambaran sederhana tentang seseorang yang singgah di warung pada larut malam, puisi ini membuka ruang refleksi tentang siapa kita sebenarnya sebagai manusia: makhluk yang singgah, bekerja, mencari, tersesat, lalu pergi begitu saja.

Tema

Tema utama puisi ini adalah eksistensi manusia dan keterasingannya. Puisi menggambarkan sosok pengembara yang datang ke warung, diam, lalu tiba-tiba mati. Dari peristiwa ini, penyair mengarahkan pembacanya untuk merenungkan siapa manusia sebenarnya, apa makna hidup, dan bagaimana setiap individu hanyalah pengembara yang singgah sebentar dalam perjalanan panjangnya.

Tema lain yang kuat adalah ketidakpastian identitas, serta rapuhnya tubuh manusia yang sewaktu-waktu bisa kehilangan fungsi dan makna.

Puisi ini bercerita tentang seorang tamu asing yang datang ke warung pada larut malam hanya untuk beristirahat. Orang-orang yang berada di warung tidak merasa keberatan, meski mereka sedikit waspada.

Tak lama kemudian, muncul kabar bahwa ia mati. Tubuhnya pun digambarkan seperti setumpuk perkakas rongsokan—tak bisa dipakai lagi.

Kematiannya memicu percakapan:
  • Siapa dia?
  • Apa identitasnya?
  • Untuk apa ia hidup dan mengembara?
Pemilik warung akhirnya berkata bahwa ia hanyalah seorang “pengembara yang memburu dan mungkin tak mendapatkan apa-apa.” Pada titik ini, penyair membalikkan cermin ke pembaca: bukankah manusia pada dasarnya pengembara seperti itu juga?

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini sangat dalam dan multi-lapis:
  1. Kehidupan adalah persinggahan. Kita semua hanya singgah sebentar, seperti tamu malam itu.
  2. Identitas manusia sangat rapuh. Saat mati, tubuh manusia hanyalah benda; yang disebut “aku” dan “kamu” menjadi abstrak, bahkan tak terjelaskan.
  3. Hidup adalah perjalanan yang tidak selalu menemukan apa yang dicari. Sosok pengembara mungkin berjuang sepanjang hidup tetapi “tak mendapatkan apa-apa.” Ini menyiratkan refleksi bahwa manusia kerap menjalani hidup tanpa benar-benar menemukan tujuan akhir.
  4. Manusia sering memandang kematian sebagai sesuatu yang tiba-tiba dan membingungkan. Kematian dalam puisi ini bukan tragedi heroik, tetapi sunyi, aneh, dan membingungkan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dominan dalam puisi ini adalah:
  • muram
  • sunyi larut malam
  • misterius
  • suram
  • reflektif
Ada juga kesan absurd ketika penyair menggambarkan tubuh manusia sebagai perkakas rongsokan, seakan-akan manusia hanyalah benda.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan yang dapat ditangkap:
  1. Hargailah hidup yang singkat. Kita hanya singgah sebentar seperti tamu malam itu. Jangan lewatkan hidup tanpa makna.
  2. Jangan merasa paling tahu tentang diri sendiri. Puisi mengingatkan bahwa identitas manusia begitu kompleks; sering kali kita tidak tahu “siapa kita” sebenarnya.
  3. Setiap manusia adalah pengembara. Semua orang mencari sesuatu—makna, tujuan, harapan—tetapi tidak semua orang menemukannya.
  4. Persinggahan hidup kadang sepi, asing, dan tidak dimengerti. Dan itu adalah bagian alami dari perjalanan hidup.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan imaji gerak, misalnya:
  • “teronggok lusuh dengan pakaiannya” → imaji visual mengenai tubuh yang lelah atau kalah.
  • “kepala, dada dan perut, tangan dan kaki jadi setumpuk perkakas rongsokan” → imaji visual yang sangat kuat, menggambarkan tubuh manusia sebagai benda yang tak berfungsi.
  • “mengais tanah, merencah sungai dan laut, menerjuni lembah, merangkak gunung” → imaji gerak yang menggambarkan perjalanan panjang manusia.
  • “menggabai bulan dan bintang-bintang” → imaji ambisi, mimpi, dan hasrat hidup.
Imaji tersebut menciptakan perpaduan antara realitas dan metafora yang menegaskan betapa kerasnya perjalanan hidup manusia.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi:

Metafora
  • Tubuh manusia sebagai “setumpuk perkakas rongsokan”.
  • Manusia sebagai “pengembara”.
Personifikasi
  • Impian yang “berkeliaran malam, membisik, merayu, menangis meringis”.
Repetisi
  • Kata “siapa” dan “apa” diulang untuk menegaskan kebingungan identitas manusia.
Hiperbola
  • “menggabai bulan dan bintang-bintang” menggambarkan ambisi manusia yang kadang melampaui batas.
Puisi “Tamu Malam di Warung” karya Abrar Yusra adalah refleksi tentang perjalanan hidup manusia yang singkat, misterius, dan penuh pencarian. Melalui citraan yang kuat dan suasana malam yang muram, penyair mengajak pembaca untuk bertanya kembali: siapa aku? siapa kita? apakah kita benar-benar tahu untuk apa kita hidup?

Karya ini menunjukkan bahwa manusia pada akhirnya hanyalah pengembara yang singgah sebentar di dunia, mencari sesuatu yang belum tentu ditemukan.

Abrar Yusra
Puisi: Tamu Malam di Warung
Karya: Abrar Yusra

Biodata Abrar Yusra:
  • Abrar Yusra lahir pada tanggal 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Agam, Sumatra Barat.
  • Abrar Yusra meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat (pada umur 72 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.