Sumber: Picnic (2009)
Analisis Puisi:
Puisi “Tenggelam” karya Karno Kartadibrata merupakan gambaran satir dan tragis tentang sebuah kota yang dilanda bencana, namun di balik gambaran fisiknya terdapat pertanyaan mendalam mengenai hilangnya kepedulian manusia. Penyair tidak hanya mengisahkan runtuhnya bangunan secara literal, tetapi juga meruntuhkan harapan dan peradaban modern yang selama ini dibanggakan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kehancuran kota dan hilangnya jejak manusia akibat bencana. Namun di balik itu, terdapat tema-tema lain yang juga mengemuka:
- kerapuhan peradaban
- ketidakhadiran manusia di tengah bencana
- pertanyaan tentang kemanusiaan dan kepedulian
Puisi ini tidak semata-mata menggambarkan bencana, tetapi mempersoalkan bagaimana bencana itu mengungkap rapuhnya struktur sosial.
Puisi ini bercerita tentang sebuah kota yang tenggelam:
- sungai meluap mengaliri kota
- jembatan setengah tenggelam
- toko dan bank rubuh
- bata-bata hanyut
- bahkan "jam" sebagai simbol waktu pun terbenam
Di tengah kehancuran itu, penyair memusatkan perhatian pada jam yang “diangkat setelah terbenam” dan yang “masih bernafas, masih berdendang.” Namun jam itu bertanya:
“Di manakah orang yang suka lalu lalang itu?”
Akhir puisi ini menegaskan kelanapan akibat bencana: peradaban masih memiliki jejak (jam yang berdetak), tetapi manusianya hilang.
Makna Tersirat
Puisi ini memuat beberapa lapis makna tersirat:
- Peradaban modern mudah runtuh. Toko, bank, jembatan—simbol aktivitas ekonomi dan kemajuan—runtuh dalam sekejap. Penyair ingin menegaskan bahwa kemegahan kota tidak abadi.
- Waktu tetap berjalan meski kota hancur. Jam yang “masih bernafas” menyimbolkan waktu yang terus bergerak, sementara manusia dan bangunan tak mampu bertahan.
- Hilangnya manusia sebagai pusat kehidupan kota. Pertanyaan jam pada akhir puisi menyiratkan bahwa yang benar-benar hilang bukan hanya bangunan, tetapi kehadiran manusia yang memberi arti pada kota.
- Kritik sosial terhadap kesibukan manusia. Ungkapan “orang yang suka lalu lalang” mengisyaratkan bahwa manusia sering sibuk tanpa arah, tetapi ketika bencana datang, kesibukan itu lenyap, meninggalkan kehampaan.
- Bencana menguak kesepian. Puisi ini menyingkap situasi di mana kota yang biasanya ramai berubah menjadi tempat tanpa kehidupan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini sangat jelas:
- muram
- tragis
- sunyi
- penuh kehilangan
- suram dan menegangkan
Dari "toko rubuh" hingga "jam terbenam", pembaca dibawa dalam suasana kehancuran total yang membuat hati "runtuh".
Amanat / Pesan
Beberapa amanat yang tersirat:
- Kerapuhan modernitas harus disadari. Bangunan megah dan ekonomi kuat bisa runtuh seketika.
- Manusia harus lebih peduli pada lingkungan. Sungai yang mengalir dan menyebabkan banjir adalah refleksi kelalaian manusia dalam menjaga alam.
- Jangan terlampau sombong dengan aktivitas dan hiruk pikuk kota. Dalam bencana, semua kesibukan itu tidak berarti.
- Kehadiran manusia lebih penting daripada bangunan. Kota tanpa manusia adalah kota yang mati.
Imaji
Puisi ini menyajikan imaji visual yang kuat, terutama yang berhubungan dengan kehancuran:
- “mengalir sungai di tengah kota” gambaran banjir besar.
- “jembatan tenggelam setengahnya” imaji visual tentang infrastruktur yang tak berdaya.
- “toko rubuh dan bank rubuh” simbol ekonomi yang ambruk secara fisik dan metaforis.
- “bata demi bata tenggelam” detail yang memberi kesan kehancuran perlahan dan total.
- “jam… masih bernafas, masih berdendang” imaji yang unik, personifikasi yang memberi nyawa pada benda mati.
Imaji ini membuat pembaca dapat merasakan suasana bencana secara konkret.
Majas
Dalam puisi ini terdapat beberapa majas yang menonjol:
Personifikasi
- “jam masih bernafas, masih berdendang” jam diperlakukan seperti makhluk hidup.
- “hatimu runtuh” hati manusia digambarkan sebagai bangunan.
Metafora
- “mengalir sungai di tengah kota” dapat dibaca sebagai metafora banjir besar yang meluap dari batas normal.
Repetisi
- Pengulangan kata “rubuh” memperkuat suasana kehancuran.
Majas-majas ini memberikan daya hidup pada narasi bencana yang disampaikan secara puitis.
Puisi “Tenggelam” karya Karno Kartadibrata merupakan penggambaran rinci tentang kota yang dilanda banjir besar, tetapi lebih dari itu, puisi ini menyentuh aspek filosofis tentang hilangnya manusia sebagai pusat kehidupan. Dengan imaji visual yang kuat dan majas personifikasi yang mencolok, puisi ini menjadi kritik dan peringatan akan rapuhnya peradaban manusia.
