Mata Pelajaran Sanu, Sang Guru
Tentang Hewan Kecil dan Hewan Berfikir
perhatikan perhatikan perhatikan semut hitam
perhatikan perhatikan mereka berhenti melangkah
perhatikan mereka mematuhi perintah
perhatikan perhatikan perhatikan mereka diam
perhatikan perhatikan mereka menahan nafas
perhatikan apa yang mereka percakapkan
Perhatikan,
mereka resah perhatikan perhatikan perhatikan
mereka merasa bersalah perhatikan perhatikan
ya Tuhan ya Tuhan mereka berkata perhatikan
Perhatikan,
ampuni kami, ya Tuhan perhatikan perhatikan perhatikan
itulah pengakuan hewan kecil perhatikan
Perhatikan betapa anak buah Solaiman
memulangkan gula gula curian perhatikan perhatikan
memulangkan ke tempat semula, perhatikan
Perhatikan perhatikan perhatikan kesantunan kearifan
hewan hewan kecil perhatikan
dan kamu hewan besar, Hewan Yang Berfikir
tak juga sudi memperhatikan sajakku,
Sanu.
Ini Sanu yang bicara
Sanu itu aku Sanu itu engkau: Hewan Berfikir.
Sumber: Horison (April, 1985)
Analisis Puisi:
Puisi “Tentang Hewan Kecil dan Hewan Berfikir” karya Motinggo Boesje merupakan salah satu karya yang penuh permainan repetisi, kritik sosial, dan renungan moral. Pengulangan kata “perhatikan” hampir di seluruh larik menciptakan tekanan emosional yang kuat dan mengarahkan pembaca untuk melihat sesuatu yang tampaknya kecil—seperti semut hitam—namun menyimpan nilai-nilai besar yang sering diabaikan manusia.
Tema
Puisi ini merujuk pada gagasan utama yang hendak disampaikan penyair: perbandingan moral antara hewan kecil (semut) dengan manusia sebagai “Hewan Berfikir”.
Puisi ini menyoroti bagaimana hewan kecil justru menunjukkan kesadaran moral, ketaatan, rasa bersalah, dan pertobatan, sedangkan manusia yang memiliki akal tidak selalu melakukan hal yang sama.
Puisi ini bercerita tentang bagaimana semut—yang disebut sebagai “hewan kecil”—menampilkan perilaku yang penuh kepatuhan, kesantunan, serta kesadaran atas kesalahan (digambarkan dengan “memulangkan gula curian”).
Sementara itu, manusia sebagai Hewan Berfikir justru digambarkan tidak peduli, tidak memperhatikan, dan tidak mengambil nilai moral dari perilaku hewan kecil tersebut.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini berkaitan dengan kritik sosial yang kuat. Di balik gambaran tentang semut, penyair ingin menyampaikan bahwa:
- Hewan kecil memiliki integritas moral yang lebih tinggi dibanding manusia.
- Manusia sering mengabaikan pesan-pesan sederhana tentang kebaikan, bahkan ketika contoh itu sudah sangat jelas di depan mata.
- Ada ironi besar: mereka yang tidak berakal tinggi (hewan kecil) justru lebih bijaksana daripada manusia yang membanggakan kemampuan berpikir.
Makna tersirat ini juga menyinggung kemunafikan manusia, ketidakpedulian sosial, dan hilangnya sikap rendah hati.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah serius, menggurui, penuh penekanan, dan sedikit satir. Pengulangan kata “perhatikan” menciptakan suasana seperti teguran keras, seolah pembaca dipaksa untuk melihat hal yang selama ini diabaikan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat yang dapat ditangkap:
- Belajarlah dari hal-hal kecil, termasuk dari hewan seperti semut.
- Jangan sombong sebagai “Hewan Berfikir” jika tidak mampu melakukan kebaikan sederhana.
- Tumbuhkan rasa tanggung jawab dan moral, seperti semut yang “memulangkan gula curian”.
- Perhatikan sekitar, sebab pelajaran moral bisa datang dari mana saja.
Puisi ini seperti cermin yang diarahkan kepada manusia agar menyadari kekurangan dirinya.
Imaji
Imaji tampak dalam deskripsi visual dan gerakan:
- “semut hitam” → imaji visual.
- “berhenti melangkah” → imaji gerak.
- “menahan nafas” → imaji gerak sekaligus suasana tegang.
- “memulangkan gula curian” → imaji visual sekaligus simbolik.
Imaji dalam puisi ini sederhana, namun cukup kuat untuk menggambarkan perilaku moral semut yang kontras dengan manusia.
Majas
Beberapa majas hadir dalam puisi ini:
- Personifikasi – Semut digambarkan seperti manusia yang bisa “merasa bersalah”, “mematuhi perintah”, “mengaku dosa”, dan “berkata”.
- Repetisi – Kata “perhatikan” diulang hampir di setiap larik untuk menegaskan pesan moral.
- Metafora – Manusia disebut “Hewan Yang Berfikir”, sebuah metafora yang menyoroti identitas biologis sekaligus moral manusia.
- Ironi – Hewan kecil justru lebih santun daripada manusia yang mengaku makhluk paling berakal.
Puisi “Tentang Hewan Kecil dan Hewan Berfikir” karya Motinggo Boesje adalah kritik moral yang tajam terhadap manusia yang lalai menggunakan akalnya untuk melakukan kebaikan. Melalui gambaran semut kecil yang patuh, merasa bersalah, dan memperbaiki kesalahannya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai integritas.
Dengan tema tentang moralitas dan ironi perilaku manusia, makna tersirat yang kuat, imaji visual yang sederhana namun efektif, serta majas yang memperkaya, puisi ini menjadi salah satu refleksi sosial yang relevan hingga hari ini.
Karya: Motinggo Boesje
Biodata Motinggo Boesje:
- Motinggo Boesje (Motinggo Busye) lahir di Kupang Kota, pada tanggal 21 November 1937.
- Motinggo Boesje meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 18 Juni 1999 (pada usia 61 tahun).
- Nama lahir Motinggo Boesje adalah Bustami Djalid.
