Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Terali Sepi (Karya Esha Tegar Putra)

Puisi “Terali Sepi” karya Esha Tegar Putra bercerita tentang seorang perempuan yang membangun terali sepi dalam hidupnya, hidup dalam ketekunan, ...
Terali Sepi

- episode pertama

matamu lesat memantulkan cahaya dari balik
tirai kelambu, sedang aku masih sibuk menjaga
malam yang sedang mengambil ancang-ancang
untuk lari dari terali sepi yang baru saja kau bangun
jika benar itu terjadi mungkin tak akan kau
dengar lagi ngiau kucing tetangga di balik pagu
(kucing itu benar-benar brengsek, ia selalu
mengintai semua yang berbau daging, mencurinya
lalu memakannya diam-diam di dalam got lembab
yang ditinggal gerombolan tikus)
kau juga tak akan meributkan lagi soal
kengkengan anjing, suara musang, dan segala
yang bersuara pada jam sepimu

maaf, jika kusengajakan mengintipmu yang
sedang sibuk menghitung manik-manik kelambu
tempat tidurmu (yang katamu perumpamaan
bintang langit) agar kau mengerti tentang
perhitungan tanggal dan bulan, tentang rasi, dan
jalur-jalur angin. sebab kau ingin memandu sebuah
pelayaran yang akan memakan waktu yang lama
“tentunya aku harus hafal segalanya mengenai
pertunjukan langit, sebab aku segera menjadi
seorang juru tunjuk.” kau bicara pada suara tetes
air dari bak mandi yang sayup-sampai ke telingamu


- episode dua

hitunganmu pada manik kelambu tidur terhenti
sebab seseorang lelaki tua memakai peci hitam
mengetuk pintu. entah itu siapa, ia membawa
buntalan seperti karung beras yang masih berisi
sedikit. “sudah malam, kau seorang garin kan?
tapi sungguh tak tahu aturan!” aku terperanjat
di balik jendela mendengar kau menghardik
lelaki tua yang tergopoh-gopoh lari sambil berkata

“kau pastinya mencari sepi, sudah larut tapi masih
saja berjaga. pastinya kau mencari sepi, pastinya.
sedang aku memberikan sepi pada orang-orang,
mirip sepi ruang dalam sebuah karung.”

lalu kau melambaikan tangan seraya ingin
memanggil orang itu lagi sebab ucapannya
mengandung isyarat yang sedang kau cari
maknanya


- episode tiga

rambut panjangmu tergerai menyisakan sesal
malam masih saja ingin mencoba lari dari
terali sepi yang kau bangun

aku terus memperhatikan gerak-gerikmu
terus dan terus dari balik tirai kelambu
sambil bertanya pada diriku sendiri: kenapa
kau tidak berkaca saja, sambil mencari kutu, lalu
bersahutan dengan makhluk
kecil yang tidak kau perdulikan keberadaanya di
kepalamu itu—ia yang secara diam telah mencuri
darahmu


- episode empat

aku selalu tahu niatmu yang ingin berlayar
mengarungi samudra jauh . layaknya seorang
laksamana yang selalu diceritakan para tetua

tapi selalu kau digelak-tawakan teman-teman
sebaya yang mengatakan, kau jantan apa betina?

pastinya ucapan itu yang selalu kau ingat
hingga kau jadi seperti ini, tak bisa berpicing
mata untuk tidur, tapi hanya
berguling-guling tak karuan sambil menggigit
selimut dingin dari kulit domba persia


- episode lima

lamunanmu seperti ingin memangsa malam saja.
sesalmu pada seorang tua yang tengah malam
pernah mengunjungimu (mungkin ia sekedar
meminta segenggam beras untuk anak yatim atau
untuk biaya pembangunan surau) membuat bulu
kudukmu merinding

sebab kau ingat sesuatu mengenai sepi yang
selalu saja kau cari maknanya dan tentunya ia
memilikinya

mungkin dalam buntalan karungnya, atau masih
dalam ucapannya yang mengandung petuah purba
menyerupai tuah si pengelana sepi. ah, barangkali
saja orang tua itu sedang bergurau, atau ia sedang
menakutimu dengan berlagak gaya garin agar kau
memberinya segenggam beras lalu ia akan berkata
: tertipu kau!


- episode akhir

sebab kau si perempuan pemanggul sepi yang
bakal jadi juru tunjuk dari sebuah pelayaran
kau si pemanggul sepi yang iri pada arah angin
dan segala yang berada di langit ingin kau
kuasai dengan mengibaratkan manik-manik
kelambu tidurmu sebagai perumpamaan rasi
bintang dan jalur angin. agar kau terkurung
dalam sebuah perhitungan sepi yang teramat

sebab itulah aku selalu memperhatikanmu dari
balik jendela kamar tidurmu. agar malam tak
mencoba lari meninggalkan terali sepi yang
susah payah kau bangun dan kau rawat dengan
matamu yang mulai terlihat memantulkan kerlip
cahaya langit

Kandangpadati, 2008

Analisis Puisi:

Puisi “Terali Sepi” karya Esha Tegar Putra adalah salah satu karya panjang yang menggabungkan unsur naratif, dramatik, dan simbolik dalam enam episode. Puisi ini menampilkan pergulatan seorang tokoh perempuan dengan kesepian yang ia bangun sendiri, seraya seorang “aku” liris memperhatikannya secara diam-diam dari balik jendela. Lapisan cerita, simbol-simbol, dan suasana malam yang sunyi membentuk dunia batin yang kompleks dan puitis.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian makna kesepian dan pergulatan batin seorang perempuan yang ingin menjadi juru tunjuk atau penunjuk arah. Kesepian tidak hadir sebagai perasaan negatif semata, tetapi sebagai ruang, medan, bahkan “terali” yang ia bangun dan ia pelihara—semacam sangkar batin yang justru ingin ia kuasai dan pahami.

Tema tambahan yang memperkaya adalah:
  • pergolakan identitas,
  • kerinduan akan pengakuan,
  • hubungan antara manusia dan malam,
  • keinginan menjadi “pengarah” dalam kehidupan, meski harus merangkul kesepian.
Puisi ini bercerita tentang seorang perempuan yang membangun terali sepi dalam hidupnya, hidup dalam ketekunan, kegelisahan, dan pencarian jati diri. Ia mempelajari rasi bintang, angin, dan gejala langit untuk menjadi seorang “juru tunjuk”—semacam navigator dalam pelayaran yang panjang.

Sementara itu, tokoh “aku” liris:
  • mengamati perempuan itu dari balik jendela,
  • menyaksikan seabrek kegelisahan dan ritualnya,
  • memahami bahwa perempuan itu membawa beban sepi yang tidak terlihat oleh orang lain.
Ada pula episode pertemuan dengan lelaki tua yang mengaku membawa “sepi” dalam karungnya, yang membuat si perempuan semakin yakin bahwa kesepian memiliki makna dan misteri yang harus ia pecahkan.

Makna Tersirat

Banyak makna tersirat yang menggantung sepanjang puisi, antara lain:
  1. Sepi sebagai ruang kontemplasi. Kesepian tidak dilihat sebagai kekosongan, melainkan sebagai ruang yang harus dilalui sebelum seseorang menemukan diri dan arah hidupnya.
  2. Pencarian identitas perempuan. Pertanyaan “kau jantan apa betina?” yang sering ia dengar dari teman-temannya menyiratkan pergulatan identitas, tekanan sosial, dan stereotip gender yang memengaruhi jiwanya.
  3. Kesepian sebagai beban sekaligus bekal perjalanan. Perempuan itu membawa sepi seperti seseorang membawa peralatan navigasi. Ia mempelajari bintang, rasi langit, dan angin karena ia ingin memimpin pelayaran: Kesepian baginya adalah kompas sekaligus kunci.
  4. Kedekatan antara kesepian dan makna hidup. Lelaki tua membawa “sepi dalam karung”—menandakan bahwa makna terbesar kadang datang dalam wujud sederhana dan misterius.

Suasana dalam puisi

Jika dibaca dari awal hingga akhir, puisi ini membangun suasana gelap, sunyi, magis, dan melankolis, dipenuhi dunia malam, kelambu, kamar, bunyi tetesan air, suara binatang malam, dan kesunyian yang “dijaga”.

Ada suasana:
  • kontemplatif,
  • mencekam,
  • sendu,
  • peka terhadap gerak kecil malam.
Perasaan kesendirian dipertebal oleh penjagaan tokoh “aku” yang selalu mengintip perempuan itu dari balik jendela—menambah nuansa voyeuristik dan misteri.

Amanat / Pesan

Amanat yang dapat ditarik dari puisi ini antara lain:
  1. Kesepian tidak selalu buruk. Ia dapat menjadi ruang untuk memahami diri dan menemukan arah yang selama ini dicari.
  2. Identitas adalah perjalanan panjang. Seseorang harus berani menghadapi pertanyaan dan keraguan yang menimpanya, termasuk tekanan sosial.
  3. Makna dapat hadir dari hal sederhana. Kadang “orang tua pembawa karung berisi sepi” menjadi pengingat bahwa makna ada di mana saja.
  4. Jangan mengabaikan panggilan batin. Perempuan itu mengikuti dorongannya untuk “menjadi juru tunjuk”, dan puisi mengarahkan kita untuk menghayati panggilan masing-masing.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditorik, seperti:
  • “matamu lesat memantulkan cahaya dari balik tirai kelambu”
  • “ngiau kucing tetangga di balik pagu”
  • “tetes air dari bak mandi”
  • “rambut panjangmu tergerai”
  • “selimut dingin dari kulit domba persia”
Imaji-imaji tersebut membangun dunia yang intim, gelap, namun hidup.

Ada pula imaji kinestetik, misalnya:
  • gerak malam yang “ingin lari”,
  • perempuan yang “berguling-guling”,
  • lelaki tua yang “tergopoh-gopoh lari”.
Semua ini membuat puisi terasa seperti adegan-adegan film yang perlahan bergerak dalam kesunyian.

Majas

Beberapa majas yang tampak kuat dalam puisi ini antara lain:

Personifikasi
  • “malam yang sedang mengambil ancang-ancang untuk lari”
  • “malam masih saja ingin mencoba lari dari terali sepi yang kau bangun”
Metafora
  • terali sepi → metafora dari batas batin atau sangkar psikologis
  • manik-manik kelambu → metafora rasi bintang dan jalur angin
  • karung berisi sepi → metafora dari hikmah, makna, atau nasihat hidup
Simile (perumpamaan)
  • “lamunanmu seperti ingin memangsa malam”
  • “kelambu tidurmu sebagai perumpamaan rasi bintang”
Hiperbola
  • “agar kau mengerti tentang perhitungan tanggal dan bulan”
  • “ingin menguasai segala yang berada di langit”
Semua majas ini memperkaya lapisan makna puisi dan menghadirkan kesan puitis yang kompleks.

Puisi "Terali Sepi" adalah eksplorasi mendalam tentang kesepian, identitas, dan perjalanan batin manusia. Esha Tegar Putra menghadirkan narasi yang kaya, simbolik, dan penuh imaji, dengan suasana malam yang intens. Puisi ini tidak hanya menghadirkan cerita seorang perempuan yang bergulat dengan “terali sepi”-nya, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan makna sunyi yang sering kali tersembunyi di balik hidup kita sendiri.

Esha Tegar Putra
Puisi: Terali Sepi
Karya: Esha Tegar Putra

Biodata Esha Tegar Putra:
  • Esha Tegar Putra lahir pada tanggal 29 April 1985 di Saniang Baka, Kabupaten Solok, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.