Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Upacara Kelahiran (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi “Upacara Kelahiran” karya Wayan Jengki Sunarta bercerita tentang proses kelahiran seorang anak yang digambarkan melalui simbol-simbol alam.
Upacara Kelahiran

bulan kesembilan
mataku ditumbuhi lumut
hujan rancu
pada batang alangalang

aku tiba
cahaya yang tergenggam
adalah tangis bayi
pada kusam pagi

rintihmu
merasuk ke pelepah pelepah pohon
ke serat serat daun
ke akar akar yang tak sabar

kali kecil itu mengalir
ke hulu nadimu
kutemukan gua tua
dua sumber air
dan belukar yang lebat
saat musim kawin

waktu luntur
dalam gema tambur
yang ditabuh bocah bocah
kendi pecah
mendedah jantungku

anak anakku nanti
pemilik keabadian
aku hanya cahaya
yang fana

2000

Sumber: Impian Usai (2007)

Analisis Puisi:

Puisi “Upacara Kelahiran” karya Wayan Jengki Sunarta adalah puisi yang sarat simbol, bahasa metaforis, dan spiritualitas yang khas. Penyair menggunakan unsur-unsur alam, tubuh, dan siklus hidup untuk menggambarkan pengalaman kelahiran sebagai peristiwa sakral. Kelahiran bukan sekadar awal kehidupan biologis, tetapi sebuah upacara kosmis yang menghubungkan manusia dengan alam, tradisi, dan lingkaran kehidupan.

Dengan gaya bahasa puitis yang kaya dan imaji yang mendalam, puisi ini menggambarkan bagaimana kehadiran seorang anak bukan hanya terjadi pada ibu, tetapi juga pada alam semesta yang ikut bergerak, ikut beresonansi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah sifat sakral dan kosmis dari proses kelahiran. Tema-tema lainnya mencakup:
  • hubungan manusia dengan alam
  • kesementaraan hidup orang tua dibandingkan generasi baru
  • kelahiran sebagai upacara spiritual
  • kesinambungan hidup dan warisan keabadian melalui anak
Puisi ini bercerita tentang proses kelahiran seorang anak yang digambarkan melalui simbol-simbol alam. Pada “bulan kesembilan”, penyair menampilkan gambaran metaforis seperti mata yang “ditumbuhi lumut”, hujan rancu, dan alangalang, seolah menunjukkan perjalanan kehamilan yang melelahkan namun penuh misteri.

Kelahiran dihadirkan sebagai “cahaya yang tergenggam”, yaitu tangis bayi yang menyambut pagi. Rintihan atau suara sang bayi meresap ke alam—ke pohon, daun, dan akar. Ini menggambarkan bahwa kelahiran tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga oleh semesta.

Penyair kemudian menemukan “gua tua, dua sumber air, dan belukar yang lebat saat musim kawin”, sebuah simbol yang kuat tentang rahim, asal mula kehidupan, fertilitas, dan kesuburan.

Pada bagian akhir, ia menegaskan bahwa anak-anaknya kelak adalah “pemilik keabadian”, sementara dirinya hanyalah “cahaya yang fana”.

Makna Tersirat

Puisi ini menyampaikan beberapa makna tersirat penting:
  1. Kelahiran adalah peristiwa kosmis. Tidak hanya terjadi dalam tubuh, tetapi juga dirasakan oleh alam.
  2. Manusia terhubung dengan alam dalam setiap fase hidupnya. Rintihan bayi meresap ke pohon, daun, akar—menandakan bahwa alam menyambut hidup baru.
  3. Kehidupan orang tua bersifat sementara. “Aku hanya cahaya yang fana” menandakan kesadaran bahwa generasi tua akan berlalu.
  4. Anak-anak adalah masa depan dan keabadian. Lewat anak, garis hidup berlanjut, mengalahkan kefanaan manusia.
  5. Kelahiran adalah upacara sakral yang mengulang ritus kehidupan. Simbol seperti gua, sumber air, dan musim kawin mempertegas aspek ritus dan kesuburan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini:
  • Mistis dan simbolik: Banyak simbol alam, ritual, dan gambaran spiritual.
  • Sakral: Peristiwa kelahiran digambarkan sebagai ritual, bukan sekadar tindakan biologis.
  • Tenang namun mendalam: Nada puisi terasa lembut, tetapi penuh muatan makna.
  • Melankolis: Terutama pada bagian akhir ketika penyair menyadari kefanaannya.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini kaya imaji, baik visual maupun imaji alam.

Imaji alam dan tubuh
  • mata ditumbuhi lumut
  • hujan rancu pada batang alangalang
  • pelepah pohon, serat daun, akar
Imaji ini menghadirkan kesan betapa alam turut hidup dan merasakan proses kelahiran.

Imaji kelahiran
  • cahaya yang tergenggam adalah tangis bayi
  • kusam pagi
  • gua tua, dua sumber air (simbol rahim dan kesuburan)
Gua dan sumber air adalah simbol klasik kelahiran.

Imaji ritual
  • gema tambur yang ditabuh bocah-bocah
  • kendi pecah mendedah jantungku
Semuanya menghadirkan suasana upacara tradisional yang sakral.

Imaji waktu
  • waktu luntur
Memberi efek haru dan melankolis.

Majas dalam Puisi

Puisi ini memuat berbagai majas yang memperkuat kedalaman makna:

Metafora
  • mataku ditumbuhi lumut → metafora kelelahan atau lamanya menunggu kelahiran
  • cahaya yang tergenggam → metafora bayi
  • kendi pecah mendedah jantungku → perasaan emosional yang pecah saat kelahiran
Personifikasi
  • hujan rancu, rintih merasuk ke pelepah pohon, atau akar yang “tak sabar”
Simbolisme
  • gua tua → rahim
  • dua sumber air → air ketuban / sumber kehidupan
  • tambur → ritus kelahiran atau tradisi budaya
  • cahaya fana dan keabadian → perbandingan generasi

Amanat atau Pesan dalam Puisi

Puisi ini menyampaikan beberapa pesan penting:
  1. Kehidupan adalah anugerah yang sakral. Kelahiran harus dipandang sebagai peristiwa agung yang melibatkan manusia dan alam.
  2. Setiap generasi membawa harapan keabadian. Anak-anak adalah penerus kehidupan, melampaui kefanaan orang tua.
  3. Alam dan manusia tidak terpisahkan. Kelestarian alam adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.
  4. Kesadaran akan kefanaan membuat manusia lebih bijaksana. Dengan menyadari bahwa dirinya “cahaya yang fana”, manusia akan lebih rendah hati dan menghargai waktu.
Puisi “Upacara Kelahiran” karya Wayan Jengki Sunarta adalah karya liris yang memadukan unsur ritual, alam, dan spiritualitas dalam satu kesatuan. Dengan imajinasi yang kuat serta majas yang kaya, penyair menggambarkan bahwa kelahiran adalah peristiwa yang menautkan manusia dan alam dalam satu ritus yang suci. Pesan-pesan tentang keabadian, kesuburan, dan kefanaan menjadikan puisi ini sebagai perenungan mendalam tentang hakikat kehidupan.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Upacara Kelahiran
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.