Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Yang Selesai Ditulis (Karya Kinanthi Anggraini)

Puisi “Yang Selesai Ditulis” karya Kinanthi Anggraini mengajarkan bahwa setiap hal — baik tubuh, kenangan, maupun karya seni — memiliki akhirnya ...
Yang Selesai Ditulis

Bolehkan aku menyalakan lilin tanah
yang masih basah?
Agar kenangan pohon yang
mencantumkan bunga dalam bayangan
tanpa kepala itu musnah.

Doaku setua kerak batu
yang tak kujung mendapat senyum
di dagu
ketika dengung suara serangga padi
membacakan koordinat angin puyuh
pohon pemberi tanda bulan
sedang asyik hinggap di lukisan.

Sedangkan tubuh yang selesai tumbuh
mati bersama puisi yang selesai ditulis.

Tasikmalaya, 11 Juni 2014

Sumber: Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Yang Selesai Ditulis” karya Kinanthi Anggraini merupakan refleksi mendalam tentang kefanaan, kenangan, dan hubungan antara kehidupan dengan karya seni — khususnya puisi. Dalam bahasa yang puitis dan simbolik, Kinanthi menghadirkan suasana yang hening, suram, dan kontemplatif. Ia menelusuri batas antara hidup dan mati, antara kenangan dan pelupaan, antara sesuatu yang sedang tumbuh dengan yang “selesai ditulis” — yakni berhenti, usai, atau lenyap.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kematian dan kefanaan dalam kaitannya dengan kenangan dan karya manusia. Penyair seolah berbicara tentang bagaimana hidup, seperti juga puisi, akan mencapai titik “selesai ditulis” — saat segalanya berhenti. Tema ini tidak hanya berkaitan dengan kematian biologis, tetapi juga kematian simbolik: lenyapnya kenangan, usainya makna, atau habisnya daya cipta. Puisi ini menyentuh sisi eksistensial kehidupan — bahwa setiap hal yang dicipta dan dialami manusia, pada akhirnya akan musnah.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang merenungi kenangan dan kefanaan dirinya. Ia ingin “menyalakan lilin tanah yang masih basah” — sebuah metafora tentang upaya memberi terang pada kenangan yang masih segar, mungkin juga luka masa lalu yang belum kering. Namun, ia juga ingin agar kenangan itu “musnah”, menandakan pergulatan batin antara keinginan untuk mengingat dan melupakan.

Dalam bait berikutnya, doa yang “setua kerak batu” menggambarkan kesetiaan panjang terhadap sesuatu yang tak kunjung berubah — mungkin kesedihan, mungkin harapan yang tak terjawab. Penyair menutup dengan kalimat tajam dan melankolis:

“Sedangkan tubuh yang selesai tumbuh / mati bersama puisi yang selesai ditulis.”

Kalimat ini menegaskan bahwa hidup dan puisi memiliki kesamaan: keduanya bergerak menuju kesempurnaan yang diakhiri oleh kematian atau keusangan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah renungan tentang siklus hidup dan kematian, serta tentang makna penciptaan yang sementara. Kinanthi tampaknya hendak menyampaikan bahwa menulis — seperti hidup — adalah proses menuju akhir. Saat puisi selesai ditulis, maka sebagian dari hidup juga berhenti; sebagian dari diri penyair telah “mati” bersama kata-kata yang selesai dituliskannya.

Puisi ini juga bisa dibaca sebagai alegori tentang hubungan manusia dengan waktu dan kenangan. “Lilin tanah yang masih basah” menandakan sesuatu yang baru, lembut, dan rapuh — simbol harapan kecil di tengah kefanaan. Namun, seiring waktu, semua kenangan dan doa akan menjadi “kerak batu”, menua, membatu, dan kehilangan cahaya hidupnya.

Suasana dalam puisi

Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah sunyi, reflektif, dan melankolis. Pembaca seakan diajak masuk ke ruang batin yang hening, tempat penyair menyalakan lilin kecil di antara bayangan dan kenangan. Ada nuansa duka yang lembut, tidak meledak, tetapi menembus perlahan. Suasana ini diperkuat oleh diksi seperti lilin tanah, kerak batu, bayangan tanpa kepala, dan mati bersama puisi — semua menciptakan aura kesenyapan dan kematian simbolik.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat ditarik dari puisi ini adalah pentingnya menerima kefanaan sebagai bagian alami dari kehidupan dan penciptaan. Kinanthi seolah mengatakan bahwa setiap doa, kenangan, atau karya memiliki batas waktunya. Tidak ada yang abadi — bahkan puisi yang indah sekalipun akan “mati” setelah selesai ditulis, seperti tubuh manusia setelah selesai tumbuh.

Namun, di balik kepedihan itu tersimpan penerimaan: bahwa keindahan justru lahir karena kesementaraan. Dengan menulis, manusia berusaha menyalakan “lilin tanah” — secercah cahaya harapan — meski tahu bahwa lilin itu akan padam.

Imaji

Puisi ini sangat kaya akan imaji visual dan simbolik, yang menghidupkan suasana hening dan reflektif:
  • “Menyalakan lilin tanah yang masih basah” → imaji visual dan taktil yang kuat; menggambarkan pertemuan antara kehidupan (api) dan bumi (tanah), antara semangat dan kefanaan.
  • “Kenangan pohon yang mencantumkan bunga dalam bayangan tanpa kepala” → imaji surealis, seperti potret ingatan yang terputus, kehilangan bentuk, dan melayang-layang dalam kabut waktu.
  • “Doaku setua kerak batu” → imaji temporal yang menunjukkan waktu yang sangat panjang, doa yang membatu oleh kesetiaan atau kekecewaan.
  • “Tubuh yang selesai tumbuh mati bersama puisi yang selesai ditulis” → imaji metafisis, mempertemukan kehidupan fisik dan penciptaan spiritual dalam satu titik akhir.
Imaji-imaji ini tidak hanya memperindah puisi, tetapi juga memperdalam makna eksistensial yang hendak disampaikan penyair.

Majas

Kinanthi Anggraini menggunakan sejumlah majas metafora, personifikasi, dan simbolisme untuk membangun kekuatan puisinya:
  • Metafora: “lilin tanah” sebagai simbol kehidupan yang rapuh dan fana; “puisi yang selesai ditulis” sebagai simbol akhir kehidupan atau penciptaan.
  • Personifikasi: “kenangan pohon yang mencantumkan bunga dalam bayangan” memberi sifat manusiawi pada benda mati — menggambarkan kenangan yang masih hidup dan berbunga.
  • Simbolisme: lilin, batu, dan pohon menjadi lambang spiritualitas dan kefanaan; ketiganya mewakili fase kehidupan — lahir, tumbuh, dan mati.
  • Hiperbola: “doaku setua kerak batu” menekankan lamanya waktu, menggambarkan perasaan yang abadi namun beku.
Kombinasi majas-majas ini membuat puisi terasa padat makna, meski dalam jumlah kata yang ringkas.

Puisi “Yang Selesai Ditulis” karya Kinanthi Anggraini merupakan perenungan mendalam tentang hidup, kenangan, dan kematian yang disampaikan melalui bahasa simbolik dan penuh imaji. Tema utama tentang kefanaan dan akhir dari segala hal digambarkan dengan keindahan yang tenang dan melankolis.

Puisi ini mengajarkan bahwa setiap hal — baik tubuh, kenangan, maupun karya seni — memiliki akhirnya masing-masing. Namun, dalam kesementaraan itu, manusia menemukan makna terdalam dari eksistensinya.

Dengan kata lain, puisi ini bukan hanya tentang kematian, melainkan juga tentang kehidupan yang menemukan kedamaian dalam keselesaiannya.

Kinanthi Anggraini
Puisi: Yang Selesai Ditulis
Karya: Kinanthi Anggraini

Biodata Kinanthi Anggraini:
    Kinanthi Anggraini lahir pada tanggal 17 Januari 1989 di Magetan, Jawa Timur.

    Karya-karya Kinanthi Anggraini pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Horison, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Basis, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Riau Pos, Lampung Post, Solopos, Bali Post, Suara Karya, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Minggu Pagi, Bangka Pos, Majalah Sagang, Malang Post, Joglosemar, Potret, Kanal, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Radar Bekasi, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin, Rakyat Sumbar, Persada Sastra, Swara Nasional, Ogan Ilir Ekspres, Bangka Belitung Pos, Harian Haluan, Medan Bisnis, Koran Madura, Mata Banua, Metro Riau, Ekspresi, Pos Bali, Bong-Ang, Hayati, MPA, Puailiggoubat, Suara NTB, Cakrawala, Fajar Sumatera, Jurnal Masterpoem Indonesia, dan Duta Selaparang.

    Puisi-puisi Kinanthi Anggraini terhimpun di dalam buku Mata Elang Biru (2014) dan Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018). Karya-karyanya juga diterbitkan dalam cukup banyak buku antologi bersama.

    Nama Kinanthi Anggraini tertulis dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017).
    © Sepenuhnya. All rights reserved.