Ziarah Tembuni
Berkaca pada lantai pendapa, malam wangi Wijayakusuma
keriput uban serentak melawan, karena di sudut
dekat pot bunga berlumut, saudaraku
tembuni yang ikut serta dari gua garba bunda
masih tersimpan aman dan patut
Di sana masih tegak pohon mangga bapang
sepasang kelapa gading dan rumpun bambu kuning
ditambah tebu hitam, meniran dan kaca piring
melengkapi salam sapa pagar halaman yang ramah dan hening
"Ya, aku masih di Jawa." Bersama welat dan jamu
menyanding pohon srigunggu, tuah tapak liman
serta dewa-daru
"Tetapi, mengapa sekarang engkau merasa jadi tamu..."
Padahal, di sana masih ada makam leluhur
ada nisan kayu batu ditatah dengan goresan paku.
Mereka tak pernah lupa siapa anak cucu
yang dulu nakal, suka mencuri ketela
dan membakarnya malam-malam saat bulan puasa.
Maka, seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki
yang berakar pada dahi mereka, yang menjalar
menutup nama yang pernah mendongengkan kisah Nabi,
Ramayana hingga Mahabharata
Ya, di sini aku punya kisah lama
ada perlambang pada anak panah dan gendewa
saat ibu yang melepaskan dirimu diriku
berguru pada tunas dan buku lebih dari satu
Kini, dengan keringat di dahi kucium kembali tanah itu
bersama derit bambu kusembuhkan penat perjalanan bersepatu
di sini engkau aku lahir, menjadi akar dan batang kayu
di sini pula ribuan dongeng berkait menjelma biduk dan perahu
2011
Sumber: Ziarah Tanah Jawa (2013)
Analisis Puisi:
Puisi "Ziarah Tembuni" karya Iman Budhi Santosa menggambarkan sebuah perjalanan spiritual dan ziarah ke tempat-tempat yang sarat akan kenangan dan makna.
Topografi Nostalgia: Puisi ini membawa pembaca ke lantai pendapa yang menjadi tempat refleksi. Terdapat nuansa nostalgia yang kental dalam penggambaran malam wangi Wijayakusuma, menciptakan suasana yang penuh kenangan dan emosi.
Arsitektur Kenangan: Gedung pendapa menjadi kaca bagi pemahaman diri dan masa lalu. Melalui cermin ini, penulis mencerminkan pergulatan dengan waktu dan perubahan, terutama terlihat dari keriput uban yang melawan serentak, simbol dari perjalanan panjang hidup.
Tembuni sebagai Simbol: Tembuni, yang berasal dari gua garba bunda, muncul sebagai simbol saudara atau entitas spiritual yang ikut serta dalam perjalanan spiritual ini. Penyebutan tembuni menciptakan citra kesejukan dan kehadiran yang abadi di tengah perubahan dan kerlipan waktu.
Flora dan Fauna sebagai Pembentuk Identitas: Pohon mangga bapang, kelapa gading, bambu kuning, tebu hitam, meniran, dan kaca piring membentuk lanskap alam yang sarat akan makna dan identitas. Mereka menjadi bagian dari salam sapa yang ramah dan hening, merangkai keberagaman dan keluhuran budaya.
Nostalgia dan Konflik Identitas: Pertanyaan "Mengapa sekarang engkau merasa jadi tamu..." mengindikasikan konflik identitas atau perasaan asing meskipun berada di tanah kelahiran. Hal ini bisa mencerminkan bagaimana perubahan zaman dan modernisasi dapat menciptakan perasaan alienasi terhadap tempat asal.
Mengenang Lelucon dan Kebijakan Anak Cucu: Makam leluhur dengan nisan kayu batu menjadi tempat untuk mengenang lelucon dan kebijakan anak cucu yang pernah nakal. Pemakaian metafora rumput teki yang dicabuti menciptakan citra membersihkan dan menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan dari masa lalu.
Citra Anak Panah dan Gendewa: Perlambang anak panah dan gendewa menjadi simbol perjalanan hidup dan pengajaran yang diterima dari ibu. Ibu sebagai pengajar yang melepaskan dan memberikan bekal pada tunas dan buku menciptakan gambaran kearifan lokal dan universal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ziarah Ke Akar Budaya: Puisi ini menciptakan citra ziarah ke akar budaya dan sejarah. Penulis, melalui kata-katanya, menyelam dalam kisah leluhur dan dongeng-dongeng yang menciptakan warisan budaya yang kaya.
Puisi "Ziarah Tembuni" adalah puisi yang membawa pembaca dalam perjalanan spiritual dan refleksi di tempat-tempat yang sarat akan makna sejarah dan identitas. Melalui gambaran alam, flora, dan fauna, puisi ini merayakan warisan budaya dan kebijaksanaan leluhur, sambil menciptakan nuansa nostalgia dan kekayaan nilai-nilai lokal.
