Sajak-Sajak dalam Gelap
Ketentuan
Dan lihatlah, gaya kandung yang kecil
tumbuh berurai dan saling beramai
dengan percobaan yang tidak berhasil
dalam kancah yang membadai
lepas satu, lepas dua dan saling mereka
dan menungkil batu yang berbeka
di malam kini.
layu bunga september dalam botol yang kering
dan bau memancar dari endapan yang kuning
di malam kini/nanti?
daya laju membedah dengan tidak malu-malu
untuk tidak tanggung-tanggung
menari dan menyanyi dan bermain akan canggung
di malam nanti?
Soal
sesayat alam aku sepuh dengan baterai
mengisik jarum suntik dengan sinar hangat
jendela itu hanya ditutup sebelah atas
tidak akan mungkin memasukkan zat pada pesawat
menyusun kesatuan dengan bekal satu senapan
surut memberi harapan dari seberang lautan
atau menanti kekasih yang tinggal seutas
memperbanyak satu bidang
meluaskan paruh sarang
akan sayang yang bergema dari ngarai.
Mustahil kuat kuda ditimbang dengan lemas
dan angin yang bergerak akan mesti berpuing pula
lebih baik mati daripada merubah diri
warna dan coretan sebagai dasar pecahan
dan dalam lengang membisu terjinak seribu satu cahaya emas.
Pemikiran
Dengarlah, nenek itu bercerita tentang bintang yang jatuh
Rumah-rumah main dadu
dan tempat inipun sama mempunyai
rasa cemar pada tanda-tanda lalu-lintas
dan dingin sedang menggigil
sepanjang jalan terompet berbunyi-bunyi
asap rokok yang menggumpal dari bibirku
di sudut kamar ini
bulan sakit demam dari jarak menggelitik
api merah mawar.
Seliput daki dan dosa
merentang pada acuan batas
bau dan bunga
yang terkandas.
Nelayan mengayuh sampan
mengucur
pucat pasi
Bukti
kawan, sekali ini matahari menyinarkan
cahaya dari aspirin, dan
langit kehilangan bau
sejak kerosi kita berdekatan
di bawah rindang mempelam
yang daunnya gugur tersebar.
Sorak dari kartu-kartu
menutupi telinga-telinga dan kaki-kaki baru
patah oleh mendung pualam
sejak anjing-anjing tidak leluasa mengganggu
sinar bulan dengan auman
yang menggetar.
Dan kambing-kambing lari pulang.
Sumber: Zenith (Agustus, 1952)
Analisis Puisi:
Tema utama puisi “Sajak-Sajak dalam Gelap” adalah kegelisahan eksistensial manusia di tengah kekacauan zaman dan pudarnya makna moral. P. Sengodjo mengangkat situasi sosial yang suram, penuh absurditas, di mana nilai dan arah hidup seakan kehilangan pegangan. “Gelap” dalam judulnya tidak hanya berarti ketiadaan cahaya fisik, tetapi lebih dalam: kegelapan batin, budaya, dan spiritual masyarakat modern.
Tema ini berpadu dengan renungan eksperimental tentang keterasingan individu, kerusakan moral, dan pencarian makna di tengah kehancuran nilai-nilai lama. Penyair seolah memotret situasi sosial yang absurd dan kehilangan orientasi: bunga layu dalam botol kering, bau busuk dari endapan kuning, dan matahari yang hanya menyinari dari aspirin—semuanya simbol ketidakwajaran dunia manusia modern.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seorang penyair yang menatap dunia penuh kehancuran moral, kebingungan identitas, dan absurditas hidup. Ia membagi puisinya menjadi empat bagian — Ketentuan, Soal, Pemikiran, dan Bukti — yang membentuk struktur naratif filosofis.
- Bagian “Ketentuan” menggambarkan kekacauan lahirnya sesuatu (“gaya kandung yang kecil tumbuh berurai dan saling beramai”) — metafora tentang kelahiran ide, generasi, atau sistem sosial baru yang tumbuh tanpa arah. Bunga September yang layu melambangkan kerapuhan harapan, sementara suasana “malam kini/nanti?” menggambarkan waktu yang tak menentu—antara masa kini yang gelap dan masa depan yang sama tidak jelas.
- Bagian “Soal” berisi perenungan dan pertanyaan eksistensial: manusia dihadapkan pada persoalan kehidupan, teknologi, dan ketidakpastian. Ada simbol “jarum suntik dengan sinar hangat” — seolah menggambarkan sains yang kehilangan jiwa. Di sini penyair mengkritik dunia modern yang mendewakan logika dan mesin, namun melupakan nilai-nilai kemanusiaan.
- Bagian “Pemikiran” menghadirkan gambaran sosial yang konkret. Kota digambarkan penuh dosa, kebisingan, dan keasingan. “Rumah-rumah main dadu” menggambarkan nasib yang ditentukan oleh kebetulan dan permainan, bukan keadilan. “Asap rokok yang menggumpal dari bibirku” menunjukkan keletihan eksistensial manusia modern yang terjebak dalam rutinitas tanpa makna.
- Bagian “Bukti” menjadi penutup sekaligus kesaksian tentang kehancuran. Matahari kini “menyinarkan cahaya dari aspirin” — metafora luar biasa untuk menggambarkan matahari palsu, cahaya buatan yang tak lagi memberi kehidupan, melainkan sekadar obat penenang. Alam pun kehilangan harmoni: langit kehilangan bau, daun mempelam gugur, anjing-anjing tak bisa melolong, dan kambing-kambing berlari pulang. Semua ini menunjukkan dunia yang tak lagi alami, penuh kerusakan moral dan ketakutan sosial.
Dengan demikian, puisi ini bercerita tentang upaya penyair menafsirkan dunia yang kehilangan arah, di mana kebenaran, kesucian, dan ketulusan telah memudar dalam kabut peradaban modern.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kemerosotan manusia yang terperangkap dalam kemajuan palsu, kehilangan nilai spiritual, dan hidup dalam absurditas sosial. P. Sengodjo tampak ingin menyampaikan bahwa kemajuan tanpa arah moral hanyalah menciptakan kehampaan. Dalam suasana “gelap”, manusia mencoba mencari arti hidup, tapi yang ia temukan hanyalah “aspirin”—penawar sesaat bagi luka yang tak kunjung sembuh.
Bait-bait seperti “lebih baik mati daripada merubah diri / warna dan coretan sebagai dasar pecahan” menunjukkan penolakan terhadap kompromi nilai-nilai sejati. Penyair seolah menegaskan pentingnya mempertahankan jati diri di tengah tekanan modernitas.
Selain itu, ada juga makna spiritual tersembunyi: manusia seharusnya tidak melupakan hakikat kemanusiaannya, karena “gelap” bukan sekadar keadaan eksternal, melainkan pantulan kegelapan batin manusia sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang muncul dalam puisi ini sangat suram, kelam, dan penuh kebingungan. Ada nuansa eksperimental yang menekan, di mana pembaca seolah dibawa ke dunia yang absurd dan penuh kabut makna.
Kata-kata seperti “bau memancar dari endapan yang kuning”, “bulan sakit demam”, atau “matahari menyinarkan cahaya dari aspirin” menimbulkan suasana surealis yang menyatu antara keindahan dan kehancuran.
Suasana gelap bukan hanya visual, tetapi juga emosional — mengandung perasaan kehilangan, keletihan, dan keputusasaan yang mendalam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat utama dari puisi ini ialah manusia harus berani menatap kegelapan zaman dengan kesadaran moral dan spiritual. Puisi ini mengingatkan bahwa di tengah kebingungan hidup modern, seseorang tidak boleh kehilangan arah dan kemanusiaannya.
Penyair juga seolah menegaskan pentingnya refleksi diri dan kesetiaan pada nilai-nilai sejati, meskipun dunia tampak penuh dosa dan kemunafikan.
Ada ajakan halus untuk tidak menyerah pada “gelap” itu, melainkan mencari makna sejati di dalamnya — karena justru dalam kegelapan, kesadaran sering kali tumbuh.
Imaji
Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual dan simbolik, meskipun kadang bersifat surealis dan metaforis. Beberapa contoh imaji yang kuat antara lain:
- “layu bunga September dalam botol yang kering” → imaji visual tentang kematian dan kekosongan.
- “matahari menyinarkan cahaya dari aspirin” → imaji absurd yang menandakan kemajuan palsu.
- “bulan sakit demam dari jarak menggelitik api merah mawar” → imaji metafisik tentang cinta dan penderitaan.
- “asap rokok menggumpal dari bibirku di sudut kamar ini” → imaji intim, menggambarkan kesendirian dan keterasingan.
Imaji dalam puisi ini menciptakan suasana surealis, getir, dan reflektif, khas puisi-puisi yang menyatukan dimensi sosial dan spiritual.
Majas
P. Sengodjo menggunakan beragam majas untuk memperkaya puisinya:
Metafora:
- “gelap” sebagai lambang kebingungan moral dan spiritual.
- “matahari menyinarkan cahaya dari aspirin” sebagai metafora kehidupan buatan yang kehilangan makna alami.
Personifikasi:
- “bulan sakit demam” dan “langit kehilangan bau” menjadikan benda-benda langit hidup layaknya manusia.
Simbolisme:
- “bunga layu” → kehancuran harapan.
- “rumah-rumah main dadu” → kehidupan yang dikendalikan oleh nasib dan ketidaktentuan.
Hiperbola:
- “lebih baik mati daripada merubah diri” menunjukkan tekad ekstrem mempertahankan keaslian diri.
Majas-majas tersebut membuat puisi ini tidak hanya kuat secara ide, tetapi juga estetis dan menggugah rasa.
Puisi “Sajak-Sajak dalam Gelap” karya P. Sengodjo adalah karya reflektif yang memadukan kritik sosial, spiritualitas, dan pencarian eksistensi manusia. Dengan gaya bahasa eksperimental dan penuh simbol, penyair menghadirkan potret dunia yang kehilangan arah moral, di mana manusia berjalan dalam kegelapan batin yang mereka ciptakan sendiri.
Melalui kekuatan imaji dan majas yang kompleks, puisi ini menyuarakan kerinduan akan terang kesadaran, sekaligus mengingatkan kita bahwa di balik “gelap”, selalu ada peluang bagi manusia untuk menemukan kembali makna hidupnya.
Karya: P. Sengodjo
Biodata P. Sengodjo:
- P. Sengodjo (nama sebenarnya adalah Suripman) lahir di Desa Gatak, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, pada tanggal 25 November 1926.
- Dalam dunia sastra, Suripman suka menggunakan nama samaran. Kalau menulis puisi atau sajak, ia menggunakan nama kakeknya, yaitu Prawiro Sengodjo (kemudian disingkat menjadi P. Sengodjo). Kalau menulis esai atau prosa, ia menggunakan nama aslinya, yaitu Suripman. Kalau menulis cerpen, ia juga sering menggunakan nama aslinya Suripman, tapi kadang-kadang menggunakan nama samaran Sengkuni (nama tokoh pewayangan).
