Oleh Nahdia Aisyah Rasyanti
Soto kering atau toring—begitu orang Klaten menyebutnya, merupakan hidangan yang selalu menghadirkan rasa akrab setiap kali disantap. Meski tampilannya sederhana dan tidak menampilkan kuah melimpah seperti soto pada umumnya, toring justru menyimpan keunikan yang membuatnya mudah diingat. Bagi yang baru melihat, sajian ini mungkin tampak seperti sepiring nasi dengan suwiran daging dan sayuran. Namun begitu mencicipinya, karakter khas toring langsung terasa dan sulit disamakan dengan soto mana pun.
| Sumber: lifestyle.bisnis.com |
Keunikan utama toring terlihat dari cara penyajiannya. Hidangan ini disajikan di piring, bukan mangkuk, dengan kuah yang hanya digunakan sedikit, sekadar membasahi bumbu agar lebih meresap. Komposisinya sederhana namun tertata rapi: nasi hangat, kecambah segar, suwiran ayam atau babat, seledri, dan bawang goreng yang memberi aroma khas. Yang membuatnya berbeda adalah tambahan kecap asin, yang menjadi elemen penting dalam penyajian toring. Kecap inilah yang memberi sentuhan gurih halus sekaligus aroma yang langsung tercium begitu piring diletakkan di meja.
Rasa, Tekstur, dan Pengalaman yang Menyatu
Walau tampil “kering”, toring tetap membawa cita rasa soto yang familiar. Ketika nasi diaduk, aromanya langsung naik—paduan bawang putih, bawang merah, rempah halus, dan kaldu ringan. Karena tidak terendam kuah berlebih, racikan bumbu terasa lebih menempel dan tidak hilang di antara suapan.
Pengalaman menyantapnya pun memiliki ciri tersendiri. Saat sendok meraup nasi, terdengar kres lembut dari bawang goreng. Suapan pertama menghadirkan rasa gurih yang langsung terasa tanpa perlu menunggu kuah menyebar. Suwiran daging memberi kelembutan, kecambah menambah kesegaran, dan nasi hangat menjaga kenyamanan di setiap gigitan. Teksturnya pun stabil hingga akhir: tidak lembek, tidak mengumpal, dan tidak berubah rasa meski dibiarkan beberapa waktu.
Ada sensasi hangat yang muncul tanpa dominasi kuah. Suapan-suapan ringan terasa akrab, seperti menikmati masakan rumah yang sederhana tetapi selalu dirindukan. Kecap asin yang menjadi ciri khas penyajiannya memberikan lapisan rasa yang halus namun signifikan—menambah gurih tanpa membuat hidangan terasa berat.
Berbeda dari Soto Kuah, Tetapi Tetap Memiliki Jiwa yang Sama
Meskipun bahan dasar toring serupa dengan soto kuah, pengalaman bersantap keduanya tidak bisa disamakan. Soto kuah menawarkan hangatnya air kaldu yang bisa diseruput perlahan, memberi sensasi segar dan menenangkan. Sebaliknya, toring memberikan rasa gurih yang lebih tegas sejak suapan pertama, karena tidak ada kuah yang mengalihkan perhatian dari bumbunya.
Toring juga unggul dari sisi kepraktisan. Hidangan ini tetap nikmat meski tidak disantap langsung setelah dibuat. Tekstur nasi tidak berubah, bumbu tetap meresap, dan rasa tidak kehilangan karakter utamanya. Inilah yang membuat toring sering dipilih sebagai makanan yang mudah dibawa pulang, dimakan kapan saja, dan tetap memuaskan.
Kesederhanaan toring bukan sekadar gaya penyajian, tetapi menjadi bagian dari keistimewaannya. Tidak ada komponen yang berlebihan, tetapi setiap unsur menyatu harmonis. Toring menghadirkan rasa yang ramah, gurih, dan melekat di ingatan—sebuah hidangan yang memberi kenyamanan tanpa perlu sesuatu yang rumit, dan selalu membuat siapa pun ingin kembali menikmatinya.
Biodata Penulis:
Nahdia Aisyah Rasyanti saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Pendidikan Ekonomi, di Universitas Sebelas Maret.