Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Antara Lumpur yang Mereka Sisakan (Karya Rizal De Loesie)

Puisi “Di Antara Lumpur yang Mereka Sisakan” bercerita tentang bencana banjir dan longsor yang menghantam pemukiman rakyat kecil.

Di Antara Lumpur yang Mereka Sisakan

(untuk Aceh, Sumut dan Sumbar)

Tidak ada yang benar-benar menjawab
ketika air naik perlahan
ke ambang pintu rumah-rumah kecil itu.
Orang-orang hanya menatap,
seperti menunggu sesuatu
yang sebenarnya sudah lama mereka tahu,
tapi takut berucap

Di bukit atas sana,
pohon-pohon tumbang
tanpa pernah sempat berpamitan.
Tanah dikeruk,
seolah dunia ini hanya sekadar halaman belakang
yang boleh dibongkar kapan saja.
Semua itu kerja siapa?
Kita pura-pura tidak tahu
atau mungkin mereka yang pura-pura lupa.

Dan ketika sungai membawa
apa saja yang ditinggalkan tangan-tangan serakah,
rakyat kecil sibuk menyelamatkan 
perabot yang tak semahal gedung-gedung kaca,
tapi jauh lebih berarti
karena dibeli dari hidup yang pelan.

Di televisi,
wajah-wajah rapi berbicara tentang musibah
dengan nada datar,
seakan bukan mereka
yang pertama kali membubuhkan tandatangan
yang mengubah hutan menjadi peluang.

Kadang, angin membawa bau tanah basah
yang seperti menegur: 
“Lihatlah siapa yang sebenarnya runtuh.”
Tapi mereka tetap duduk di kursi tinggi,
mengurus bencana
seolah bencana itu datang
tanpa pernah mengetuk pintu mereka dulu.

Sementara itu,
rakyat menjemur pakaian
yang belum kering sejak kemarin,
menata ulang hidup
yang tidak pernah mereka porak-porandakan.

Malam tiba perlahan.
Dari kejauhan, suara air
masih mencari jalan keluar.
 
Dan aku berpikir,
jika bumi suatu hari menolak
apa yang kita lakukan padanya, 
barangkali itu bukan amarah
melainkan sekadar cara bumi
mengambil napas dari semua ini.

Bandung, 2 Desember 2025

Analisis Puisi:

Puisi “Di Antara Lumpur yang Mereka Sisakan” merupakan sebuah potret kritis tentang bencana ekologis dan ketidakadilan sosial yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, khususnya seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang berulang kali dilanda banjir bandang, longsor, dan kerusakan lingkungan. Dengan gaya tutur yang lugas namun penuh lirisme, Rizal De Loesie mengajak pembaca menyaksikan kenyataan pahit: bahwa di balik bencana yang melanda rakyat kecil, selalu ada jejak tangan-tangan serakah yang berpura-pura tidak bersalah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial dan ekologis. Penyair menyoroti hubungan antara eksploitasi lingkungan, ketidakadilan struktural, serta dampaknya terhadap kehidupan rakyat kecil. Tema tambahan yang muncul ialah kemunafikan kekuasaan, kerusakan hutan, dan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi bencana yang sebenarnya buatan manusia.

Puisi ini bercerita tentang bencana banjir dan longsor yang menghantam pemukiman rakyat kecil. Air “naik perlahan ke ambang pintu”, menjadi pertanda bahwa bencana sedang terjadi, namun tidak ada yang bisa menjawab mengapa ini terus berulang. Melalui penuturan yang tenang tetapi tajam, penyair menunjukkan bahwa kerusakan ini berasal dari bukit-bukit yang digunduli, pohon-pohon yang tumbang tanpa sempat “berpamitan”, dan tanah yang “dikeruk” atas nama peluang ekonomi.

Sementara rakyat kecil sibuk menyelamatkan sedikit harta benda, para pemegang kuasa tampil dengan wajah rapi di televisi, berbicara tentang musibah seolah tangan mereka tidak pernah “membubuhkan tandatangan” yang memicu kerusakan tersebut.

Puisi ini menjadi saksi perjalanan air yang tidak lagi menemukan jalannya karena habitat alaminya telah dihancurkan.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat dalam puisi ini antara lain:
  1. Bencana alam bukan murni alamiah, melainkan hasil dari kegiatan manusia, terutama yang didorong oleh keserakahan ekonomi.
  2. Ada kepura-puraan kolektif, baik di kalangan masyarakat maupun pejabat, yang enggan mengakui penyebab sebenarnya dari bencana.
  3. Rakyat kecil selalu menjadi korban paling berat, karena mereka tidak punya kuasa untuk mencegah perusakan alam.
  4. Bumi tidak membalas dengan amarah, tetapi “mengambil napas” — sebuah metafora bahwa kerusakan akan memberi dampak balik yang tak terhindarkan bagi manusia.
  5. Penguasa memiliki wajah ganda, tampil simpatik di depan kamera tetapi ikut melegitimasi perusakan lingkungan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah muram, getir, dan penuh kritik, namun tetap diwarnai nada kontemplatif. Ada nuansa perenungan yang dalam dan keheningan tragis: suara air yang terus mengalir, rakyat yang menjemur pakaian, angin yang membawa bau tanah basah — semua membangun suasana kesedihan yang tenang namun menggigit.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan moral yang dapat ditangkap antara lain:
  1. Jangan merusak hutan dan alam, karena kerusakannya akan kembali kepada manusia dalam bentuk bencana.
  2. Penguasa harus bertanggung jawab, dan tidak boleh berpura-pura bersih dari kesalahan.
  3. Kejujuran ekologis penting untuk masa depan, karena bencana tidak pernah datang tiba-tiba; ia lahir dari keputusan yang salah.
  4. Rakyat kecil harus dilindungi, bukan hanya dijadikan objek simpati di depan kamera.
  5. Bumi memiliki batas kesabaran, dan manusia harus menghentikan siklus eksploitasi yang mempercepat keruntuhannya.

Imaji

Puisi ini sangat kaya imaji, terutama imaji visual, auditori, dan penciuman:

Imaji visual
  • “air naik perlahan / ke ambang pintu”
  • “pohon-pohon tumbang”
  • “rakyat menjemur pakaian / yang belum kering”
  • “gedung-gedung kaca”
Imaji auditori
  • “dari kejauhan, suara air / masih mencari jalan keluar”
Imaji penciuman
  • “bau tanah basah / yang seperti menegur”
Imaji ini membentuk lanskap bencana yang realistis sekaligus simbolis.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas:

Personifikasi
  • “pohon-pohon tumbang / tanpa pernah sempat berpamitan”
  • “tanah dikeruk, / seolah dunia ini hanya sekadar halaman belakang”
  • “bau tanah basah / yang seperti menegur”
  • “suara air / masih mencari jalan keluar”
Metafora
  • “dunia ini… halaman belakang” → metafora eksploitasi tanpa batas
  • “bumi… mengambil napas” → metafora pemulihan diri dari kerusakan
Sarkasme
  • “wajah-wajah rapi berbicara tentang musibah” → kritik tajam terhadap pejabat.
Puisi “Di Antara Lumpur yang Mereka Sisakan” bukan sekadar kritik ekologis, tetapi juga potret luka sosial yang terus terjadi. Melalui bahasa yang jernih dan penuh kekuatan imaji, Rizal De Loesie mengingatkan kita bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam, melainkan juga cermin perilaku manusia. Dalam keheningan air yang mencari jalan keluar, kita mendengar suara bumi yang memohon perlindungan — dan suara rakyat kecil yang selalu menjadi korban atas pilihan yang bukan mereka buat.

Rizal De Loesie
Puisi: Di Antara Lumpur yang Mereka Sisakan
Karya: Rizal De Loesie

Biodata Rizal De Loesie:
  • Rizal De Loesie (nama pena dari Drs. Yufrizal, M.M) adalah seorang ASN Pemerintah Kota Bandung. Penulis puisi, cerpen dan artikel pendidikan. Telah menerbitkan beberapa buku puisi solo dan puisi antologi bersama, serta cerita pendek.
© Sepenuhnya. All rights reserved.