Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Luka yang Mereka Tutupi dengan Jas Rapi (Karya Rizal De Loesie)

Puisi “Luka yang Mereka Tutupi dengan Jas Rapi” adalah kritik tajam terhadap kerusakan lingkungan dan pemangku kebijakan yang menutup-nutupi ...

Luka yang Mereka Tutupi dengan Jas Rapi

(Untuk Aceh, Sumut dan Sumbar)

Bencana itu
tidak jatuh dari langit.
Ia merembes pelan
dari celah-celah keputusan,
dari meja rapat
yang terlalu sering terkunci
dari bau tanah.

Kadang aku heran,
bagaimana mungkin mereka bicara
tentang keselamatan,
padahal hutan saja
tak pernah mereka dengar napasnya.

Sungai mengerang—
bukan banjir,
lebih seperti tubuh tua
yang dipaksa menelan limbah
dan diam.
Selalu diam.
Seperti rakyat
yang sudah kehabisan kata.

Lalu datanglah air itu.
Tak peduli malam atau pagi,
langsung menerobos pintu
dan menyeret apa pun
yang lebih ringan dari harapan.

Dan di gedung kaca,
seseorang menghela napas
seolah ini kejutan.
Tuhan dipanggil,
padahal yang mereka sembunyikan
bukan doa
melainkan kontrak.

Aku tidak percaya
pada wajah-wajah yang bersih itu,
terlalu bersih
untuk tangan yang pernah
menghapus pohon tanpa rasa bersalah.

Kadang angin lewat
membawa bau lumpur yang pahit,
dan aku berpikir,
jika bumi akhirnya meledak,
itu bukan murka
itu muntah. Mereka muak…….

Bandung, 2 Desember 2025

Analisis Puisi:

Puisi “Luka yang Mereka Tutupi dengan Jas Rapi” merupakan kritik sosial dan ekologis yang kuat. Dengan bahasa yang tajam, puitis, sekaligus sarat kemarahan yang tertahan, penyair menghadirkan gambaran luka ekologis yang disebabkan bukan oleh alam itu sendiri, melainkan oleh manusia—terutama mereka yang memegang kekuasaan dan kekayaan. Puisi ini menjadi suara bagi mereka yang diam, bagi sungai dan hutan yang kehilangan napasnya, serta bagi rakyat yang kelelahan menanggung akibat keputusan yang tidak memihak kehidupan.

Tema

Tema dalam puisi ini mengarah pada kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian dan keserakahan manusia, terutama oleh mereka yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan. Tema ini juga menyentuh aspek ketidakadilan ekologis, yaitu ketika rakyat dan alam menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan.

Tema lainnya adalah kritik moral: kemunafikan pejabat, ironinya pembangunan, dan luka-luka yang disamarkan oleh penampilan rapi dan citra bersih.

Puisi ini bercerita tentang bagaimana bencana alam yang terjadi—seperti banjir atau longsor—bukanlah kejadian yang tiba-tiba, bukan juga semata-mata “takdir langit”, melainkan buah dari keputusan manusia yang abai. Penyair menggambarkan pertemuan-pertemuan pejabat yang tidak pernah dekat dengan tanah, hutan yang tidak pernah didengarkan napasnya, serta sungai yang sakit karena dipaksa menelan limbah.

Ketika bencana benar-benar terjadi, rakyatlah yang menanggung akibatnya, sementara mereka yang memakai jas rapi memamerkan wajah prihatin seolah tidak menjadi bagian dari penyebabnya.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat mendalam dan penuh sindiran:
  1. Bencana lingkungan bukanlah “musibah alam” sepenuhnya, melainkan hasil dari eksploitasi tanah, hutan, dan sungai.
  2. Pejabat yang terlihat bersih belum tentu memiliki tangan yang bersih. Penampilan rapi tidak bisa menyembunyikan kontrak-kontrak yang merusak bumi.
  3. Alam menanggung luka akibat keputusan manusia, dan ketika ia “meledak” atau “muntah”, itu adalah bentuk protes, bukan kemarahan buta.
  4. Rakyat sudah terlalu lelah untuk mengeluh, karena suara mereka sering tidak didengar.
  5. Kerusakan ekologis adalah tragedi moral, bukan sekadar persoalan teknis.
Puisi ini mengajak pembaca menyelami bahwa kerusakan lingkungan adalah cermin dari kerusakan etika manusia.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah:
  • muram,
  • penuh kemarahan tertahan,
  • sinis,
  • pahit,
  • kritikal,
  • dan bermuatan rasa getir terhadap keadaan sosial.
Ada ketegangan antara kesedihan dan kemuakan, diperkuat oleh citra alam yang sakit dan pejabat yang berpura-pura tak bersalah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang tersampaikan dalam puisi ini antara lain:
  1. Jagalah alam sebelum ia “muntah” akibat ulah manusia.
  2. Jangan menganggap bencana sebagai kejutan, sebab banyak di antaranya adalah hasil eksploitasi dan ketamakan.
  3. Pejabat atau pemegang kuasa seharusnya mendengar suara alam dan rakyat, bukan hanya angka-angka dalam rapat.
  4. Kebenaran ekologis tidak bisa disembunyikan oleh jas rapi, meja rapat, atau citra bersih.
  5. Jika manusia terus melukai bumi, ia akan balik memuntahkan rasa muaknya.
Puisi ini merupakan seruan moral agar kita tidak menutup-nutupi kerusakan yang jelas terlihat.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual, imaji alam, dan imaji emosional, antara lain:
  • “Sungai mengerang… tubuh tua yang dipaksa menelan limbah” – imaji antropomorfis yang menggambarkan penderitaan alam.
  • “Air itu ... menerobos pintu” – imaji banjir yang datang tanpa kendali.
  • “Wajah-wajah yang bersih… tangan yang pernah menghapus pohon” – imaji kontras antara citra dan kenyataan.
  • “Angin lewat membawa bau lumpur yang pahit” – imaji penciuman yang menghidupkan suasana bencana.
Imaji tersebut memperkuat kritik yang ingin disampaikan penyair dan membuat pembaca merasakan langsung luka ekologis itu.

Majas

Beberapa majas yang tampak jelas dalam puisi ini:

Personifikasi
  • “Sungai mengerang”
  • “hutan… napasnya”
  • “bumi akhirnya meledak… itu muntah”
Alam diperlakukan seperti tubuh dan makhluk hidup yang bisa merasakan sakit, muak, dan lelah.

Metafora
  • “Bencana itu / tidak jatuh dari langit” → metafora bahwa bencana disebabkan oleh keputusan manusia.
  • “Luka yang mereka tutupi dengan jas rapi” → metafora kemunafikan dan penyembunyian kesalahan.
  • “Tubuh tua ... menelan limbah” → metafora bagi sungai atau lingkungan yang dipaksa menanggung pencemaran.
Ironi
  • “Mereka bicara / tentang keselamatan, / padahal hutan saja / tak pernah mereka dengar napasnya.”
  • “Seseorang menghela napas / seolah ini kejutan.”
Penyair menyoroti ketidakselarasan antara ucapan pejabat dan tindakan mereka.

Hiperbola
  • “Jika bumi akhirnya meledak, / itu bukan murka, / itu muntah.” Penggambaran kuat untuk menekankan penderitaan bumi.
Puisi “Luka yang Mereka Tutupi dengan Jas Rapi” adalah kritik tajam terhadap kerusakan lingkungan dan pemangku kebijakan yang menutup-nutupi kontribusi mereka terhadap bencana. Dengan permainan imaji dan majas yang kuat, Rizal De Loesie menegaskan bahwa bumi tidak rusak dengan sendirinya—kitalah yang melukainya. Ketika alam akhirnya bereaksi, itu bukan kemarahan buta, melainkan bentuk kejujuran yang tidak bisa ditutupi oleh jas rapi atau kata-kata manis.

Rizal De Loesie
Puisi: Luka yang Mereka Tutupi dengan Jas Rapi
Karya: Rizal De Loesie

Biodata Rizal De Loesie:
  • Rizal De Loesie (nama pena dari Drs. Yufrizal, M.M) adalah seorang ASN Pemerintah Kota Bandung. Penulis puisi, cerpen dan artikel pendidikan. Telah menerbitkan beberapa buku puisi solo dan puisi antologi bersama, serta cerita pendek.
© Sepenuhnya. All rights reserved.