Puisi: Membaca Bahasa Gaduh (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Membaca Bahasa Gaduh" mengajak pembaca untuk merenungkan keramaian hidup, baik dalam konteks sosial maupun batin. Diah Hadaning menyajikan ....
Membaca Bahasa Gaduh


Berujar tak pada siapa
melepas malam menerka waktu
malam gaduh di kota-kota
kota gaduh di rumah-rumah
rumah gaduh di jiwa-jiwa
lalu terdengar suara tua
bicara tentang kesaksian akhir abad
terbayang tanah gersang berdarah di ujung belati
luka-luka memasir busuk di teluk-teluk

Jika penembang, tembangku gaduh
jika pendoa, doaku gaduh
jika perindu, rinduku gaduh
jika pemimpi, mimpiku gaduh
betapa rindu hening yang bukan sepi
tak dikoyak raung mikrofon pagi
seseorang coba memaknai abad baru
lepas dari tafsir-tafsir sungsang
lepas dari hasrat-hasrat grangsang

Barangkali:
melati kembali putih bukan dalih
mawar kembali merah bukan darah
suwung jadi rumah dalih jadi sumpah
deras hujan basuh musim tak banjir
deras dzikir usap pikir tak pandi
deras dakur jaga syukur tak hancur
kalau saja tak lagi bahasa gaduh
berujar tak pada siapa.


Cimanggis, September 2004

Analisis Puisi:
Puisi "Membaca Bahasa Gaduh" karya Diah Hadaning menggambarkan keramaian dan kegaduhan yang melibatkan berbagai lapisan kehidupan, dari tingkat kota hingga kedalaman jiwa. Penyair merangkai kata-kata dengan indah untuk menyampaikan pesan tentang kompleksitas zaman dan kerinduan akan keheningan yang sejati.

Gambaran Kegaduhan Kota: Penyair membuka puisi dengan gambaran malam yang gaduh di kota-kota. Deskripsi tentang "rumah gaduh di jiwa-jiwa" mencerminkan bahwa kegaduhan bukan hanya sekadar fenomena fisik di sekitar kita, tetapi juga dapat meresap ke dalam batin individu.

Narasi Tua tentang Abad: Suara tua yang diceritakan dalam puisi membawa pembaca ke persaksian akhir abad. Ada sentuhan sejarah yang melibatkan tanah gersang berdarah dan luka-luka memasir busuk, memberikan nuansa kesedihan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat.

Kegaduhan Pribadi dan Batin: Setiap elemen kehidupan individu, seperti penembang, pendoa, perindu, dan pemimpi, turut merasakan kegaduhan. Puisi mengeksplorasi ragam keinginan, rindu, dan impian yang sering kali tumpang tindih, menciptakan hiruk-pikuk kehidupan pribadi.

Rindu Hening yang Bukan Sepi: Penyair menyatakan rindu terhadap "hening yang bukan sepi." Puisi mengisyaratkan bahwa keheningan yang diidamkan bukanlah ketiadaan suara, melainkan keseimbangan dan kedamaian di tengah kehidupan yang penuh kegaduhan.

Makna Simbolis Bunga dan Alam: Penyair menggunakan gambaran melati, mawar, dan suwung dengan muatan simbolis yang kuat. Ini bisa mencerminkan harapan akan kebaikan dan kembali ke fitrah alam yang suci, yang diinginkan oleh masyarakat yang lelah dengan kegaduhan.

Perubahan Bahasa Gaduh: Penutup puisi mengusulkan bahwa, barangkali, melalui perubahan bahasa, kegaduhan dapat diatasi. Menciptakan kembali bahasa yang bersih dari kegaduhan dapat membawa perubahan dan transformasi menuju keadaan yang lebih tenang.

Puisi "Membaca Bahasa Gaduh" mengajak pembaca untuk merenungkan keramaian hidup, baik dalam konteks sosial maupun batin. Diah Hadaning menyajikan gambaran yang kuat dan puitis tentang kompleksitas kehidupan modern serta keinginan akan keheningan yang bermakna. Puisi ini merangsang pemikiran dan menyentuh perasaan pembaca, menjadikannya karya sastra yang mendalam dan relevan.

"Puisi: Membaca Bahasa Gaduh (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Membaca Bahasa Gaduh
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.