Puisi: Jakarta Echo (Karya Beni Setia)

Puisi: Jakarta Echo Karya: Beni Setia
Jakarta Echo (1)


Ini adalah blues - irama perih
perbudakan, kesengsaraan tiada
batas yang nyaris tanpa akhir.

Ini adalah blusukan - dangdutan
dengan banyak mabuk, hiburan
mimpi siang bolong, dan jogetan
blusukan saat macet atau banjir.


Jakarta Echo (2)


Setiap yang hidup pasti
akan mati, maka
belajar berserah diri. Tawakal.

Setiap korupsi pasti
akan disergap KPK, maka
banyak senyum bila ditangkap.


Jakarta Echo (3)


Apa ketika kampanye, ketika
pilkada: orang boleh bilang
apa saja, meski itu hoax?

Apa demi bea kampanye, ketika
pilkada: orang boleh berbuat
apa saja. Termasuk korupsi?


Jakarta Echo (4)


Bila musim penghujan
selalu sesuai jadwal: kenapa
limpasan air tak tertampung palung
sungai, yang dangkal karena abrasi?

Menyempit dan mendangkal. Air
tergenang! Apa itu salah hujan,
mal-planologi pemukiman, atau sebab
target membangun yang turap gagal?

: apa itu karena enggan
menggusur, apa karena
melipat dana penggusuran?


Jakarta Echo (5)


Dengan e-KTP, meski
tanpa surat undangan nyoblos,
sebagai penduduk terdaftar. Legal:
kita bisa memilih - bebas nyoblos

- atau mereka ingin dipotong?

Dan seperti kartu debit,
dengan itu kita bisa menarik
uang tunai, bungkusan sembako
serta tidak melulu uang transpor

- semua gratis diuruskan orang.


2017

Analisis Puisi:
Puisi "Jakarta Echo" karya Beni Setia adalah pengamatan yang tajam dan kritis terhadap kota Jakarta serta realitas sosial yang terjadi di dalamnya. Dalam puisi ini, penulis menggunakan bahasa yang lugas namun penuh makna untuk menggambarkan berbagai aspek kehidupan di ibu kota Indonesia.

Pada awal puisi, penulis memperkenalkan atmosfer blues, irama perih yang menjadi simbol dari perbudakan dan kesengsaraan tanpa batas. Ia mengungkapkan bahwa dalam konteks kota Jakarta, hidup sering kali terasa penuh tekanan dan penderitaan yang tampaknya tidak ada habisnya.

Namun, di tengah kenyataan tersebut, penulis juga menyinggung tentang blusukan, sebuah tradisi di mana seseorang berkeliling dan merasakan berbagai sisi kota. Di sini, terdapat sentuhan hiburan, mimpi-mimpi yang datang di siang bolong, dan jogetan yang terjadi saat macet atau banjir. Blusukan menjadi gambaran tentang bagaimana masyarakat Jakarta mencari hiburan dan kesenangan dalam situasi yang sulit.

Puisi ini juga menyoroti tema kematian dan korupsi. Penulis mengingatkan bahwa setiap yang hidup pasti akan mati, dan ia menekankan pentingnya untuk belajar berserah diri dan tawakal. Selain itu, korupsi juga menjadi bahasan yang disorot, dengan menyebutkan bahwa setiap tindakan korupsi pasti akan disergap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan masyarakat seharusnya bersikap senang ketika penjahat korupsi ditangkap.

Beni Setia juga mengangkat isu politik dan pilihan rakyat dalam puisinya. Ia menanyakan apakah saat kampanye dan pemilihan kepala daerah, orang diperbolehkan mengatakan apa saja, termasuk menyebarkan hoaks. Selain itu, ia juga menyoroti fenomena politik uang, di mana dalam pemilihan, orang diperbolehkan melakukan berbagai tindakan termasuk korupsi demi kepentingan kampanye.

Selanjutnya, penulis membahas isu lingkungan dan infrastruktur kota. Ia menggambarkan ketidaksesuaian antara musim hujan yang datang sesuai jadwal dengan ketidakmampuan sistem penampungan air sungai yang dangkal karena abrasi. Pertanyaannya kemudian mengarah pada apakah ini terjadi karena kelalaian dalam perencanaan pemukiman atau karena kegagalan dalam pembangunan infrastruktur yang diharapkan dapat menangani limpasan air.

Dalam puisi ini, juga terdapat pembahasan tentang kartu identitas elektronik (e-KTP) dan hak memilih. Penulis menyampaikan bahwa dengan e-KTP, seseorang dijamin memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan umum meskipun tanpa surat undangan. Namun, ia juga menanyakan apakah ada upaya untuk membatasi atau memotong hak-hak tersebut.

Puisi "Jakarta Echo" memberikan gambaran tentang kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh penduduk Jakarta. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Beni Setia mengajak pembaca untuk merenung tentang realitas sosial, politik, dan lingkungan yang ada di ibu kota Indonesia. Puisi ini mengajak kita untuk melihat dengan kritis dan bertindak dalam memperbaiki situasi yang ada untuk menciptakan perubahan yang lebih baik.

Beni Setia
Puisi: Jakarta Echo
Karya: Beni Setia

Biodata Beni Setia:
  • Beni Setia lahir pada tanggal 1 Januari 1954 di Soreang, Bandung Selatan, Jawa Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.