Puisi: Ibu di Atas Debu (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Ibu di Atas Debu" karya W.S. Rendra mengajak pembaca untuk merenungkan sejarah, perubahan sosial-politik, dan perasaan individu dalam ....
Ibu di Atas Debu


Perempuan tua yang termangu
teronggok di tanah berdebu.
Wajahnya bagai sepatu serdadu.
Ibu! Ibu!
Kenapa kamu duduk di situ?
Kenapa kamu termangu?
Apakah yang kamu tunggu?

Jakarta menjadi lautan api.
Mayat menjadi arang.
Mayat hanyut di kali.
Apakah kamu tak tahu
di mana kini putramu?

Perempuan tua yang termangu
sendiri sepi mengarungi waktu
kenapa kamu duduk di situ?
Ibu! Ibu!
Di mana rumahmu?
Di mana rumahmu?
Di mana rumah Hukum?
Di mana rumah Daulat Rakyat?
Di mana gardu jaga tentara
yang mau melindungi rakyat tergusur?
Di mana pos polisi
yang mau membela para petani
dari pemerasan pejabat desa?

Ibu! Ibu!
Kamu yang duduk termangu
terapung bagai tempurung di samudra waktu
berapa lama sudah kamu duduk di situ?
Berapa hari? Berapa minggu? Berapa bulan?
Berapa puluh tahun
kamu termangu di atas debu?
Apakah yang kamu harapkan?
Apakah yang kamu nantikan?
Apakah harapan pensiun guru di desa?
Apakah harapan tunjangan tentara
yang kehilangan satu kakinya?
Siapa yang mencuri laba dari rotan di hutan?
Siapa yang menjarah kekayaan lautan?

Ibu! Ibu!
Dari mana asalmu?
Apakah kamu dari Ambon?
Dari Aceh? Dari Kalimantan?
Dari Timor Timur? Dari Irian?
Nusantara! Nusantara!
Untaian zamrud tenggelam di lumpur!
Pengantin yang koyak dandanannya
dicemarkan tangan asing
tergolek di kebun kelapa kaya raya.

Indonesia! Indonesia!
Kamu lihatkah itu ibu kita?
Duduk di situ. Teronggok di atas debu.
Tak jelas menatap apa.
Mata kosong tetapi mengandung tuntutan.
Terbatuk-batuk.
Suara batuk.
Seperti ketukan lemah di pintu.
Tapi mulutnya terus membisu.

Indonesia! Indonesia!
Dengarlah suara batuk itu.
Suara batuk ibu itu.
Terbatuk-batuk.
Suara batuk.
Dari sampah sejarah
yang hanyut di kali.


5 Juni 1998
Pesawat Mandala, Jakarta - Ujung Pandang

Sumber: Doa untuk Anak Cucu (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Ibu di Atas Debu" karya W.S. Rendra adalah karya yang penuh dengan makna sosial dan refleksi atas kondisi sosial-politik Indonesia. Dalam puisi ini, penyair menghadirkan gambaran seorang perempuan tua yang termangu di tengah-tengah kehancuran dan perubahan zaman.

Simbolisme Perempuan Tua: Perempuan tua yang menjadi tokoh utama dalam puisi ini dapat dianggap sebagai simbol dari generasi yang lebih tua di Indonesia. Mereka yang mungkin telah mengalami berbagai peristiwa sejarah penting, termasuk masa penjajahan dan perjuangan kemerdekaan.

Kehancuran Jakarta: Puisi ini merujuk pada Jakarta yang menjadi lautan api dan mayat yang menjadi arang. Ini mencerminkan masa-masa konflik dan ketidakstabilan yang pernah dialami oleh ibu kota Indonesia. Penyair menggambarkan ketidakstabilan ini sebagai penghancuran kota.

Kesendirian Ibu Tua: Puisi ini menggambarkan kesendirian perempuan tua tersebut. Dia duduk termangu, sendiri, dan terapung di tengah-tengah zaman yang berubah. Ini mencerminkan perasaan kesepian dan kebingungannya mengenai perubahan yang sedang terjadi.

Pertanyaan Penyair: Penyair mengajukan sejumlah pertanyaan kepada perempuan tua tersebut, seperti mengapa dia duduk di sana, apa yang dia tunggu, dan di mana rumahnya. Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan rasa ingin tahu dan ketidakmengertian atas keadaan yang sedang terjadi.

Pencarian Identitas Nasional: Penyair juga mencari tahu asal-usul perempuan tua tersebut, bertanya dari mana dia berasal. Ini mencerminkan usaha untuk menggali dan memahami akar budaya dan sejarah nasional Indonesia.

Penyair sebagai Saksi Sejarah: Puisi ini menggambarkan penyair sebagai saksi sejarah yang ingin memahami dan merekam peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah bangsanya. Dia mencoba mengungkapkan rasa prihatin atas perubahan sosial-politik yang mengubah nasib Indonesia.

Suara Rakyat: Puisi ini mencerminkan suara dan perasaan rakyat yang mungkin merasa kebingungan dan terabaikan dalam perubahan zaman. Suara perempuan tua tersebut, terutama dalam bentuk suara batuknya yang terus-menerus, mewakili suara-suaranya yang tidak terdengar.

Perasaan Tertinggal: Puisi ini juga mencerminkan perasaan tertinggal atau terpinggirkan yang mungkin dialami oleh sebagian masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari perubahan zaman dan pembangunan.

Puisi "Ibu di Atas Debu" adalah karya sastra yang mengajak pembaca untuk merenungkan sejarah, perubahan sosial-politik, dan perasaan individu dalam konteks perubahan zaman. Ia mengingatkan kita untuk tidak melupakan akar budaya dan sejarah kita serta merasakan empati terhadap mereka yang mungkin terpinggirkan oleh perubahan zaman tersebut.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Ibu di Atas Debu
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.