Puisi: Renungan Tua (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Renungan Tua" menggambarkan perasaan tak berdaya dalam menghadapi perubahan zaman, bencana alam, dan perubahan sosial.
Renungan Tua (1)


Laut temaram
muram di bawah hujan
perahu sepi
mengapung sendiri
jauh pesisir
dari taksir
ada yang menggelepar
di kota bandar
sementara semak bakau
hilang dari rawa pesisir
saat pulau kecil hendak dilangsir
renungan bencana
laut dan darat sepi.

Telah diminum air kembang waru
telah dikulum daun dewa
sepotong kayu manis dan buah pala
cengkeh tujuh biji pengharum aroma
telah dilantunkan doa-doa
sampai semarak kata di para-para
kursi semakin rapuh
dari subuh ke subuh
alam semesta yang ibu
telah menghukum pelanggar tabu
renungan mengabu.


Renungan Tua (2)


Umur-umur terus bergulir
mengantar jaman anyir
orang-orang merunduk pada sang pandir
jaman telah berubah
bendera dalam jiwa berwarna putih merah
O, kini gaman mencari tuannya
tiap mimis jadi bumerang
mengirim tangis jadi gerimis
tanah perdikan semakin amis
tersandar di ruang kosong doa kepompong.

Kota-kota semakin gaduh
jiwa-jiwa semakin melempuh
seorang perempuan sisa peradaban
menimang bayi kering di pangkuan
tembangnya mengiris sisa rembulan 
beraksi dalam hati bergerigi
ada harap tak sembunyi dari pijar
ada mimpi tak berhenti dari fajar
sementara peradaban mencari muara
perlahan menuju arah balik purba.


Bogor, September 2000

Analisis Puisi:
Puisi "Renungan Tua" karya Diah Hadaning adalah sebuah karya yang menyentuh dan merenungkan. Puisi ini terdiri dari dua bagian, masing-masing memberikan pandangan yang mendalam tentang perubahan zaman, bencana alam, dan peradaban yang berubah.

Renungan Tua (1)

Puisi dimulai dengan gambaran laut yang temaram dan muram di bawah hujan. Laut yang sunyi dan perahu yang mengapung sendiri adalah metafora dari keheningan dan kesunyian dalam kota atau masyarakat yang telah terkena bencana. Pembaca merasa kesepian dan kesendirian di tengah-tengah kehancuran. Saat semak bakau hilang dari rawa pesisir, ini juga bisa diartikan sebagai hilangnya identitas dan akar budaya dari masyarakat. Penyebutan "renungan bencana" menunjukkan bagaimana perubahan iklim dan bencana alam telah mengubah lanskap fisik dan sosial.

Dalam bagian ini, puisi mencerminkan perasaan tak berdaya dalam menghadapi bencana alam dan perubahan lingkungan. Upacara-upacara tradisional dan doa-doa menjadi simbol upaya manusia untuk menghadapi bencana, meskipun akhirnya terdengar seperti renungan yang sia-sia.

Renungan Tua (2)

Bagian kedua dari puisi mencerminkan perubahan zaman. "Umur-umur terus bergulir" menggambarkan sifat terus berlanjutnya waktu dan perubahan yang tidak bisa dihindari. Orang-orang seakan-akan menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah, yang ditunjukkan dengan lambannya upaya mencari pandir, yang mungkin menjadi simbol kebijaksanaan dan petunjuk dalam menghadapi zaman baru.

Puisi ini menciptakan gambaran tentang perempuan yang menjadi saksi hidup peradaban yang berubah. Perempuan ini menimang bayi kering di pangkuannya, yang bisa diartikan sebagai masa depan yang rapuh yang dia tanggung di tengah perubahan dan bencana.

Puisi "Renungan Tua" menggambarkan perasaan tak berdaya dalam menghadapi perubahan zaman, bencana alam, dan perubahan sosial. Diah Hadaning berhasil mengungkapkan kerumitan perasaan dan refleksi dalam puisinya dan mengajak pembaca untuk merenungkan perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan individu di masa-masa sulit.

"Puisi: Renungan Tua (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Renungan Tua
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.