Puisi: Mesin Penghancur Dokumen (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Mesin Penghancur Dokumen" karya Afrizal Malna menggambarkan perjuangan individu dalam menghadapi kekosongan, kebingungan, dan kebosanan ...
Mesin Penghancur Dokumen

Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
 muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya
 
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi
 
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
 
kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan
 
keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang
 
menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana
 
aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.

Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan
 tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV.
 
Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk
lah di sini yang di sana. Masa kini yang di masa lalu.
 
Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah
 
kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin
 
cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah
 
aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang
 
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu.
 
Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:

“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan
 kembali lagi bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa
 
harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu
 
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
 
nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang 
mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur
 
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
 
prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang
 
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung
 
dalam mulut mayat seorang penyair.
 
Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
 
tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang
 
sendirian dalam kisah-kisahmu.

Sumber: Museum Penghancur Dokumen (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Mesin Penghancur Dokumen" karya Afrizal Malna adalah sebuah karya yang menggambarkan perjuangan individu dalam menghadapi kekosongan, kebingungan, dan kebosanan dalam kehidupan modern.

Kritik terhadap Kesendirian dan Kebosanan: Puisi ini mencerminkan kesendirian dan kebosanan yang dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-hari. Pengulangan kata "bosan" mencerminkan monotoni dan kekosongan yang dirasakan oleh individu, yang terjebak dalam rutinitas dan tuntutan masyarakat modern.

Penolakan terhadap Kebutuhan Materialistik: Penolakan tokoh terhadap tawaran makanan dan minuman menggambarkan penolakan terhadap kebutuhan materialistik dan permintaan eksternal yang tidak relevan. Tokoh menolak untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, menunjukkan prioritasnya pada kebutuhan emosional dan spiritual.

Pertentangan antara Masa Kini dan Masa Lalu: Puisi ini mengeksplorasi pertentangan antara masa kini dan masa lalu, serta konflik antara tradisi dan modernitas. Penggunaan bahasa yang tidak konvensional dan permainan kata menciptakan suasana yang tidak pasti dan kontradiktif, mencerminkan perjuangan individu dalam menavigasi dunia yang terus berubah.

Simbolisme Mesin Penghancur Dokumen: Mesin penghancur dokumen menjadi simbol dari kekuatan modernitas dan konformitas, yang mengancam untuk menghancurkan identitas dan kreativitas individu. Mesin ini juga dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari kesibukan dan tekanan dalam kehidupan modern yang dapat menghancurkan jiwa individu.

Penggunaan Bahasa dan Gaya Penulisan: Afrizal Malna menggunakan bahasa yang kompleks dan penuh dengan gambaran yang kuat, menciptakan atmosfer yang gelap dan membingungkan. Permainan kata dan penggunaan imajinatif bahasa menciptakan lapisan makna yang mendalam dan memperkuat pesan puisi.

Puisi "Mesin Penghancur Dokumen" karya Afrizal Malna adalah sebuah karya yang menyoroti perjuangan individu dalam menghadapi kesendirian, kebosanan, dan tekanan modernitas. Dengan gaya penulisan yang kompleks dan penuh dengan simbolisme, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna dan dampak dari konformitas dan tekanan dalam kehidupan kontemporer.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Mesin Penghancur Dokumen
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.