Puisi: Sandiwara (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Sandiwara" karya Sapardi Djoko Damono mempersembahkan sebuah refleksi tentang kehidupan dan drama di atas panggung, serta menyiratkan ...
Sandiwara (1)
(untuk Yudhis)

Masih ada sebuah lampu panggung menyala; jaga malam itu
tertidur, lupa mematikannya
enam ratus kursi kosong menonton sepi yang lebih perkasa
dari cicit kelelawar
beberapa mikrofon yang tergantung di panggung seperti
mendengar kalimat yang tak boleh diucapkan di
tengah-tengah para tahanan yang berteriak-teriak itu,
"Apakah sudah meyakinkan permainanku sebagai sipir
bisu ini, Paduka?"
seperti semakin lantang suaranya -

Sandiwara (2)
(
untuk Putu Wijaya
)

Mula-mula adalah seorang lelaki tua di panggung, di atas
    kursi goyang. Meja, kursi, kopi yang sudah dingin,
    lampu gantung, dan surat-surat bertebaran di lantai
    bergoyang-goyang.
Ia bergoyang sambil mengutuk beberapa nama yang tak kita
    kenal, mengejek kursi dan surat-surat itu - dan kita
    ketawa.
Mendadak ia berdiri dan masuk - dari dalam ia
    memanggil-manggil nama, tanpa sahutan. Kursi masih
    bergoyang-goyang. Tapi kenapa kita ketawa?
Bahkan ketika suaranya terdengar semakin serak dan lampu
    semakin redup - kursi itu tetap bergoyang. Kita,
    penonton, harus pulang sebelum sempat lagi ketawa.

1976

Sumber: Hujan Bulan Juni (1994)

Analisis Puisi:

Puisi "Sandiwara" karya Sapardi Djoko Damono adalah karya yang memperlihatkan kedalaman emosi dan pemikiran yang menggelitik. Puisi ini terdiri dari dua bagian yang menyoroti elemen-elemen teater dan pertunjukan, sambil merenungkan makna di baliknya.

Sandiwara (Bagian 1)

Puisi dimulai dengan gambaran sebuah panggung yang masih menyala, tetapi sepi. Lampu panggung menyala dalam kegelapan, menciptakan suasana yang menegangkan dan misterius. Enam ratus kursi kosong menjadi saksi bisu dari kesunyian yang menghiasi panggung tersebut.

Mikrofon yang tergantung di panggung menjadi saksi dari drama yang tak terungkap, drama yang mungkin penuh dengan kegelapan dan kebingungan. Puisi ini menyajikan gambaran yang sangat kuat tentang kesunyian, kekosongan, dan pertanyaan yang tak terjawab.

Kalimat terakhir puisi, yang menggambarkan suara tahanan yang berteriak-teriak, memberikan nuansa yang sangat kuat tentang ketidakpastian, kegelisahan, dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban yang pasti.

Sandiwara (Bagian 2)

Bagian kedua puisi ini menyajikan gambaran yang lebih kaya akan elemen-elemen teater. Seorang lelaki tua di panggung, dengan kursi goyangnya, menjadi simbol dari kesendirian dan keputusasaan. Ia mengutuk dan mengejek sesuatu yang tidak diketahui, sambil menarik perhatian penonton yang mungkin terpinggirkan.

Meskipun kursi bergoyang dan suasana semakin suram, penonton tetap tertawa. Ini menggambarkan bagaimana teater sering kali menggabungkan ironi dan kegelapan dengan elemen hiburan. Meskipun ada keputusasaan dan ketidakpastian di panggung, penonton tetap menemukan cahaya dalam humor.

Namun, ketika suasana semakin gelap dan suram, kursi tetap bergoyang, menggambarkan bahwa meskipun kita tertawa, kita masih dihadapkan pada kenyataan pahit dari teater kehidupan.

Dengan demikian, puisi "Sandiwara" karya Sapardi Djoko Damono mempersembahkan sebuah refleksi tentang kehidupan dan drama di atas panggung, serta menyiratkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi dan kekosongan.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Sandiwara
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.