Puisi: Sepotong Senja (Karya Acep Zamzam Noor)

Puisi "Sepotong Senja" karya Acep Zamzam Noor menggambarkan perasaan ketidakpastian, perubahan, dan refleksi dalam kehidupan seorang individu.
Sepotong Senja


Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah
Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih
Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua
Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup terbakar dalam api

Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila
Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu
Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari
Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata
Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk
Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu
Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan

Di terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya ingin membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hati
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan

Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta
Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor
Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa
Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran
Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan
Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas
Kutempel sepanjang deretan tiang. Ternyata aku tidak pernah lupa
Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu

Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh
Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh
Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil
Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi
Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba
Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara
Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana
Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga

Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina
Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih
Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya
Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih
Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah
Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu
Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya
Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna
Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum
Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu
Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi.


Analisis Puisi:
Puisi "Sepotong Senja" karya Acep Zamzam Noor adalah karya sastra yang menggambarkan perasaan perubahan, ketidakpastian, dan refleksi dalam kehidupan seorang individu. Penyair menggambarkan perasaan seorang individu yang merenungkan tentang perubahan, keraguan, dan kebingungan dalam mencari makna dalam hidup.

Perasaan Ketidakpastian dan Perubahan: Puisi ini dimulai dengan gambaran "sepotong senja kemerahan" yang diberikan oleh seseorang. Ini dapat diartikan sebagai perubahan dalam kehidupan, seperti transisi dari siang ke malam. Namun, penyair mengungkapkan ketidakmampuannya untuk mengartikan perasaan ini menjadi puisi. Hal ini mencerminkan ketidakpastian dan kompleksitas perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Simbolisme Visual: Penyair menggunakan simbolisme visual seperti "megah," "kabut," "lukisan," dan "kanal-kanal Venezia" untuk menggambarkan perasaan dan refleksi yang dihadapi oleh individu dalam puisi ini. Simbol-simbol ini memberikan dimensi artistik dan mendalam pada perasaan penyair.

Refleksi dalam Beragam Tempat: Puisi ini menggambarkan perjalanan penyair melalui berbagai tempat, seperti Mekkah, Aceh, dan Lhok Nga. Setiap tempat mewakili refleksi dan pertimbangan penyair terhadap perubahan dan harapan dalam hidupnya. Tempat-tempat ini menciptakan latar belakang emosional dan kontemplatif dalam puisi.

Pertanyaan dan Keraguan Terhadap Makna: Penyair menciptakan pertanyaan dan keraguan dalam puisi ini, seperti ketika penyair mempertanyakan makna dan tujuan dari pencarian tertentu, seperti pergi ke Aceh. Hal ini mencerminkan pertimbangan penyair terhadap pilihan hidup dan tujuan yang dikejar.

Perubahan dan Keindahan: Puisi ini menggambarkan perubahan dalam bentuk keindahan dan keragaman, seperti "payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna" dan "bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum." Ini mencerminkan keinginan penyair untuk menangkap dan mengungkapkan perubahan melalui gambaran visual yang beraneka ragam.

Puisi "Sepotong Senja" karya Acep Zamzam Noor menggambarkan perasaan ketidakpastian, perubahan, dan refleksi dalam kehidupan seorang individu. Melalui simbolisme, pertanyaan, dan gambaran visual, penyair menggambarkan kompleksitas emosi dan pemikiran yang muncul ketika menghadapi perubahan dalam hidup. Puisi ini menciptakan suasana refleksi yang mendalam dan mengundang pembaca untuk merenungkan arti makna hidup dan perubahan.

Acep Zamzam Noor
Puisi: Sepotong Senja
Karya: Acep Zamzam Noor

Biodata Acep Zamzam Noor:
  • Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
  • Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.
© Sepenuhnya. All rights reserved.