Puisi: Blora (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi "Blora" karya Raudal Tanjung Banua memotret hubungan antara manusia, budaya, dan alam. Ia menekankan pentingnya mengakar pada asal-usul kita, ..
Blora
(- keluarga Mastoer)


Karena minum dari akar kayu jati
maka kalian keras
memeluk bumi
Blora bumi manusia
Tanah panas matahari
Tapi lebih panas di luar sana
dan segalanya menanti
Di bukit-bukit kapur
Mungkin tak terlihat kapal-kapal datang dan pergi
di laut Jawa. Tapi lambungnya menghisap sampai jauh ke mata air
Kali Lusi yang kalian punya
Maka lewat seutas jalan ke Rembang
Kalian pun datang ke laut, mengenal samudera
Segalanya bergelora, segalanya bergelora!
Tapi Kali Lusi, dada yang bergemuruh pertama kali
Janganlah ditinggalkan
Dan memang tak pernah kalian tinggalkan
Di sana, segalanya nyala
dalam darah dan urat tangan
Keras memeluk bumi kelahiran.


Blora-Yogya, 2013-2014

Analisis Puisi:
Puisi "Blora" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah karya sastra yang penuh dengan makna dan mengandung banyak lapisan pesan yang mendalam.

Identitas dan Akar: Puisi "Blora" dimulai dengan gambaran minum dari "akar kayu jati." Ini bisa diartikan sebagai metafora yang menggambarkan pentingnya mengakar pada asal-usul dan identitas kita. Akar jati adalah simbol kekuatan, ketahanan, dan asal-usul yang kuat. Sebagian besar puisi ini menyoroti bagaimana akar ini, atau hubungan kita dengan asal-usul dan budaya kita, membentuk dan menguatkan kita.

Kekuatan Budaya dan Tanah Air: Puisi ini menggambarkan koneksi kuat antara manusia dengan tanah air mereka. "Blora bumi manusia" menciptakan citra bahwa manusia dan bumi itu satu. Tanah air, dalam hal ini Blora, dilihat sebagai bagian penting dari identitas individu. Hal ini merujuk pada pentingnya budaya, tradisi, dan akar kita dalam membentuk siapa kita.

Perbandingan dengan Dunia Luar: Ada perbandingan antara "panas" yang dirasakan di Blora dengan dunia luar. Ini menciptakan kontras antara kehidupan lokal dan dunia luar yang lebih luas. Dengan demikian, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan desa, kebudayaan, dan nilai-nilai lokal yang mungkin berbeda dengan dunia modern yang "panas" dan sibuk.

Keterhubungan dengan Alam: Puisi ini juga menggambarkan keterhubungan manusia dengan alam, terutama melalui sungai dan laut. "Lambungnya menghisap sampai jauh ke mata air" menggambarkan bagaimana manusia tergantung pada alam dan sumber daya alamnya. Ini juga mengajak kita untuk merenungkan dampak aktivitas manusia pada lingkungan.

Perjalanan dan Penemuan Diri: Puisi ini menciptakan gambaran perjalanan fisik dan spiritual, menggambarkan perjalanan dari Blora ke laut yang melambangkan penemuan diri dan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan budaya.

Emosi dan Pemeliharaan Tradisi: Puisi ini menciptakan perasaan emosi dan rasa kebanggaan terhadap akar dan warisan budaya. Dengan kata-kata seperti "Kali Lusi, dada yang bergemuruh pertama kali, janganlah ditinggalkan," puisi ini merayakan pemeliharaan tradisi dan budaya sebagai sesuatu yang bernilai dan patut dihormati.

Bahasa dan Gaya Penulisan: Raudal Tanjung Banua menggunakan bahasa yang sederhana namun mendalam dalam puisi ini. Pengulangan kata "segalanya bergelora" menciptakan ritme yang kuat dan memberikan penekanan pada emosi yang ditunjukkan dalam puisi ini. Selain itu, penggunaan bahasa yang gamblang dan gambaran yang kuat memungkinkan pembaca untuk merasakan kekuatan pesan yang disampaikan.

Puisi "Blora" adalah karya sastra yang memotret hubungan antara manusia, budaya, dan alam. Ia menekankan pentingnya mengakar pada asal-usul kita, menghormati warisan budaya, dan menjaga keterhubungan dengan alam. Melalui penggunaan bahasa yang kuat dan gambaran yang kuat, puisi ini membangkitkan perasaan keterikatan dengan tempat kelahiran dan budaya kita, serta mendukung pemeliharaan nilai-nilai ini dalam dunia yang terus berubah.

"Puisi: Blora"
Puisi: Blora
Karya: Raudal Tanjung Banua
© Sepenuhnya. All rights reserved.