Puisi: Tiga Bait bagi Ibu Bumi (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi "Tiga Bait bagi Ibu Bumi" bukan hanya sebuah karya seni yang indah, tetapi juga seruan untuk bertindak dalam melestarikan lingkungan.
Tiga Bait bagi Ibu Bumi

Ibu, ah, ibu bumi
berabad-abad engkau mengandung akar pohon
menampung air mata duka
lalu mengalirkannya ke lembah nestapa.

Ibu, ah, ibu bumi
wajahmu mengerut oleh erosi dan gas emisi karbon
engkau megap-megap, tak sanggup mengusap peluh yang leleh
engkau sempoyongan di atas telapak berdarah
tak lagi sanggup menengadah menyebut asma Allah
gunung di dadamu meletus dan menghamburkan magma
lahar dingin lalu mencair di atas kepingan segala keinginan.

Ibu, ah, ibu
luka itu robekan kain rindu di degup jantungmu
Ibu, ah, ibu bumi
tragedi itu rengekan jutaan bayi kurang gizi
Ibu, ah ah ah, ibu bumi
aku ingin menyusu dan menyusup ke rongga dadamu
bertapa di relung goa
berenang di atas gelimang gairah mencinta
Ibu, ah, ibu bumi
hentikan segala yang bernama tragedi!

2011

Analisis Puisi:

Puisi "Tiga Bait bagi Ibu Bumi" karya Dimas Arika Mihardja adalah sebuah karya yang membangkitkan kesadaran tentang perlunya menjaga dan merawat bumi, yang digambarkan sebagai seorang ibu. Dalam tiga bait pendeknya, penyair membawa pembaca melalui perasaan yang mendalam terhadap kerentanan dan penderitaan Bumi.

Personifikasi dan Metafora: Di bait pertama, Bumi digambarkan seperti seorang ibu yang telah menanggung segala hal, dari akar pohon hingga air mata duka. Personifikasi ibu bumi menciptakan citra yang emosional, memberikan kesan bahwa Bumi adalah entitas hidup yang menderita. Metafora air mata duka menunjukkan bahwa bumi menanggung penderitaan akibat ulah manusia.

Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan: Bait kedua menyajikan gambaran tentang kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh erosi dan emisi karbon. Penyair mengaitkan perubahan iklim dengan penderitaan Bumi, menggambarkan wajahnya yang mengerut dan kesulitan yang dihadapinya. Pemakaian kata-kata seperti "megap-megap" dan "tak sanggup" memberikan kesan bahwa Bumi sedang berjuang untuk bertahan.

Panggilan untuk Aksi: Bait terakhir merupakan seruan dan harapan agar manusia menyadari luka yang dialami Bumi. Penyair menyatakan keinginan untuk menyusup ke dalam rongga-dada Bumi, bertapa di dalam goa, dan berenang di atas gelimang gairah mencinta. Ini mungkin merujuk pada upaya untuk lebih mendalam dalam menjaga dan merawat lingkungan serta membangkitkan semangat cinta terhadap Bumi.

Kekuatan dan Kepekaan Bahasa: Dimas Arika Mihardja menggunakan bahasa yang penuh kekuatan dan kepekaan untuk menyampaikan pesan tentang kepedihan yang dialami Bumi. Frasa seperti "robekan kain rindu di degup jantungmu" dan "tragedi itu rengekan jutaan bayi kurang gizi" menggambarkan rasa sakit dan penderitaan yang dialami Bumi dengan cara yang mendalam.

Puisi "Tiga Bait bagi Ibu Bumi" bukan hanya sebuah karya seni yang indah, tetapi juga seruan untuk bertindak dalam melestarikan lingkungan. Dimas Arika Mihardja berhasil menggambarkan kepedihan dan kerentanan Bumi dengan menggunakan bahasa yang mendalam dan emosional, menantang pembaca untuk merenung tentang tanggung jawab kita sebagai makhluk hidup di planet ini.

Puisi: Tiga Bait Bagi Ibu Bumi
Puisi: Tiga Bait bagi Ibu Bumi
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.