Puisi: Matinya Seorang Penyair (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Matinya Seorang Penyair" karya Subagio Sastrowardoyo menghadirkan suatu meditasi mendalam tentang kehidupan dan kematian. Dengan gaya bahasa ..
Matinya Seorang Penyair

Napas begitu tipis seperti kaca
jangan dipecahkan dengan berkata-kata
keheningan jadi pengiring paling setia
bagi kelana di kelam buta
hari kemarin sudah tiada.

Betapa lama sebelum rela
membunuh api kenang menyala
di luar keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi
hilang nanar
tanpa sesal sosok setubuh dengan sepi

Terbaring di dataran asing
juga langit kelihatan lain
rumah-rumah redup tanpa jendela
tapi dengan tidak menanya
dicium tanah lekat di tangannya
belahan benua ini sebagian dari nasibnya
dia tak kembali ke pantai tua

Rindu lama tidak lagi bergejolak
demam yang diidap sudah reda
detik-detik kini lebih berarti
daripada terus mencari
di balik ufuk pasir melebar
telah habis basah air menghibur
sampai puas digosokkan tubuhnya
ke bumi bisu

Penyair meraba permukaan hari
di sini geraknya berhenti
di ambang gurun tak bertepi
dalam perkawinan dengan sunyi
dia tidak sanggup lagi bernyanyi
ketika napas putus mengalir
di udara bergema pekik terakhir.

Sumber: Hari dan Hara (1982)

Analisis Puisi:
Puisi "Matinya Seorang Penyair" karya Subagio Sastrowardoyo menghadirkan suatu meditasi mendalam tentang kehidupan dan kematian. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun penuh makna, penyair merangkai kata-kata untuk mengeksplorasi pengalaman hidup, keheningan, dan akhirnya, kepergian menuju kematian.

Napas Tipis dan Pecahan Seperti Kaca: Bait pertama menciptakan gambaran kehidupan yang rapuh, seperti napas tipis dan kaca yang mudah pecah. Kehati-hatian dan keheningan diperlukan agar keberadaan ini tidak terancam. Penyair menyoroti kerapuhan dan kelembutan kehidupan dengan cara yang menyentuh.

Api Kenangan yang Mati: Penyair membawa pembaca melalui perjalanan pemikiran tentang kehilangan dan kematian. Api kenangan yang padam menciptakan gambaran duka yang meresap. Keramahan kamar yang dahulu hangat, sekarang hanya menjadi kuburan sisa-sisa mimpi yang hilang.

Perjalanan ke Dataran Asing dan Kematian: Penyair melukiskan perjalanan ke dataran asing yang menggambarkan perubahan dan kematian. Rumah redup tanpa jendela menciptakan citra kesunyian dan perpisahan dengan dunia yang dikenal. Kesejajaran dengan tanah lekat di tangan menyiratkan bahwa manusia akhirnya akan bersatu dengan tanah, merangkul takdir kematian.

Rindu yang Tak Bisa Dikejar: Rindu yang dulu bergejolak kini telah mereda. Penyair menggambarkan perasaan tenang dan damai, menerima takdirnya dengan bijaksana. Detik-detik saat ini lebih berharga daripada terus mencari. Di balik ufuk pasir yang melebar, air telah habis, dan tubuh menyatu dengan bumi.

Keputusasaan dan Ketenangan di Ambang Kematian: Penyair menciptakan citra keputusasaan dan ketenangan di ambang kematian. Perkawinan dengan sunyi dan kehilangan kemampuan untuk bernyanyi melukiskan saat-saat terakhir seorang penyair. Napas terakhirnya adalah pekik terakhir yang bergema di udara, mengakhiri perjalanan hidupnya.

Puisi "Matinya Seorang Penyair" membawa pembaca melalui perjalanan yang penuh makna dari kehidupan ke kematian. Melalui imaji yang kuat dan bahasa yang indah, Subagio Sastrowardoyo berhasil menggambarkan bagaimana keheningan terakhirnya diukir dalam kata-kata. Puisi ini merangkum perjalanan hidup yang penuh dengan keindahan, kehilangan, dan akhirnya, kedamaian.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Matinya Seorang Penyair
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.