Puisi: Surat untuk Ibu Pertiwi (Karya Nanang Suryadi)

Puisi "Surat untuk Ibu Pertiwi" karya Nanang Suryadi menggambarkan perasaan cinta, rindu, dan kekhawatiran penyair terhadap Indonesia sebagai ....
Surat untuk Ibu Pertiwi (1)


ibu, salam sayang selalu dari anak-anakmu, yang merindukan dongeng terlantun
dari bibirmu penuh cinta. seperti dulu, kau tembangkan syair lagu kepahlawanan.
bikin daku hendak jadi ksatria.

jika angin malam tiba, rambutmu yang keperakan meneri-nari, seperti juga daun
nyiur di depan rumah kita itu.

ibu, anak-anak yang kau cintai berkumpul di sini, membacakan syair, menyanyikan
lagu: kami jadi pandumu...

ah, indah sekali, ketika kami ingat senyummu, tebarkan kerinduan kenangan kanak
dulu.

ibu, anak-anakmu kini tetap nakal dan lucu, seperti dulu, anak-anak yang sayang
padamu, dan kadang juga tak mematuhi nasehatmu.

tapi, air mata itu, mengapa menetes ibu? meleleh di kedua belah pipi. mengapa
ibu? adakah kau marah pada kami, anak-anakmu yang kian nakal saja, tak
menggubris petuahmu.

ujarmu: "hormatilah orang tua, lindungi dan sayangilah saudara-saudaramu.
berbuatlah adil dan jujur. jangan tamak dan serakah terhadap hak orang lain..."

ya, nasehat yang masih kuingat benar hingga kini, dan anak-anakmu yang lain
mungkin masih mengigatnya juga, ibu.

di tengah derum pembangunan, anak-anakmu yang perkasa bertebaran. menjelajahi
tempat-tempat yang kau dongengkan. tempat peri baik hati. tempat
pahlawan-pahlawan dilahirkan dan dibesarkan. tempat binatang-binatang
bercakapan.

di sana, dengan doa darimu, kami buka hutan perawan, mengolah tanah, menyemaikan
benih dan memetik hasilnya ketika panen tiba. kami gali tambang emas permata.
kami ungkap segala rahasia semesta. ya, inilah yang kami lakukan untuk
pembangunan, seperti yang diucapkan pemimpin, anak-anakmu juga ibu.

begitulah ibu, anak-anakmu berjuang untuk hidup...

dan tangismu itu ibu, sepertinya aku tahu mengapa? memang akupun turut merasakan
apa yang sebenarnya engkau rasakan. ya, betapa kasihmu tak terperikan. kau akan
menangis, melihat anak-anak yang kau cintai, bernasib malang, tergusur dari
tanahnya sendiri. rasanya aku dengar teriakanmu begitu histeris, melihat
anak-anakmu tenggelam dalam lautan darah dan airmata...

ya, ibu, aku rasakan itu

kau menangis melihat saudara-saudaraku berbuat kejam terhadap kami, anak-anakmu
yang yang malang. anak-anakmu yang begitu lemah, menghadapi kekuasaan yang
begitu menakutkan!

dan tangis itu, sepertinya, bicara begitu...


Surat untuk Ibu Pertiwi (2)

jangan menangis ibu, kan kami rayakan ulangtahunmu kali ini, entah yang ke berapa, aku lupa. dengan mengingat senyummu dan dongeng kepahlawanan.
jangan khawatirkan nasib kami, bukankah peruntungan tiap orang tak sama, ibu?

jika kami menggusur rumah saudara kami sendiri, itu bukan berarti kami tak sayang kepada mereka. kami telah beri mereka kesempatan untuk menjelajahi hutan, tempat peri baik hati, seperti ceritamu dulu. dan kami beri mereka ganti rugi secukupnya, seratus dua ratus rupiah untuk semeter persegi tanah yang harus mereka tinggalkan. bukankah itu cukup adil, ibu?

kami pinggirkan mereka ke tepi hutan. bukankah itu lebih baik, karena dengan
begitu, mereka akan hidup damai di sana. jauh dari kegaduhan yang kini sering
mengganggu kami.

ya, anak-anakmu yang lain, tetap saja nakal, ibu. mereka telah menjadi pengacau! namun tenang sajalah, ibu, kami telah tangkapi mereka, yang
selalu menghasut, membuat kejahatan, membuat keonaran, membuat semuanya menjadi buruk. biarpun mereka saudara kami sendiri. bukankah hukum harus selalu ditegakkan, ibu?

dan mungkin kau sering mendengar tentang hal ini, tetangga-tetangga yang selalu
mengoceh tentang hak asasi manusia, demokratisasi, ketidakadilan, dan masih
banyak lagi. ya, rasanya itu akan membuatmu terganggu, ibu. aku pun merasa begitu. kadang aku bertanya: mengapa mereka berbuat seperti itu, seperti kurang kerjaan saja. dan engkau mungkin setuju pada pendapatku tentang hal itu. mengapa mereka selalu ribut, ketika saudara kami sendiri kami beri pelajaran, agar mereka tak keliru.

jelas bukan? demi keamananmu, demi senyummu yang dulu. kami harus tega menghukum mereka, orang-orang itu (mungkin saudara kami sendiri) yang akan merusak namamu...

baiklah ibu, sebenarnya ada yang lebih penting dari itu semua:
mmmm, bolehkah kugadaikan negeri ini ke pasar dunia?


Malang, 21 Maret 1995

Analisis Puisi:
Puisi "Surat untuk Ibu Pertiwi" karya Nanang Suryadi adalah sebuah surat dari penyair kepada tanah airnya, Indonesia. Dalam puisi ini, penyair menyatakan perasaan cinta, rindu, dan kekhawatiran terhadap Indonesia, yang disimbolkan sebagai seorang ibu. Puisi ini terdiri dari dua bagian yang berbeda, dan dalam analisis ini, kita akan membahas pesan dan makna dari kedua bagian puisi tersebut.

Surat untuk Ibu Pertiwi (1)

Cinta dan Rindu pada Tanah Air: Penyair mengungkapkan rasa cinta dan rindunya kepada tanah airnya dengan menyebutnya "Ibu Pertiwi." Ia merindukan dongeng-dongeng tentang kepahlawanan yang dulu pernah diceritakan oleh Ibu Pertiwi. Melalui puisi ini, penyair ingin menjadi seperti ksatria yang berjuang untuk tanah airnya.

Penghormatan pada Nasehat Ibu: Penyair menyampaikan nasehat-nasehat yang pernah diucapkan oleh Ibu Pertiwi, seperti menghormati orang tua, mencintai saudara-saudara, berbuat adil dan jujur, dan tidak tamak terhadap hak orang lain. Meskipun anak-anaknya kadang tak mematuhi nasehat tersebut, penyair tetap mengingat dan menghormatinya.

Perjuangan Anak-Anakmu: Penyair menjelaskan bahwa anak-anak Indonesia berjuang untuk pembangunan dan kemajuan negeri. Mereka membuka hutan, mengolah tanah, menggali tambang, dan mengungkap rahasia alam semesta demi kemajuan Indonesia.

Perasaan Ibu Pertiwi: Penyair mencermati tangisan ibu yang merasa sedih dan khawatir melihat nasib anak-anaknya yang malang. Ia juga menyadari betapa ibu sedih melihat saudara-saudaranya yang berbuat kejam terhadap anak-anak Indonesia.

Surat untuk Ibu Pertiwi (2)

Rayakan Ulang Tahun Ibu Pertiwi: Penyair mengajak untuk merayakan ulang tahun Indonesia, dengan mengingat senyum dan cerita kepahlawanan Ibu Pertiwi.

Penggusuran dan Ganti Rugi: Penyair mencatat bahwa ada penggusuran rumah saudara-saudaranya sendiri demi pembangunan. Namun, ia menyatakan bahwa mereka telah diberi ganti rugi secukupnya dan dipinggirkan ke tepi hutan agar hidup damai.

Kritik pada Orang-Orang yang Mengkritik: Penyair mengekspresikan rasa frustrasi dan ketidaksetujuannya terhadap orang-orang yang selalu mengkritik tindakan pemerintah dalam menjaga keamanan dan ketertiban, meskipun mereka merupakan saudara sesama bangsa.

Cinta dan Pengorbanan untuk Tanah Air: Penyair menyatakan bahwa tindakan-tindakan tersebut diambil demi keamanan dan keberhasilan Indonesia, demi senyum dan kebahagiaan ibu yang dulu. Meskipun keras, langkah-langkah tersebut diambil sebagai bentuk pengorbanan cinta untuk tanah air.

Pertanyaan Terakhir: Puisi ini diakhiri dengan sebuah pertanyaan, "Bolehkah kugadaikan negeri ini ke pasar dunia?" Pertanyaan ini mungkin mengekspresikan perasaan pengecut atau kebingungan, atau mungkin juga menyoroti tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi oleh Indonesia.

Puisi "Surat untuk Ibu Pertiwi" karya Nanang Suryadi menggambarkan perasaan cinta, rindu, dan kekhawatiran penyair terhadap Indonesia sebagai sebuah negara. Puisi ini mengekspresikan perasaan rindu akan kepahlawanan masa lalu, serta kekhawatiran terhadap perjuangan dan nasib anak-anak Indonesia di tengah pembangunan dan tantangan zaman. Melalui puisi ini, penyair ingin menyampaikan penghargaan, kritik, dan pengorbanan yang dilakukan demi cinta pada tanah air.
Puisi Surat untuk Ibu Pertiwi
Puisi: Surat untuk Ibu Pertiwi
Karya: Nanang Suryadi
© Sepenuhnya. All rights reserved.