- Alit = (Jawa) kecil.
- Gurit = (Jawa) puisi.
Analisis Puisi:
Puisi "Jerit di Lahan Sawit" karya Dimas Arika Mihardja adalah karya sastra yang menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan para pekerja di ladang kelapa sawit. Melalui gambaran kehidupan di perkebunan, penyair menyampaikan pesan kritis tentang eksploitasi, ketidakadilan, dan kepedihan yang dirasakan oleh mereka yang terpinggirkan dalam industri sawit.
Metafora dan Simbolisme: Puisi ini menggunakan metafora dan simbolisme untuk menggambarkan realitas kehidupan di lahan sawit. Barisan pohon kelapa sawit diangkat sebagai simbol perjuangan dan penderitaan orang-orang kecil yang terperangkap dalam siklus eksploitasi. Pohon kelapa sawit juga dapat diartikan sebagai simbol kapitalisme dan industri yang menghisap kehidupan para pekerja.
Citra Pohon Kelapa Sawit: Barisan pohon kelapa sawit digambarkan sebagai "kisah orang alit yang terlilit dan terjepit," menciptakan citra penuh kesempitan dan kekurangan. Pohon-pohon ini tidak hanya menandakan struktur sosial yang merugikan, tetapi juga menggambarkan kekeringan dan kegentaran dalam kehidupan para pekerja.
Suara Jeritan dan Penderitaan: Kehidupan di ladang kelapa sawit disuarakan melalui suara jeritan dan penderitaan yang terdengar dari barisan pohon tersebut. Kata-kata seperti "terjepit," "luka," dan "lapar tak tertahankan" memberikan warna emosional yang kuat pada puisi, menggambarkan betapa sulitnya kehidupan para pekerja di ladang tersebut.
Konflik Sosial dan Ekonomi: Puisi ini mencerminkan konflik sosial dan ekonomi yang terjadi di dalam industri kelapa sawit. Tukang kredit yang mengacungkan clurit menjadi simbol kekuatan ekonomi yang menindas, sementara para pekerja dan keluarganya harus melarikan diri dari ketidakpastian dan kesulitan hidup.
Kritik terhadap Eksploitasi dan Ketidakadilan: Penyair dengan tajam mengkritik eksploitasi yang terjadi di lahan sawit. Proses perkebunan yang memanfaatkan tenaga kerja murah, terutama anak-anak, menjadi sorotan kritis penyair. Kritik ini mencerminkan perasaan keadilan sosial yang terabaikan dalam industri tersebut.
Kesadaran Terhadap Kesehatan dan Penderitaan: Puisi menggarisbawahi penderitaan fisik dan kesehatan para pekerja, yang terpapar penyakit seperti malaria dan kolera. Ungkapan "si kulup sakit malaria" dan "si bujang terserang kolera" menggambarkan situasi yang mencekam di tempat kerja mereka.
Gaya Bahasa yang Puitis: Meskipun mengangkat tema berat, puisi ini tetap mempertahankan gaya bahasa yang puitis. Penyair menggunakan kata-kata dan imajinasi yang kaya untuk menyampaikan pesan secara artistik, membuat pembaca lebih terlibat emosional dengan realitas kehidupan yang digambarkan.
Puisi sebagai Media Protes: Puisi "Jerit di Lahan Sawit" juga dapat dianggap sebagai medium protes terhadap sistem yang tidak adil dan ketidaksetaraan dalam industri kelapa sawit. Suara puisi ini berfungsi sebagai jeritan kesadaran atas penderitaan dan penindasan yang harus diatasi oleh masyarakat luas.
Puisi "Jerit di Lahan Sawit" adalah sebuah karya sastra yang menggugah kesadaran akan kondisi sulit para pekerja di industri kelapa sawit. Melalui bahasa puitis, penyair menciptakan gambaran yang mengesankan tentang kehidupan yang penuh jeritan dan kesengsaraan di tengah ladang kelapa sawit. Puisi ini menjadi sebuah medium penyampaian kritik sosial yang mendalam dan merangsang refleksi terhadap realitas kehidupan di dalamnya.
Karya: Dimas Arika Mihardja