Puisi: Telepon (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Telepon" karya Abdul Wachid B. S. mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan spiritual mereka dan mengevaluasi bagaimana pengaruh dunia ...
Telepon
(- gus munif)

di pagi itu
aku dan kasihku diayunkan oleh waktu
di kabut itu
guruku menelpon hatiku
tetapi hatiku terlanjur berlumpur
tetapi telingaku seolah tuli
telepon guruku kuulur
-ulur
tidak ada jawaban, lalu mati
pada panggilan yang ketiga
jiwaku masih juga terjaga
telepon guruku kuangkat
tetapi tubuhku terikat oleh maksiat
di beranda yang bernama dunia
lalu lalang ilalang dan orang
sama jalangnya, sama gila
lalu lalang mobil menerjang
debudebu menebalkan wajahku
debudebu membatukan aku
debudebu menjadikan aku
debudebu merindukan aku
kepada sebuah cermin besar
sekalipun aku harus kesasar
di perbukitan yang
megah dan menghanyutkan
telepon masih juga bicara
guruku masih juga berjaga
dengan wasiat 40 fatihah
aku terperangah, lelah
kepada sebuah cermin besar
sekalipun aku harus kesasar
di perbukitan yang
megah dan menghanyutkan
dari perbukitan inilah
debu kau aku kelak
semoga berubah
menjadi serpihan cahaya.

Purwokerto, 20 November 2014

Analisis Puisi:
Puisi "Telepon" karya Abdul Wachid B. S. adalah sebuah karya yang memperlihatkan perenungan mendalam tentang hubungan manusia dengan ketuhanan, perjalanan rohani, dan perjuangan melawan godaan dunia.

Perenungan tentang Waktu dan Ketuhanan: Puisi ini dimulai dengan gambaran "di pagi itu" yang mengisyaratkan awal dari suatu perjalanan atau momen penting. Penyair merenungkan hubungan antara dirinya dan ketuhanan, diwakili oleh "guruku" yang mencoba menghubungi hati dan jiwa penyair melalui telepon.

Perjuangan Rohani dan Godaan Dunia: Penyair menggambarkan perjuangannya dalam menghadapi godaan dunia yang membatasi hubungannya dengan ketuhanan. Meskipun gurunya mencoba menghubungi, hati penyair "terlanjur berlumpur" dan telinganya "seolah tuli", menunjukkan penghalang yang ada dalam dirinya.

Konflik Internal dan Pertarungan Batin: Puisi ini menggambarkan konflik internal penyair antara panggilan spiritual dan godaan dunia. Meskipun gurunya berusaha mencapainya, penyair merasa terikat oleh "maksiat" dan godaan dunia yang berupa kehidupan yang serba hektik dan mengalihkan perhatiannya dari panggilan spiritual.

Simbolisme Debu dan Perubahan Spiritual: Simbol debu digunakan sebagai metafora yang kuat dalam puisi ini. Debu menggambarkan kefanaan dunia dan kebingungan manusia yang terjebak dalam duniawi. Namun, penyair berharap bahwa debu ini akan berubah menjadi "serpihan cahaya", menunjukkan perubahan spiritual yang diharapkan dan pemurnian jiwa.

Pertimbangan Wasiat 40 Fatihah: Penutup puisi mengisyaratkan kepada wasiat 40 Fatihah, yang dapat diartikan sebagai upaya untuk memperoleh rahmat dan petunjuk dari Tuhan dalam menghadapi perjuangan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun penyair lelah dan terperangkap dalam dunia yang menghanyutkan, dia masih memohon petunjuk dan bimbingan dari ketuhanan.

Puisi "Telepon" karya Abdul Wachid B. S. adalah sebuah perenungan yang mendalam tentang perjuangan rohani, ketuhanan, dan perlawanan terhadap godaan dunia. Dengan menggunakan gambaran telepon dan simbol debu, penyair mengeksplorasi konflik batin manusia dan aspirasi menuju pemurnian jiwa. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan spiritual mereka dan mengevaluasi bagaimana pengaruh dunia dapat menghalangi hubungan tersebut.

Puisi
Puisi: Telepon
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.