Puisi: Buku tentang Ruang (Karya Avianti Armand)

Buku tentang Ruang
“Aku membuka mata dan tak melihat apa-apa.” – dari film Russian Ark.

1.
Aku telah melihat segalanya: Salju dan abu. Roda kereta dan kuda. Orang-orang yang bergegas menembus dingin yang menggumpal.
Lalu ambang membentang ruang, jendela memaparkan waktu.
Sosok asing itu segera bertanya, “Kota apa ini? Kemana kita harus pergi?” Tapi kita belum boleh tahu. Angin yang menggerus hanya mengharuskan orang-orang menutup pintu dan berjalan terus. Lurus.
Diamlah, tuan. Di panggung ini kita tak harus memerankan apa-apa. Tak harus merasakan apa-apa. Hanya bergerak. Bergerak.
“Mari bersenang-senang!” Seru suara dari ujung itu. “Sebuah pesta telah datang!”
Berjalanlah, tuan. Di depan sana ada sebuah lorong yang melingkar ke atas dengan cahaya di ujungnya. Ke sana semua orang menghilang. Juga ada sebuah celah terjal dan gelap ke mana kita bisa terjun. Ke bawah. Ke bawah. Hingga tak ada apa-apa lagi. Tinggal roda raksasa yang memutar nasib dengan bunyi yang memekakkan telinga.
“Temanku, apakah kau tahu jalannya?”
Diamlah, tuan. Kita belum boleh tahu.

2.
Di panggung itu seseorang membungkukkan badan dan mencium kekasihnya.
“Ingatkah kamu?” Ia hanya tertawa genit dan menggoyangkan telunjuk.
Jangan terlalu dekat, tuan.
Di panggung itu seseorang mendorong cinta hingga ke tepi.
“Ingatkah kamu?” Sepi. Tak ada tepuk. Hanya satu suara yang berkata, “Semuanya baik.” Awan turun di depan latar biru. Sesudah itu musik. Selalu ada musik untuk setiap tragedi.
“Di manakah kita?”
Di sini. Dekat nyala lilin. Sengat parfum. Ikal pada rambut. Di satu ruang besar berbusur dengan gugusan relief dan sketsa. Galeri Russophile, lampu-lampu Voronikhine.
Tuan, ini Hermitage mimpi-mimpi.
Lalu kita terlontar ke sebuah masa yang membuat gentar. Tahun-tahun telah membungkam mulut dan menebar bau yang baru. Kita selamanya asing.
“Bisakah kita beristirahat sejenak? Di sini?”
Tidak, tuan, ini cuma sebuah drama.

3.
“Biar kukatakan sesuatu tentang ingatan yang membawa ibuku dan lelaki yang hampir menikahinya. Tentang istri-istri dari suami-suami yang lari ke kota-kota tua yang berselisih. Dan negeri-negeri yang tak mengenal kita.”
“Dari koridor ini aku telah berjalan hingga ke kakilangit dan tak pernah tahu untuk apa kita di sini. Apakah ini kesalahan – atau cuma sebuah mimpi. Tapi aku pernah terjaga dan melihat seorang malaikat membutakan mataku.”
Tinggalkan dia, tuan.
“Apakah aku telah tersesat?”
Berjalanlah terus, tuan. Seratus empat puluh langkah ke depan.
“Tapi, berapa banyak lagi yang tertinggal? Aku telah menyaksikan malaikat menyanyi dan menari. Aku pernah menyentuhnya.”
Tiga puluh enam langkah. Tiga puluh lima langkah. Tak lama lagi kita tak lagi di sini. Mungkin kita bahkan tak perlu ada.
Tak pernah ada.

4.
Mari tinggal sejenak menghitung detak. Dan mengulang satu ketika di mana keindahan berdesakan di atas sana. Ada yang hendak kau katakan?
“Di manakah kau ketika itu?”
Mungkin aku telah melaut setiap kali pagi larut di hari yang jadi api. Mungkin tempat ini telah usai bagiku dan tiba waktunya pergi. Tutuplah pintu di belakangmu dan jangan kecewa.
Memang ada lagu yang mematahkanku. Memang ada yang pernah melukai aku. Tapi tangan-tangan kitalah yang paling berdebu dan berdaging dan berdosa.
Hingga suatu hari semua orang akan jadi abadi. Seperti imaji-imaji yang terkurung oleh cat dan kerangka. Di dinding. Dingin.
“Ke mana kita bisa pulang?”
5.
Di balik pintu itu ada ruang tinggi dan lengang. Dan di baliknya ada ruang tinggi dan lengang yang bercerita tentang sayap-sayap yang lumpuh.
Lalu kau katakan seuatu pada gambar bisu itu, “Aku dan dia punya sebuah rahasia.”
Sungguh, aku pernah berada di sini. Dengan lentera kristal yang memantulkan sakit dan senyap. Dan tubuhku – kadang ada, kadang tidak.
Tapi aku pernah di sini. Telah kudengar langkah-langkah itu di atas marmer putih, sangat putih, jauh setelah malam berakhir.
Maka berbaliklah. Dan bicaralah. Tentang pelukan di satu pagi dan kepergian yang manis.
Karena, jika pintu itu terbuka lagi, takkan ada seorang pun di sana. Cuma dingin yang menyusup ke kuku. Dan seorang asing yang menjaga pigura-pigura tanpa kanvas. Dan sebuah peti yang terbujur.
Milikku.

6.
“Apa yang kau lihat di balik jendela itu?”
Menara-menara yang runtuh di atas jutaan tubuh. Bayaran yang terlalu mahal untuk sesuatu yang tak pasti.
“Lalu, apa yang kau lihat di balik jendela itu?”
Bulan. Kota yang jauh. Sungai hitam. Menit yang luntur oleh hujan. Jalan yang tinggal separuh. Batu-batu dari momen beku. Dinding-dinding keruh. Jendela-jendela. Ruang-ruang di baliknya. Kosong.
Maka, berlarilah, maut tak seharusnya mengejarmu. Tapi di salju yang mengeras dingin kerap menjauhkan ajal dari pohon-pohon.
Dalam sunyi itu tak ada waktu. Tak ada aku juga kamu. Tak ada ruang yang abadi. Hanya sesuatu di balik jendela yang kita tak pernah tahu.
Kamu telah sembunyi dan pergi – jauh ke tengah sunyi.

7.
Kita takkan tahu segala sesuatu di balik punggung.
Ruang ini hanya ilusi dari apa yang pernah lewat, lembar-lembar buku sketsa kosong yang menyusun cerita dan mendistorsi waktu.
Mari berhenti sejenak, tuan, Untuk keindahan yang terukir di biru keramik dan tatah emas di selusin Cina. Istana Musim Salju ini tahu yang terbaik.
Tapi santap malam belum mulai dan kita harus menanti lagi-lagi di satu sudut gelap dengan lukisan surga bintang-bintang dan daun-daun kering. Apakah kau dengar suaranya?
Tentu, tak perlu risau. Tak ada yang akan tertinggal. Setiap orang akan bisa bercerita tentang masa depan, tapi gagal mengingat yang telah lewat.
“Bolehkah aku bermimpi sebentar?”

8.
Semua yang kukatakan adalah kebohongan, tapi hanya Tuhan yang dapat mengadili kita.
Maka, terbanglah burung-burung kecil, dengan kaki telanjang dan ikal terburai. Tepian gaun itu telah menggapai lantai ketika sinar abai memanjangkan bayang.
Ada nama-nama yang lahir dari bibir seorang ibu yang cemas, seperti doa yang ditelan gema lorong-lorong batu. Seseorang mungkin telah mengikuti kita dalam gelap untuk mencuri harap.
Bergegaslah, jangan terlambat malaikat kecil, sebelum malam memberat dan mimpi jadi padat.
9.
Aku melihat ribuan bintang jatuh dengan denting sunyi. Dan setelah lagu, setelah lagu hanya ada gerakan seragam yang tertatih dan lesu.
Kamukah itu, tuan? Yang melompat dan menari?
Aku telah kehilangan engkau di koridor-koridor di mana sebuah garis mendatar. Lalu hanya ada lautan manusia yang mendebur pergi — selalu pergi.

10.
Setelah dansa itu, sebelum putih memucat tepuk meriuh. Dan tawa yang menggelembung menyapumu ke tepi.
Apa yang kau cari, tuan? Di antara waltz dan desir gaun? Di titik-titik partitur yang bertahan bertahun-tahun?
Mungkin akan kau temukan kebahagiaan itu di sini, mungkin juga tidak. Tapi jangan menoleh ke belakang. Sesudah mazurka ini lelah tak ada lagi yang lebih indah.
“Aku akan tinggal”, katamu, dari tengah kerumunan yang bergegas pergi. Tanganku terangkat, tapi tak bisa melambai. Langkahku hanyut.
“Selamat tinggal,” katamu sedih. Lalu semua selesai. Sesudah ini, aku bukan lagi aku. Cuma pantulan di cermin yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Dan di ujung sini, kamu akan mengerti segalanya – tentang takdir tentang hidup tentang salju dan laut yang menyelubungi kita selamanya.

Jakarta, 16 November 2009: Jam 01.46

Sumber: Buku Tentang Ruang (2016)

Analisis Puisi:

Puisi "Buku tentang Ruang" karya Avianti Armand adalah serangkaian sepuluh bagian yang membawa pembaca melalui perjalanan introspektif dan eksplorasi ruang, waktu, serta identitas. Puisi ini ditulis dengan bahasa yang kaya, penuh imaji, dan memadukan elemen-elemen sastra untuk menciptakan suatu karya yang memikat.

Puisi Bagian Pertama (1)

Gambaran Universal: Puisi ini dimulai dengan gambaran-gambaran umum seperti salju, abu, roda kereta, dan kuda. Gambaran ini menciptakan suasana yang luas dan universal, mencirikan keberagaman elemen-elemen kehidupan.
Pengantar Ruang dan Waktu: Penggunaan kata-kata seperti "angkasa" dan "jendela" memberikan nuansa dimensi ruang dan waktu. Ada kebingungan terkait arah dan tujuan, menciptakan ketidakpastian dalam perjalanan kehidupan.
Dialog dan Intrik: Sosok asing yang bertanya tentang kota dan arah menciptakan elemen dialog yang menarik. Namun, jawaban yang mengarah pada "berjalan terus. Lurus" menunjukkan ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam hidup.

Puisi Bagian Kedua (2)

Keintiman dan Konflik: Penggambaran keintiman di panggung, dari mencium kekasih hingga mendorong cinta hingga tepi, menciptakan kontras yang menarik. Ketidakpastian muncul kembali melalui pertanyaan, "Di manakah kita?" yang memberi kesan ketidakjelasan dalam hubungan.
Gambaran Artistik: Deskripsi tentang galeri Russophile dan lampu-lampu Voronikhine menunjukkan kecintaan terhadap seni dan keindahan, tetapi disusun dalam konteks realitas yang mungkin hanyalah ilusi.

Puisi Bagian Ketiga (3)

Narasi Tentang Ingatan: Bagian ini memasuki narasi tentang ingatan, kehilangan, dan pengalaman gaib. Penggambaran malaikat, mimpi, dan pertanyaan-pertanyaan tentang kesesatan menciptakan lapisan kompleks dalam puisi.
Perjalanan dan Pertanyaan: Dengan seratus empat puluh langkah ke depan, puisi menggambarkan perjalanan hidup. Pertanyaan-pertanyaan tentang tersesat dan kebutuhan untuk bergerak terus menciptakan ketegangan dan kegelisahan.

Puisi Bagian Keempat (4)

Refleksi dan Kebenaran: Bagian ini mengundang pembaca untuk merenung dan meresapi detak waktu. Refleksi tentang kesalahan, mimpi, dan kepergian menciptakan suasana introspektif.
Perjalanan dan Kepergian: Dengan menggambarkan melaut setiap pagi dan usai bagi tempat ini, puisi menghadirkan gambaran tentang perjalanan dan kepergian. Ada nuansa kerelaan untuk meninggalkan dan menerima takdir.

Puisi Bagian Kelima (5)

Ruang dan Keabadian: Penggambaran ruang tinggi dan lengang yang bercerita tentang sayap-sayap yang lumpuh menyoroti tema keabadian. Puisi mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dan menikmati keindahan yang terukir.
Pelukan dan Kepergian: Deskripsi tentang pelukan di pagi hari dan kepergian yang manis menciptakan lapisan perasaan. Penggunaan unsur-unsur visual seperti lentera kristal dan tubuh yang kadang ada kadang tidak memberikan nuansa magis.

Puisi Bagian Keenam (6)

Gambaran Kota Runtuh: Penggambaran menara-menara yang runtuh dan bayaran yang terlalu mahal memberikan gambaran kehancuran dan harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang tidak pasti.
Pertanyaan dan Pelarian: Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dilihat di balik jendela menciptakan kegelisahan. Pelarian dari maut di salju yang mengeras memberikan nuansa dramatis.

Puisi Bagian Ketujuh (7)

Ilusi dan Distorsi Waktu: Puisi menyajikan ruang sebagai ilusi dan lembaran buku sketsa kosong yang mendistorsi waktu. Pembaca diundang untuk berhenti sejenak dan menikmati keindahan yang terukir.
Pertanyaan dan Mimpi: Pertanyaan-pertanyaan tentang suara dan kemungkinan bermimpi menyoroti tema mimpi dan realitas. Kesimpulan bahwa takkan ada yang tertinggal menciptakan atmosfer misterius.

Puisi Bagian Kedelapan (8)

Pengakuan Kebenaran: Pernyataan bahwa semua yang dikatakan adalah kebohongan memberikan elemen konflik dan ketidakpastian. Terbangnya burung-burung kecil menciptakan citra yang penuh arti.
Petualangan dan Pengalaman: Puisi mengajak untuk terbang dan menjelajahi dunia, tetapi tetap mengingatkan bahwa malaikat kecil mungkin mengikuti untuk mencuri harapan.

Puisi Bagian Kesembilan (9)

Pemandangan Malam dan Harapan: Penggambaran ribuan bintang jatuh dengan denting sunyi memberikan gambaran tentang malam yang sepi dan harapan yang rapuh. Puisi menyentuh tema kehilangan dan kesepian.
Kesepian dan Pertanyaan: Penggambaran ruang yang luas dan seorang asing yang menjaga pigura tanpa kanvas menciptakan suasana kesepian. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dilihat di balik jendela menciptakan ketidakpastian.

Puisi Bagian Kesepuluh (10)

Pertanyaan Akhir dan Kebahagiaan: Puisi ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dicari dan dijumpai di balik jendela. Meskipun mazurka telah usai, ada penggambaran kebahagiaan yang mungkin ditemukan, dan puisi mengajak untuk tidak menoleh ke belakang.
Pemahaman dan Kehadiran: Pernyataan bahwa di ujung sini akan dipahami segalanya menciptakan kesan pemahaman yang mendalam. Penggambaran pantulan di cermin yang tak pernah dilihat sebelumnya memberikan nuansa kehadiran yang kuat.

Puisi "Buku tentang Ruang" karya Avianti Armand adalah karya yang kompleks, penuh dengan imaji dan pertanyaan filosofis tentang hidup, waktu, dan ruang. Setiap bagian memberikan lapisan baru, menciptakan perjalanan batin yang melibatkan pembaca dalam refleksi diri dan eksplorasi makna keberadaan. Gaya bahasa yang digunakan memberikan puisi ini daya tarik dan keunikan yang luar biasa.

Puisi: Buku tentang Ruang

Karya: Avianti Armand

Biodata Avianti Armand:

Avianti Armand lahir pada tanggal 12 Juli 1969 di Jakarta, Indonesia.