Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rumah Jagal (Karya Zen Hae)

Puisi "Rumah Jagal" karya Zen Hae mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan, kematian, kekerasan, dan bagaimana berbagai elemen ini saling ...
Rumah Jagal

para pemburu meneluh malam
bayang kita tersalib di dinding
hujan paku dan beling meleleh dari genting
perih kian deras, sayangku. menyiram bumi
bagai luka bakar
“oleskan lagu nina bobo, abang!”

anjing-anjing terus berlari
menggonggong sekerat sepi kuburan
kudengar mereka meletuskan senapan
o, di bawah selimut ini
betapa merdu kaing mereka
mungkin mereka lupa
memutuskan batang tenggorok
hingga taman kotalah kamar ini
mari bercinta
hidupkan anjing dalam kepala
siram patung-patung angsa
tetapi lidahmu seperti bulu babi, manis
mengerami racun di sarang darah
ayo tanggalkan dendam. kunci pintu-jendela
dari tempias sunyi si penyendiri
di luar pepohonan bertukar salam
tanah menakar berahi akar

ada rumah jagal dalam lenguh panjangku, abang
pintunya tak terkunci. lihat, para pemburu itu
melompat masuk
tiang listrik dan kentongan
dipukul tiada henti
“ada prahara!
rumah kami tak lagi berpenjaga”

kita berpesta. merajah tubuh menyadap hayat
telah kusimpan mayat ibu-bapakmu di bawah ranjang
: dua matahari yang tenggelam tanpa doa
jangan terlalu iba pada kematian
siram air kembang
saksikan mereka meleleh dan menguap jadi hantu
pengisap madat
peminum darah ayam
hoek, kita sepasang mempelai. mohon restu
menjaga malam dari serbuan pelayat dan anai-anai
tapi kau takut pada ribuan jangkrik
yang melompat dari mulut ayahmu
mengerat rambut merah ibumu
seperti gunting kuku

“jangan lari, manis
yang mati malam ini
akan segera menjadi burung
kita tak boleh tidur
membiarkan sepasang hantu
berkacak pinggang
atau orang-orang cebol
akan mengarak bangkai anjing sepanjang jalan
: tubuhnya membesi tua. darah mereka berkarat
di antara liang luka
berjagalah!
burung-burung akan pulang memanggili ruh-ruh anjing
siapa menyuling kepak sayap menjadi bergalon kaing?
alirkan ke urat-urat nadi
semburkan tiga canting

seperti kita. anjing-anjing tak berumah, abang
jiwa-jiwa sepanjang jalan memanggul kutuk ibu-bapak

lalu engkau melenguh lagi. ruh-ruh anjing itu
kembali ke kamar ini. o, semesta anjing dan pemburu
berseteru dalam gelap. kata-kata iblis
berakar dalam gerimis
kaing bertunas di danau bulan
dikerkah awan
dan binatang buas
dipusatkan mata angin disedekapkan tangan
dirapal doa purba – “bunga, kartu, dupa
lisong, nasi uduk, kentongan, senter, serbuk gerimis
siapa yang menyantapmu?”
hei, di mana kutemukan
tempat berjayanya para penjaga malam
pemburu menciumi anjing-anjing seperti dua sejoli?

malam menggelepar, abang, malam menggelegar
gerigi runcing berpusar dalam daging
sayap-sayap terbakar akar-akar dipangkur
kubur-kubur mengapak tali darah
hura, semesta ruh beterbangan
mencari kandang raja burung
akbar   akbar   akbar

1996

Analisis Puisi:

Puisi "Rumah Jagal" karya Zen Hae adalah sebuah karya sastra yang kaya akan simbolisme dan penuh dengan imagery gelap yang menggugah perasaan. Melalui puisi ini, Zen Hae mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan, kematian, kekerasan, dan bagaimana berbagai elemen ini saling terjalin dalam suatu keberadaan yang penuh penderitaan dan ketegangan. Dengan gaya bahasa yang penuh kontras, metafora tajam, serta simbolisme yang mendalam, puisi ini menciptakan gambaran dunia yang penuh dengan keributan dan pertarungan antara kehidupan dan kematian.

Pembukaan: Bayangan yang Tersalib di Dinding

Puisi ini dibuka dengan gambaran visual yang suram: "para pemburu meneluh malam, bayang kita tersalib di dinding." Kata "meneluh" memberi kesan sebuah penantian atau penderitaan yang menyelimuti malam, menambah kesan bahwa sesuatu yang buruk atau penuh ketegangan sedang terjadi. "Bayang kita tersalib di dinding" adalah metafora yang sangat kuat, mungkin merujuk pada penderitaan yang tidak bisa dihindari, seakan-akan hidup terperangkap dalam bayangan kekerasan dan ketidakberdayaan yang ada di dinding-dinding kehidupan.

Kemudian, gambaran hujan paku dan beling yang "melelah dari genting" menyimbolkan ketajaman dan kehancuran yang datang secara tiba-tiba, seakan-akan dunia yang dibangun akan runtuh dalam kekerasan dan peristiwa yang penuh luka. Hujan ini adalah simbol dari penderitaan dan kekerasan yang terus menimpa tanpa henti, menciptakan rasa sakit yang mendalam.

Kehidupan dalam Kekerasan: Anjing, Senapan, dan Kematian

Selanjutnya, puisi ini menggambarkan suasana kehidupan yang penuh dengan kekerasan melalui kalimat "anjing-anjing terus berlari menggonggong sekerat sepi kuburan, kudengar mereka meletuskan senapan." Anjing-anjing di sini bukan hanya sekadar hewan peliharaan, tetapi menjadi simbol dari kehidupan yang terjerat dalam lingkaran kekerasan, penderitaan, dan perang. Gonggongan mereka menggema dalam kesepian yang membekap kuburan, yang menggambarkan bahwa meskipun kematian sudah dekat, kekerasan dan perlawanan masih terus berlangsung.

Pada bagian ini, terdapat juga pertanyaan retoris yang mendalam: "mungkin mereka lupa memutuskan batang tenggorok hingga taman kotalah kamar ini." Ini menggambarkan bahwa kekerasan tak terhentikan, bahkan jika itu harus mengorbankan banyak hal, termasuk manusia dan hewan yang terperangkap di dalamnya.

Cinta dan Kekerasan: Perpaduan yang Kontradiktif

Pada bagian selanjutnya, Zen Hae menulis, "mari bercinta hidupkan anjing dalam kepala siram patung-patung angsa." Baris ini menciptakan ketegangan antara kekerasan dan cinta. Menurut puisi ini, cinta tidak datang dalam bentuk yang lembut dan penuh kasih sayang, melainkan dalam bentuk kekerasan dan penderitaan. "Hidupkan anjing dalam kepala" menunjukkan bahwa perasaan dan tindakan, bahkan dalam hubungan yang intim, dapat dipenuhi dengan kekerasan batin dan kesedihan. Sementara itu, "siram patung-patung angsa" adalah gambaran yang ironis, seakan-akan simbol-simbol kehidupan yang indah dan mulia pun terinfeksi oleh kekerasan dan racun.

Lebih lanjut, "lidahmu seperti bulu babi, manis mengerami racun di sarang darah" adalah metafora yang menggambarkan hubungan yang berbahaya, di mana kata-kata atau perasaan yang terlihat manis sebenarnya penuh dengan kebohongan, racun, dan kebencian. Ini menggambarkan kontradiksi dalam hubungan manusia, di mana rasa cinta bisa tercampur dengan dendam dan kebencian.

Rumah Jagal dan Ketidakberdayaan Manusia

Judul "Rumah Jagal" mengacu pada rumah yang penuh dengan kekerasan dan kematian. "Ada rumah jagal dalam lenguh panjangku, abang pintunya tak terkunci. Lihat, para pemburu itu melompat masuk" menggambarkan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kekerasan yang datang tanpa henti. Rumah jagal di sini adalah simbol dari tempat di mana kehidupan dan kematian bertarung secara terus-menerus, sebuah tempat di mana segala yang hidup pada akhirnya akan berakhir dalam kekerasan dan penderitaan. Ketika "pintu tak terkunci", itu menunjukkan bahwa kekerasan bisa datang kapan saja, tanpa ada pelindung atau tempat aman bagi siapa pun.

Ketika pemburu melompat masuk dan "tiang listrik dan kentongan dipukul tiada henti", ini adalah gambaran dari kerusakan sosial yang lebih luas, di mana ketegangan sosial dan kekerasan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, justru menjadi ajang kekerasan dan kekacauan.

Kematian dan Kehidupan yang Terkubur

Pada bagian yang lebih mendalam, Zen Hae menggambarkan kematian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan itu sendiri. "Telah kusimpan mayat ibu-bapakmu di bawah ranjang: dua matahari yang tenggelam tanpa doa." Ini adalah gambaran yang sangat kuat tentang bagaimana kematian mengubah segalanya. Ibu-bapak yang sudah meninggal menjadi simbol dari kehilangan yang tidak bisa dilupakan, dan "dua matahari yang tenggelam tanpa doa" menunjukkan bahwa meskipun ada kehilangan besar, tak ada upacara atau penghormatan yang layak diberikan.

Selain itu, Zen Hae mengingatkan pembaca bahwa "jangan terlalu iba pada kematian, siram air kembang saksikan mereka meleleh dan menguap jadi hantu." Kematian di sini tidak dianggap sebagai akhir yang suci atau penuh penghormatan. Sebaliknya, kematian adalah sesuatu yang menguap dan berubah menjadi kenangan, yang bahkan bisa menjadi bagian dari hantu yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia.

Simbolisme Kekerasan dan Kehidupan: Burung, Anjing, dan Gerakan Malam

Pada bagian akhir puisi, Zen Hae menggunakan simbol burung dan anjing untuk menggambarkan dua sisi kehidupan yang saling bertentangan. "Burung-burung akan pulang memanggili ruh-ruh anjing" menunjukkan hubungan antara kehidupan yang lebih tinggi (burung) dan kehidupan yang lebih rendah (anjing), yang terperangkap dalam kekerasan dan penderitaan.

Malam, yang digambarkan "menggelepar" dan "menggelegar," adalah gambaran ketegangan dan kekacauan yang tak bisa dihentikan. Meskipun ada keinginan untuk tidur atau beristirahat, kekerasan dan kekacauan dalam semesta ini tidak bisa dihentikan. "Semesta ruh beterbangan mencari kandang raja burung" adalah simbol dari pencarian tanpa akhir, di mana jiwa yang telah meninggal mencari tempat untuk beristirahat, tetapi selalu terjebak dalam kekosongan dan kesendirian.

Puisi "Rumah Jagal" karya Zen Hae adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan ketegangan antara kehidupan dan kematian, antara cinta dan kekerasan, antara yang tinggi dan yang rendah. Dalam puisi ini, kekerasan dan penderitaan menguasai hampir setiap bagian kehidupan, menjadikan rumah dan malam sebagai tempat yang penuh dengan ketegangan dan kekacauan. Dengan simbolisme yang kuat dan bahasa yang tajam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan realitas keras yang ada di dunia ini, di mana kekerasan dan kematian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Zen Hae
Puisi: Rumah Jagal
Karya: Zen Hae

Biodata Zen Hae:
  • Zen Hae lahir pada tanggal 12 April 1970 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.