Sajak Parodi Indonesia (1)
Aku
(Rujukan: Aku)
Kalau belum habis waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan mengganggu
Tidak juga kau
Tak perlu kritik-saran itu
Aku ini pemimpin jalang
Dari rakyatnya terbuang
Biar peluru menembus citraku
Aku tetap berdandan berdendang
Tangis dan harap kubenam di parit
Di parit
Biar dibilang buta tuli
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau bikin dinasti dan memimpin seribu tahun lagi
Sajak Parodi Indonesia (2)
Citra di Pengharapan Besar
(Rujukan: Senja di Pelabuhan Kecil)
Buat Siti Aniayati
Ini kali tidak ada yang melebihi citra
di antara Istana, rumah besar, pada berita
koran serta televisi. Tugas, jabatan tidak perlu bertaut
menggelembung dada dalam percaya diri mau berlanjut
kedudukan mempercepat kaya. Ada juga properti dan rekening bank
menggunung deposito, saham makin hari makin berkembang
memang pangkat pangkal kekayaan. Terus bertambah
dan kini Tanah Air biar saja hilang martabat
Tak pelak lagi. Aku sendiri. Berkuasa
Membangun sesanjung, masih penuh harap
sekali tiba di ujung dan sekali lagi harus bisa menjabat
hingga periode ketiga, tentu masih bisa direkayasa
Sajak Parodi Indonesia (3)
Persekutuan dengan Bank Dunia
(Rujukan: Persetujuan dengan Bung Karno)
Ayo! Bank Dunia kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama turuti bicaramu, di panggung atas
maumu, diliberalkan oleh dollarmu
dari mula tgl. 20 Oktober 2004
aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
aku sekarang sakti aku sekarang kuasa
Bank Dunia! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kuasa-dollar kita bertambah
Di uratmu di uratku dollar-dollar neoliberal berkibar
Di auratmu di auratku kuasa-dollar kita bersyahwat & beranakpinak
Sajak Parodi Indonesia (4)
Cerai-berai Negara
(Rujukan: Derai-derai Cemara)
bangsa kita tercerai-berai sampai jauh
terasa masa depan akan jadi kelam
ada berjuta jiwa di persada merapuh
dipukul derita yang berkepanjangan
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu jadi pemimpin tidak peduli
tapi dulu memang ada banyak janji
yang tidak akan kupenuhi kini
memimpin adalah memupuk kekecewaan
biar tambah terasing dari cinta seluruh rakyat
dan mereka tahu, banyak yang tetap tidak akan kulakukan
sebelum pada akhirnya mereka menyerah atau menjarah
Sajak Parodi Indonesia (5)
Doa
(Rujukan: Doa)
kepada pengutuk teguh
Tuhanku
Dalam tersenyum
Aku terus mengagumi diriku
Biar susah sungguh
Kehidupan rakyat sepenuh keluh
cayaku kilau suci
kristal gemerlap di Istana sini
Tuhanku
aku gemilang indah
citra
Tuhanku
aku pemimpin asing di negeri sendiri
Tuhanku
ke Istanaku mereka mengutuk
aku tidak akan bisa bertahan
Sajak Parodi Indonesia (6)
Citraku Jauh Memukau
(Rujukan: Cintaku Jauh di Pulau)
Citraku jauh memukau,
nasib manis, sekarang aku kuasa sendiri
Masa jabatan melancar, kekayaan berpendar,
di pemberitaan kuwacanakan pemberantasan korupsi
koalisi membantu, harapan menyala, tapi sia-sia
aku tidak 'kan sampai ke akarnya.
di Tanah Air yang guncang,
di hati rakyat yang kuyu
di perasaan kecewa habis-habisan segala merapuh
Aku tetap bertakhta, sambil berkata: "Tujukan citra ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jabatan sudah bertahun kupeluk!
Koalisi yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa aku harus berbagi dengan mereka
Sebelum puas berpeluk dengan citraku?!
Citraku jauh memukau,
kalau 'ku mati, pasti diambil para pesaing
Sajak Parodi Indonesia (7)
Krawang-Bekasi
(Rujukan: Krawang-Bekasi)
Kamu yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang masih mau mendengar deru kamu,
terbayang kamu maju dan bertahap mati?
Kami bicara padamu sekarang ini
Jika kamu masih hidup, akan rasa hampa dan kemiskinan begitu menghujam
Kamu sudah bagus kamu mati muda saja. Biarkan tulangmu diliputi debu.
Tenang, tenanglah kamu.
Kamu sudah coba apa yang kamu bisa
Tapi kerja belum selesai,
kamu belum bisa memperhitungkan arti 4-5 juta dollar
Kamu kini cuma tulang-tulang berserakan
Itu sajalah kepunyaanmu
Kamilah kini yang tentukan nilai pangkat dan jabatan
Jiwa kamu memang melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
kamu tidak mati sia-sia
Tapi, kamu kini tahu, kamu tidak lagi bisa berkata
Kamilah sekarang yang berkuasa
Kami bicara padamu dalam gelimang harta dan keserakahan
Tidak ada rasa hampa dan penyesalan yang berdetak di dalam dada
Menang, memang begitulah kami
Teruskan, teruskan masa jabatan kami
Menjaga Bank Dunia
menjaga Bunga Deposito
menjaga Harta dan Karier
Kamu sekarang cuma mayat
Biarkan kami yang nikmati kekayaan dan ketamakan
Berkuburlah terus di liang gelap
Awas, jangan sampai bergentayangan!
Tenang, tenanglah kamu di situ
Toh, cuma tinggal tulang-tulang diliputi debu
Jangan coba-coba ganggu kami
Kami sangat sibuk, harus bolak-balik terbang antara Jakarta-Washington D.C.
Sajak Parodi Indonesia (8)
Kupunyanegara
(Rujukan: Diponegoro)
Di masa reformasi ini
Tuan Neolib silakan beraksi
Dan kuasa-dollar menjadi sakti
Di depan sekali tuan bertransaksi
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Koalisi di kanan, oportunis di kiri
Berselempang semangat kolusi dan komisi
MAJU
Ini barisan bergelimang dollar tak bermalu
Neoliberalisme melanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu tak mati-mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan sumberdaya alam dan kekebalan diplomatik
Penguasa di atas menghamba kamu
Rakyat di bawah binasa ditindas demi kamu
Sesungguhnya banyak jalan ketamakan yang bisa dicapai
Maka kuasa-dollarku harus terus merajai
Maju Serbu Serang Terjang
Kesian dee, lu!
Sajak Parodi Indonesia (9)
Kemarahan
(Rujukan: Pelarian)
Tak tertahan lagi
Marak meruyak sengketa di sini
Setiap hari
Dihempaskan pintu-pintu dan jendela-jendela keras tak terhingga
Dari pekan ke bulan
Teraniaya menangis marah mencengkeram
Ini batu dan parang tercampung dalam amarah
“Mau apa? Lempar dan tikam
Amuk massa! Pilih saja!
Unjukrasa dibedil?
Atau ditumpas mati?
Mari! Mari! Maju terus!”
Penguasa tak berdaya – terjengkang
Ditumbangkan rakyat yang berang
Sajak Parodi Indonesia (10)
Sekarat
(Rujukan: Sendiri)
Hidupnya tambah sakit, tambah hampa…
Malam apa lagi…
Ia mencekik diri…
Dicekik kemiskinan keluarganya…
Ia membenci. Dirinya dan sekitarnya…
Yang minta perbaikan untuk hidupnya…
Derita dari tiap sudut. Menjerit juga…
Dalam kesakitan-menanti ajal, ia menyebut satu nama…
Terkejut ia terduduk. Siapa yang dipanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu : Citra! Citra!
Sajak Parodi Indonesia (11)
Penghinaan
(Rujukan: Penerimaan)
Kalau pun kau mau berkuasa kembali
Dengan kerja setengah mati
Aku masih akan tetap di sini
Kutahu kau bukan sainganku lagi
Bak kue serabi kau sudah basi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau berkuasa kembali
Untukku tidak ada kata mundur
Sebagai narsis, dengan cermin pun aku enggan berbagi.
Sajak Parodi Indonesia (12)
Ilham di Permenungan
(Rujukan: Malam di Pegunungan)
Aku berpikir: Jabatan inikah yang bikin jiwa dingin,
Jadi rusak akhlak dan kaku pembawaan?
Tetapi, sekali ini aku terlalu sangat dapat tertawa:
Eh, ada wong cilik mati kejang karena lapar!
Sajak Parodi Indonesia (13)
Pemimpin Takut Malam
(Rujukan: Prajurit Jaga Malam)
Waktu malam. Aku tidak tahu apa nasibku – apalagi nasib rakyat?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya rebut kekuasaan, bintang-bintangnya
kekayaan
semua itu ada di sisiku selama memimpin negeri kaya ini
Aku tidak suka pada mereka yang berani mati
Aku tidak suka pada mereka yang maju menyerukan perlawanan
Bikin malamku yang berwangi mimpi, terlecut takut…
Waktu malam. Aku tidak tahu apa azabku nanti! Takut!
Sajak Parodi Indonesia (14)
Malam
(Rujukan: Malam)
Mulai kelam
Burung hantu malam
kami masih terjaga
- People power? -
- pasukan tidak dikenal? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah mati ketakutan
Sajak Parodi Indonesia (15)
Azab
(Rujukan: Hampa)
kepada sri
Ramai di luar. Demonstrasi menekan mendesak.
Lurus kaku tubuhku. Tak bergerak
Takut sampai ke puncak. Stres memagut,
Tak satu pengawal kuasa melepas-peluru
Semua menanti. Menanti. Menanti.
Gaduh.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung mata
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Itu demo terus ada. Bawa kebo segala. Azab menanti.
Sajak Parodi Indonesia (16)
Sajak Merah-Putih
(Rujukan: Sajak Putih)
Berbaris dengan spanduk-spanduk warna pelangi
Kalian di depanku menyeru serta mengumpat
Di hitam mata kalian merah darah dan putih hati
Tuntutan kalian berkobar berebut gema
Perempuan menyanyi, anak-anak meronta dalam iba
Teriak muak dari dalam jiwa kalian
Dan dalam dadaku membeku lagu-laguku
Mereka menarik seluruh aku
Jabatan dan pangkatku, gerbang terbuka
Semua mata kalian terarah kepadaku
Tolong selamatkan aku teman, dari darah mengalir dari luka
Sebagai pengecut, aku takut mati sungguh, aku menyerah saja…
Sajak Parodi Indonesia (17)
Yang Terampas dan yang Putus
(Rujukan: Yang Terampas dan yang Putus)
keluh dan geram massa memecundangi diriku,
menyingkir juga partai-partai koalisi di saat kuingin dukungan,
massa tambah merasuk, tubuhku jadi semati tugu
di Kalibata, di Kalibata (daerahku y.a.d) ada juga demonstrasi
aku berbenah dalam kamar, pasrahkan diri jika mereka datang
dan aku tak bisa lagi ciptakan citra baru tentang diriku;
kini bahkan tanganku tak bisa lagi bergerak
tubuhku diam, ditikam kawan seiring, seperti yang kulakukan di masa lalu
kini berlaku pula padaku
Sajak Parodi Indonesia (18)
Kepada Kawan
(Rujukan: Kepada Kawan)
Sebelum kejatuhan mendekat dan partai-partai koalisi mengkhianat,
menikam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang massa di jalan-jalan utama,
dan para petugas keamanan gentar dan bikin kecewa,
jangan lupa para pengusaha pun bisa tiba-tiba hengkang,
layar-layar biru yang berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Keruntuhan yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi deposito sepenuhnya lantas kosongkan,
Transfer semua dollar ke Cayman Island dan langsung cairkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih pesawat yang paling awal, pacu laju,
Jangan tambatkan nasib pada oposisi dan mahasiswa
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder rekaman, sonder barang bukti.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Kejatuhan yang menarik kita, ‘kan melambungkan kita ke bui sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Itu pun kalau kamu berani - gw sih, takuuut….!!!
Oktober, 2010
Catatan:Dengan segala hormat dan maaf kepada Chairil Anwar dan keluarganya.
Puisi: Sajak Parodi Indonesia
Karya: Yudhistira A.N.M. Massardi
Biodata Yudhistira A.N.M. Massardi
- Yudhistira A.N.M. Massardi (nama lengkap Yudhistira Andi Noegraha Moelyana Massardi) lahir pada tanggal 28 Februari 1954 di Karanganyar, Subang, Jawa Barat.
- Yudhistira A.N.M. Massardi dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1980-1990-an.