Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Aku, Sahaya (Karya Aoh K. Hadimadja)

Puisi “Aku, Sahaya” karya Aoh K. Hadimadja bercerita tentang seseorang yang merasa dirinya hanyalah “sahaya” atau budak dari realitas yang terus ...
Aku, Sahaya
untuk Effy

Aku sahaya seruan kata
menggulung penghidupan dalam kepala
lampu-lampu melenggung samar-samar
gerincing lereng jauh-jauh
hanya mata bertemu ujung sepatu
gelombang lambat-lambat
Aku sahaya seruan kata
bergulung hidup, pecah, bersambung lagi
manusia-manusia di kampung Asni
dalam pipa-pipa beton riang berkelamin
kayu lapuk
nenek tua berkerenyut hidup
lanjuta semata seruan kata
sampai kupecahkan dan bersambung lagi
cerita-cerita tiada henti
kadang aku diterbangkan waktu
berpacu, berlumba dengan aku sendiri
Aku sahaya aku sendiri jadikan
sampai pabila, sampai pabila
suaramu membayang di muka jernih:
Cita saja, Bung Karlan, cita saja?
Aku sahaya sendiri, budak sendiri
sampai pabila, sampai pabila, aku tak tahu

Medan 16/17 Maret 1952

Sumber: Tonggak 1 (Gramedia, 1987)

Analisis Puisi:

Puisi “Aku, Sahaya” karya Aoh K. Hadimadja menghadirkan renungan eksistensial yang kental, melalui ungkapan-ungkapan puitik yang kadang samar, tapi mendalam. Disampaikan sebagai persembahan kepada seseorang bernama Effy, puisi ini menyingkap perasaan terperangkap, antara kata, waktu, dan eksistensi. Dalam tubuh bait-baitnya, tersimpan kegelisahan seorang “aku” yang terus-menerus menggumuli dirinya sebagai sahaya—budak, pelayan, atau alat dari sesuatu yang lebih besar dan tak terdefinisi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keterasingan eksistensial dan pergulatan identitas. Sang penyair menghadirkan sosok “aku” yang terus-menerus terbelenggu oleh kata, waktu, dan keadaan sosialnya. Ia adalah budak dari kata-kata, dari kehidupan, bahkan dari dirinya sendiri. Dalam dimensi yang lebih luas, tema ini menyentuh sisi paling personal dari kesadaran manusia yang merasa terhimpit oleh sistem dan rutinitas, namun tak pernah berhenti mencari makna.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasa dirinya hanyalah “sahaya” atau budak dari realitas yang terus bergulir tanpa henti. Kata demi kata, waktu demi waktu, hidup terasa seperti lingkaran tak berujung yang membentuk dan menghancurkan eksistensinya. Ada kritik sosial halus di dalamnya, terutama ketika menyebut “manusia-manusia di kampung Asni / dalam pipa-pipa beton riang berkelamin” yang tampaknya mengacu pada masyarakat urban yang kehilangan jati diri dalam modernitas industrial.

Penyair juga menampilkan perjuangan batin melalui pengulangan “sampai pabila, sampai pabila”—sebuah pertanyaan tanpa jawaban tentang kapan semua ini akan berakhir, atau kapan suara-suara luar akan berhenti mencampuri keheningan batinnya.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah pencarian identitas di tengah tekanan dunia yang tidak memberi ruang untuk perenungan sejati. Kata-kata bukan lagi alat komunikasi atau ekspresi, melainkan belenggu. Hidup yang "bergulung, pecah, bersambung lagi" adalah metafora dari sistem sosial yang melahap individu menjadi bagian dari arus besar.

Kata sahaya sendiri memiliki lapisan makna tersirat yang sangat dalam. Di satu sisi, itu menunjuk pada posisi sosial yang rendah—budak atau pelayan. Di sisi lain, ia bisa dimaknai sebagai posisi batiniah: menjadi sahaya dari kata, waktu, dan keinginan sendiri. Artinya, si “aku” tidak sepenuhnya bebas; ia tunduk pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, entah itu bahasa, sejarah, masyarakat, atau memori.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sunyi yang bergolak, penuh kegelisahan namun tidak meledak. Seperti suara dalam kepala yang terus berputar, menyuarakan keraguan dan kelelahan hidup dalam bentuk yang repetitif dan dalam nada reflektif. Ada kekosongan, namun bukan hampa; justru penuh dengan tekanan yang tak terlihat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini mengandung pesan tentang kesadaran kritis terhadap realitas dan pentingnya menemukan makna di tengah pusaran hidup. Sang penyair tidak menawarkan solusi, tetapi mengajak pembaca untuk merenung: apakah kita hanya sahaya dari sistem, dari kata, dari harapan-harapan kosong yang dibangun oleh orang lain?

Kalimat “Cita saja, Bung Karlan, cita saja?” secara implisit menyampaikan kritik terhadap slogan kosong atau semangat yang dipaksakan. Sebuah ejekan halus pada semangat pembangunan atau perubahan yang tidak menyentuh inti persoalan manusia: pencarian makna hidup yang nyata.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji-imaji urban dan simbolik yang menyusun dunia dalam kepala si “aku”:
  • “lampu-lampu melenggung samar-samar” membentuk imaji visual yang menciptakan suasana kota malam yang ambigu, gelisah, dan tidak nyata sepenuhnya.
  • “gerincing lereng jauh-jauh” menghadirkan imaji auditif yang jauh, dingin, dan penuh jarak.
  • “hanya mata bertemu ujung sepatu” melambangkan keterasingan, keterbatasan pandangan, dan pertemuan dengan diri sendiri dalam kondisi paling rendah dan pasrah.
  • “pipa-pipa beton riang berkelamin” adalah imaji industrial yang provokatif; menggambarkan manusia sebagai bagian dari sistem mekanis dan seksual yang banal.
  • “nenek tua berkerenyut hidup” menghadirkan imaji penderitaan dan keteguhan yang nyaris mati namun tetap bertahan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dominan dalam puisi ini antara lain:

Repetisi
  • Pengulangan frasa “Aku sahaya” dan “sampai pabila” menciptakan tekanan psikologis yang kuat. Repetisi ini menekankan kelelahan dan kehampaan eksistensial.
Metafora
  • “menggulung penghidupan dalam kepala” adalah metafora dari kehidupan yang terus dipikirkan, tidak pernah benar-benar dialami secara tenang.
  • “cerita-cerita tiada henti” sebagai metafora dari arus waktu dan kehidupan yang tak kunjung selesai.
Paradoks
  • “Aku sahaya aku sendiri jadikan” adalah bentuk paradoks, di mana seseorang menjadi budak dari dirinya sendiri. Ia adalah korban sekaligus pelaku dari keterikatannya.
Personifikasi
  • “waktu” diterbangkan atau diperlombakan adalah bentuk personifikasi yang memberi atribut manusia pada konsep abstrak, memperkuat ketegangan dalam puisi.
Ironi
  • Frasa “pipa-pipa beton riang berkelamin” memiliki nuansa ironi yang kuat; memadukan kebendaan yang keras (pipa beton) dengan keriangan dan aspek seksual yang seolah dipaksakan dalam kesuraman.
“Aku, Sahaya” bukan puisi yang mudah dibaca satu kali duduk. Ia mengandung kedalaman batin, kritik sosial, dan kompleksitas identitas yang dipadatkan dalam larik-larik padat namun membingkai realitas dengan tajam. Dengan tema keterasingan, makna tersirat tentang manusia yang terbelenggu oleh sistem dan kata, serta penggunaan imaji dan majas yang kuat, puisi ini menjelma menjadi jeritan diam dari jiwa yang terus-menerus mencari kebebasan.

Akhir puisi yang menggantung dengan pertanyaan: “sampai pabila, sampai pabila, aku tak tahu” menyimpulkan segalanya: bahwa dalam hidup, terutama bagi jiwa-jiwa yang berpikir dan merasakan terlalu dalam, jawaban sering kali tak pernah datang. Yang ada hanya perjalanan—sendiri, sebagai sahaya kata, sahaya waktu, sahaya diri sendiri.

Dan di dalam sunyi itu, mungkin puisi ini telah menemukan bentuk paling jujurnya.

Aoh K. Hadimadja
Puisi: Aku, Sahaya
Karya: Aoh K. Hadimadja
    Biodata Aoh K. Hadimadja:
    • Nama Aoh Karta Hadimadja.
    • Edjaan Tempo Doeloe: Aoh K. Hadimadja.
    • Ejaan yang Disempurnakan: Aoh K. Hadimaja.
    • Aoh K. Hadimadja lahir di Bandung tanggal 15 September 1911.
    • Aoh K. Hadimadja meninggal dunia tanggal 17 Maret 1973.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.