Musim Jangkrik
Ada berita ke padang tandus
kabarkan bocah kehilangan musim
Hei, bocah jangkrik di padang
ada raksasa mau adu sendiri
Jangkrik di padang tidak mau tahu
ia nyanyikan jaman lagu bahari
Di rumah bocah hatinya jengkel
musim ini cuma sekali datang
Maka diputuskan juga turun ke padang
raksasa jangkrik hendak didaulat
Bocah berkata: hei, raksasa tinggalkan pengaduan
jangkrik dan rumput biarkan bernyanyi sendiri
Akhirnya kata bersilat kata
raksasa diusir padang dikuasai
Bocah umumkan dirinya gelanggang kemenangan
pengaduan dimulai puluhan jangkrik mati terbuang
Musim ini cuma sekali datang
bocah kehilangan hati dalam diri
Ketepak pusing supaya berani
sang jangkrik berlaga lagi
Musim Jangkrik, 1953
Sumber: Majalah Mimbar Indonesia (28 November 1953)
Catatan:
- Ketepak pusing = istilah bocah main jangkrik.
Analisis Puisi:
Puisi "Musim Jangkrik" karya A.D. Donggo adalah karya sastra yang bernuansa simbolik dan alegoris. Melalui tokoh-tokoh seperti bocah, jangkrik, dan raksasa, puisi ini memotret pertarungan antara kepolosan, keinginan untuk bersenang-senang, serta ancaman dari kekuatan yang lebih besar atau represif. Penyair menyajikan dinamika sosial dan batin melalui metafora yang padat dan menggelitik.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan, serta kegelisahan akan hilangnya waktu yang berharga dalam hidup. Puisi ini juga memuat pesan tentang keberanian mempertahankan ruang bermain dan kebahagiaan dari ancaman kekuasaan atau dominasi.
Puisi ini bercerita tentang seorang bocah dan jangkrik di padang, yang musim bermainnya terganggu oleh kehadiran sosok "raksasa". Raksasa ini mungkin simbol dari kekuasaan, tekanan sosial, atau hal-hal besar yang datang mengganggu dunia kecil yang damai. Bocah itu kemudian mengambil sikap untuk mengusir raksasa dan mempertahankan kebebasan musim yang hanya datang sekali. Namun, kemenangan itu mengorbankan banyak jangkrik—dan mungkin, jati dirinya sendiri.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah betapa rapuhnya kebebasan dan kebahagiaan dalam hidup, khususnya dalam dunia anak-anak atau rakyat kecil, ketika harus berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar. Bocah yang awalnya ingin membela kebebasan jangkrik, akhirnya harus menanggung konsekuensi dan kehilangan rasa dalam dirinya sendiri. Ini adalah refleksi atas konflik internal dan sosial yang sering mengorbankan idealisme demi kemenangan semu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh ketegangan dan kegelisahan, namun juga terasa imajinatif dan metaforis. Ada nada pemberontakan, keinginan melawan, sekaligus nuansa kehilangan dan keraguan di balik kemenangan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan beberapa pesan:
- Jangan biarkan kekuasaan atau ketakutan merenggut hak atas kebahagiaan dan kebebasan.
- Kemenangan yang diraih dengan kekerasan atau pengorbanan yang tidak perlu bisa mengakibatkan kehilangan makna hidup itu sendiri.
- Setiap momen dalam hidup sangat berharga, karena musim (waktu) tidak datang dua kali.
Imaji
Puisi ini mengandung banyak imaji kuat, seperti:
- “Bocah jangkrik di padang” — menciptakan visual tentang kepolosan dan dunia kecil yang damai.
- “Raksasa mau adu sendiri” — membangkitkan kesan ancaman besar.
- “Jangkrik dan rumput bernyanyi sendiri” — melukiskan kebebasan dan harmoni alam.
- “Puluhan jangkrik mati terbuang” — menciptakan kesan tragis, kehancuran dari suatu konflik.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Jangkrik diberi peran seperti manusia—“bernyanyi”, “berlaga”.
- Metafora: Jangkrik, bocah, dan raksasa adalah metafora dari entitas sosial atau psikologis—rakyat kecil, diri yang polos, dan kuasa penindas.
- Alegori: Puisi ini secara keseluruhan bisa dibaca sebagai alegori tentang perjuangan sosial atau konflik batin.
Puisi "Musim Jangkrik" menyuguhkan gambaran puitis yang penuh simbol dan kritik sosial. A.D. Donggo dengan cermat menggunakan metafora jangkrik dan bocah untuk menyampaikan narasi tentang kebebasan, perlawanan, serta kehilangan makna ketika sesuatu yang indah—seperti musim—harus dirusak oleh konflik. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung: apakah “kemenangan” selalu sepadan dengan harga yang dibayar?
Karya: A.D. Donggo
Biodata A.D. Donggo:
- A.D. Donggo lahir pada tanggal 21 Desember 1931 di Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.