Selamat Siang, Ibukota
Selamat siang, ibukota
Selamat siang
Dari tingkat atas gedung ini
Kutegur kau sambil memandang wargamu yang hilir mudik
Yang naik mobil
Yang jalan kaki
Dan tukang-tukang beca yang lagi menggantih hidupnya
Selamat siang, ibukota
Selamat siang
Aku datang di sini dan jumpai diriku
Di dadamu: manusia dan kehidupan kersang
Dan dengarkan nyanyian pada napasmu yang panas
Nyanyian abad kami
Selamat siang, ibukota
Selamat siang. Juga tuan Gubernur
Ku tak minta ucapan selamat datang
Di sini kujumpai puisi lebih lengkap
Bagai ragam wargamu yang tak pernah bicara pasal setia
Adakah di sini terpendam kasih sayang
Selamat siang, ibukota
Telah kusapa kau dengan jatmika
O, kota yang angkuh. Kota hippis ini
Barangkali aku perlu minta maaf, karena
Telah ikut jadi tak ramah
Dan bisa berbaik hati
Kenapa gedung-gedungmu yang megah
Tinggal orang-orang lumpuh dan pikun
Seperti bayang-bayang yang tinggal sosok tak berdaya
Aku jadi sedih: kesedihan yang tulus dalam cintaku mendamba
Selamat siang; barangkali di sini istirahku tak lama
Selamat siang, ibukota
Selamat siang, kota yang menyedihkan
Sampai lain kali
1969
Sumber: Horison (April, 1970)
Analisis Puisi:
Puisi "Selamat Siang, Ibukota" karya Darius Umari adalah salam yang terdengar sopan namun penuh ironi. Disampaikan dengan nada sapa berulang—“Selamat siang”—puisi ini sebenarnya menyimpan banyak keresahan, kritik sosial, bahkan kesedihan mendalam atas wajah kota metropolitan yang angkuh dan dingin. Melalui pengamatan sederhana dari ketinggian gedung, penyair merekam denyut kehidupan kota besar dan merangkainya dalam baris-baris yang tajam dan jujur.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keterasingan dan kekosongan batin di tengah keramaian kota besar. Ada pula sub-tema seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, kritik terhadap kekuasaan, serta kerinduan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang memudar di kota modern.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman penyair yang datang ke ibukota dan memandang hiruk pikuk kehidupan warganya dari atas sebuah gedung. Ia menyapa kota itu, mengamati orang-orang yang hilir mudik—dari pengguna mobil hingga tukang becak—dan mencatat kesan akan betapa panas dan kerasnya kehidupan di sana. Dalam perenungan itu, ia menemukan bahwa kota ini tidak ramah, tidak juga menunjukkan kasih sayang, bahkan menjadi tempat yang melumpuhkan manusia secara fisik dan batin. Salam “selamat siang” yang berulang terdengar seperti upaya menjaga sopan santun, padahal di baliknya mengalir sindiran dan kesedihan yang dalam.
Makna Tersirat
Di balik struktur sapaan yang sopan, puisi ini menyimpan makna tersirat yang tajam:
- Ibukota adalah tempat yang mematikan rasa kemanusiaan. Orang-orang hidup saling berlomba, tetapi kehilangan arah dan kasih sayang.
- Modernitas tidak identik dengan kemajuan moral. Gedung-gedung tinggi dibangun, tetapi justru dihuni oleh mereka yang “lumpuh dan pikun”—baik secara sosial maupun spiritual.
- Penyair merasa asing di kota itu, namun tetap menyimpan cinta dan harapan. Ia tak menolak kota ini, tapi mengkritiknya karena ingin melihat perubahan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi terasa kontras dan ambivalen. Di satu sisi, pembukaan puisi menyiratkan kesopanan dan kekaguman terhadap kota; namun makin jauh kita membaca, suasana menjadi penuh kepahitan, sedih, dan getir. Sapaan hangat berganti dengan kritik, ironi, dan bahkan keputusasaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan sosial dan moral yang kuat:
- Kemajuan kota tidak boleh mengorbankan nilai kemanusiaan.
- Janganlah menjadi bagian dari kota yang angkuh dan tidak peduli.
- Kita semua bisa ikut terjebak menjadi “tidak ramah” tanpa sadar, karena lingkungan kota membentuk kita seperti itu.
- Sebesar apa pun kota, tanpa kasih sayang ia hanya menjadi tempat menyedihkan.
Imaji
Puisi ini membangun imaji yang kuat dan kontras:
- Imaji visual: “dari tingkat atas gedung ini”, “orang jalan kaki”, “tukang beca menggantih hidupnya” menghadirkan lanskap nyata kota besar.
- Imaji emosional: “kota yang angkuh”, “puisi lebih lengkap”, “orang lumpuh dan pikun” menciptakan kesan batin yang getir dan sedih.
- Imaji spiritual: “di dadamu: manusia dan kehidupan kersang” menyinggung batin yang gersang di tengah gemerlap kota.
Majas
Berbagai majas digunakan untuk memperkaya makna dan nuansa puisi:
- Personifikasi: Kota disapa layaknya manusia hidup—“Selamat siang, ibukota”—dan disebut memiliki dada, napas, hingga keangkuhan.
- Metafora: “Puisi lebih lengkap” menjadi metafora bagi kenyataan sosial kota yang kompleks dan penuh paradoks.
- Ironi: Sapaan sopan “Selamat siang” menjadi kontras dengan kritik yang pedas di dalamnya.
- Simile (perumpamaan): “Seperti bayang-bayang yang tinggal sosok tak berdaya”—menggambarkan betapa kosongnya manusia dalam kota.
Puisi "Selamat Siang, Ibukota" bukan sekadar puisi sapaan terhadap kota besar, tapi juga refleksi mendalam tentang kegersangan batin, kehilangan kemanusiaan, dan ironi kehidupan modern. Dengan gaya bahasa sederhana namun penuh kekuatan puitik, Darius Umari berhasil menyampaikan perasaan cinta yang pahit terhadap ibukota—sebuah kota yang penuh kontradiksi. Puisi ini menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik yang megah tanpa pembangunan jiwa hanyalah menciptakan kota-kota yang dingin dan menyedihkan.