Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kepada Sutardji (Karya Zainuddin Tamir Koto)

Puisi “Kepada Sutardji” karya Zainuddin Tamir Koto bercerita tentang perjalanan batin dan kesadaran penyair dalam menghadapi dunia yang penuh ...
Kepada Sutardji

Huuuuung Selat malaka
aku berdayung sampan dalam badai
Huuuuung pendekar Hang Tuah
Kerisku kutancapkan pada dinding langit.

Buah mangga, buah kuini! dalam perut bumi
buah hati hati dalam rahim perempuan
aku memejamkan mata.

Huuuuung Selat Malaka
sampanku tak bisa oleng:
"kubunuh kau nanti!".

Bir hitam o bir hitam
mabukkanlah aku:
"Aku kencingi
dunia yang borok ini!"

Ya Allah, Ya Tuhanku!
Berdosanya aku:
"Menyebarkan benih dimana-mana
matikanlah aku dalam nikmat!".

1976

Sumber: Angku Gadang (1980)

Analisis Puisi:

Puisi “Kepada Sutardji” karya Zainuddin Tamir Koto adalah sebuah penghormatan sekaligus dialog puitik yang bergelora terhadap Sutardji Calzoum Bachri, seorang penyair legendaris Indonesia yang dikenal karena pendekatan revolusionernya terhadap bahasa puisi. Melalui suara yang lantang, imaji yang liar, dan nuansa eksistensial yang mengguncang, puisi ini tampil sebagai seruan keras dari penyair terhadap dunia, Tuhan, dan tubuhnya sendiri.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah pemberontakan eksistensial dan spiritual, yakni pergulatan batin manusia yang tak kuasa terhadap kekacauan dunia, tubuh, dan Tuhan. Ada pula tema kebebasan bahasa dan puisi, yang berkaitan erat dengan gaya dan semangat Sutardji sebagai tokoh yang “membebaskan kata dari makna konvensional”.

Puisi ini juga membawa tema kematian, kenikmatan, dosa, dan penolakan terhadap dunia yang bobrok—tema khas penyair yang muak terhadap kepalsuan hidup dan ingin merengkuh kebebasan mutlak, bahkan jika itu berarti kematian.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin dan kesadaran penyair dalam menghadapi dunia yang penuh kekacauan, sekaligus ekspresi spontan terhadap inspirasi atau pengaruh dari Sutardji. Larik seperti "aku berdayung sampan dalam badai" menjadi metafora perjalanan yang sulit dan liar, seperti yang mungkin dirasakan oleh seorang penyair yang memberontak terhadap konvensi, agama, moral, dan tatanan sosial.

Ada juga kisah pencarian spiritual dan sensual—terlihat dari bait-bait yang berisi permohonan kematian dalam nikmat, pernyataan dosa, serta pengutukan terhadap dunia ("Aku kencingi dunia yang borok ini!").

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kompleks dan berlapis:

Pencarian akan makna sejati dalam dunia yang rusak. Dunia dalam puisi ini digambarkan sebagai tempat yang bobrok, borok, dan tidak layak ditinggali, sehingga muncul hasrat untuk menolak dan menertawakannya.

Kegelisahan spiritual seorang penyair yang merasa berdosa namun juga ingin menikmati hidup sepenuhnya. Ia sadar akan dosanya, namun ia justru ingin mati dalam kenikmatan, bukan dalam tobat.

Pemberontakan terhadap nilai-nilai normatif. Ini tampak dari larik-larik ekstrem, seperti pengutukan terhadap dunia, penggunaan simbol-simbol sensual (rahim perempuan, bir, benih), hingga permohonan kepada Tuhan untuk “matikanlah aku dalam nikmat”.

Pengaruh Sutardji yang besar sebagai ikon pembebas bahasa puisi. Kata “Huuuuung” berulang seperti mantra, meniru gaya Sutardji yang sering membebaskan kata dari makna dan menggunakan bunyi sebagai kekuatan magis.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini liar, emosional, penuh gejolak, dan kadang profan, tetapi di saat yang sama juga menyiratkan kesedihan dan keterasingan. Pembaca akan merasakan keberanian sang penyair untuk berkata jujur secara brutal, sambil juga menangkap rasa kehilangan arah dan kerinduan akan sesuatu yang luhur, meski terselubung amarah dan kegilaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini bisa ditangkap sebagai seruan untuk menghadapi hidup secara jujur, tidak dengan kemunafikan atau ketakutan. Meski terdengar seperti ajakan memberontak terhadap agama dan tatanan, namun pada dasarnya, penyair sedang mengajak kita melihat lebih dalam tentang diri dan dunia yang kita tempati—apakah masih layak diimani, atau perlu dilawan?

Ada juga pesan bahwa puisi adalah kebebasan tertinggi, di mana kata-kata tak perlu terikat pada moralitas, kesopanan, atau bahkan makna literal. Dalam puisi, manusia bebas menyatakan kegelisahan dan gairahnya—meski dalam bentuk yang brutal.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji sensual, eksistensial, dan politis:
  • “aku berdayung sampan dalam badai” → gambaran perjuangan hidup yang berat.
  • “buah hati hati dalam rahim perempuan” → sensualitas dan asal-muasal kehidupan.
  • “kubunuh kau nanti” → kemarahan yang menuntut penyaluran.
  • “Aku kencingi dunia yang borok ini!” → penghinaan terhadap kemunafikan dan kebusukan dunia.
  • “matikanlah aku dalam nikmat” → keinginan mati dalam keadaan puncak kenikmatan, bukan tobat.

Majas

Puisi ini kaya akan majas dan ekspresi liar:
  • Metafora: “kerisku kutancapkan pada dinding langit” → simbol perlawanan terhadap takdir atau Tuhan.
  • Personifikasi: “dunia yang borok” → dunia dianggap memiliki tubuh yang sakit.
  • Hiperbola: “aku kencingi dunia”, “menyebarkan benih di mana-mana” → bentuk luapan emosi yang ekstrem.
  • Ironi: Dalam berdoa kepada Tuhan, penyair justru minta dimatikan dalam dosa dan kenikmatan.
Puisi “Kepada Sutardji” karya Zainuddin Tamir Koto adalah puisi pemberontakan total terhadap konvensi makna, nilai, dan keagamaan, namun pada lapis terdalamnya adalah jeritan jiwa yang rindu akan pembebasan. Sebagai penghormatan kepada Sutardji Calzoum Bachri, puisi ini tidak hanya meniru gaya bunyi dan absurditas sang maestro, tetapi juga menghidupkan kembali semangat puitik yang liar, gelap, dan menantang moral.

Dalam dunia yang terus bergerak ke arah kepalsuan dan kemunafikan, puisi ini hadir sebagai tamparan dan pelampiasan: bahwa puisi bukan sekadar kata indah, tetapi cermin kekacauan batin dan jiwa manusia.

Puisi: Kepada Sutardji
Puisi: Kepada Sutardji
Karya: Zainuddin Tamir Koto

Biodata Zainuddin Tamir Koto:
  • Zainuddin Tamir Koto (lebih dikenal dengan nama pena Zatako) lahir pada tanggal 14 Desember 1941 di Gasan Ketek, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.
  • Zainuddin Tamir Koto meninggal dunia pada tanggal 11 Desember 2011 di Medan Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.